Kamis, 29 Januari 2009

Jangan Ada Dusta Mencintai Allah


rhamdan............

Kirim

Hubbud Dunia (Cinta Dunia). Itulah sebuah judul besar penyakit yang menghinggapi banyak umat hari ini. Eksistensi dunia melebihi eksistensi Allah. Celakanya lagi, bahkan banyak manusia yang sudah merusak fitrahnya sebagai makhluk. Dengan menuhankan dunia. Na’udzubillahi mindzaliq. Semoga hal yang demikian ini terhindar dari diri kaum muslimin dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang masih meninggikan asma-Nya, dan memuliakan kekasihnya, Muhammadur rasulullahu salallahu ’alaihi wasallam.

Penyakit cinta dunia dan takut mati memang bukan hari ini saja terjadi. Ini adalah kisah dan perilaku yang berulang-ulang. Tentu ingat bagaimana Fir’aun (Ramses II) yang menganggap dirinya Tuhan. Berkuasa penuh atas diri manusia. Tapi, ketika maut menjemputnya (tatkala ia digulung lautan saat mengejar nabi Musa as), barulah ia bermunajat pada Allah swt. Sayang, semuanya terlambat. Hanya saja, tubuhnya hingga kini tetap dijaga oleh Allah, sebagai pelajaran bagi umat di kemudian hari.

Dasar penyakit, cinta dunia hingga kini masih saja terus berulang. Wujud dan bentuknya beragam. Namun, pada prinsipnya, cinta dunia selalu dipicu oleh materi. Sehingga, banyak manusia hari ini berlomba-lomba mencari rezki tanpa mengenal siang dan malam. Kerja keras siang malam, pergi pagi pulang malam, peras keringat banting tulang demi dunia. Sayang, mereka lupa dengan Maha Pemilik Materi, Allah ’Azza wa Jalla. Tak takutkah mereka dengan azab Allah?

Obatnya segeralah bertobat. Kembalilah mencintai Allah dengan tidak menafikan dunia. Karena sungguh besar manfaatnya untuk jiwa dan raga. Syurga balasannya bagi orang yang mau mencintai Allah. Tapi tidak pula mencintai Allah dengan jalan riya’. Cintailah Allah dengan ikhlas. Zuhud-lah kepada Allah, seperti halnya Muhammad saw yang hingga akhir hayatnya memilih menjadi anak-anak langit, bukan anak-anak dunia.

Abu Bakr ash-Shiddiq ra, (rela) memberikan seluruh harta kekayaannya kepada Nabi Muhammad saw, demi berjuang di jalan Allah swt, demi Islam sebagai totalitas hidup. Seorang pecinta tidak akan menyembunyikan apa pun dari kekasihnya, bahkan ia akan memberikan segala sesuatu padanya. Begitulah pelajaran yang dapat dipetik dari Abu Bakar, orang terpandang di zamannya.

Syarat mencintai Allah memang dengan bala cobaan. Hal itu pulalah yang dilalui oleh nabi-nabi Allah terdahulu hingga Rasulullah saw. Maka, setiap bala cobaan disertai pula dengan kesetiaan. Agar tidak dicap hanya mengaku-ngaku cinta Allah dengan kebohongan, kemunafikan, dan riya’. Jalan (menuju) al-Haqq ’Azza wa Jalla membutuhkan kejujuran (kesungguhan-shidq) dan cahaya makrifat. Di akhir cinta itulah seorang muslim akan meraih kebahagiaan hidup yang diimpikannya. Seperti halnya Muhammad saw berhasil membuat Islam jaya berabad-abad lamanya.

Jikalau kedekatan dengan-Nya sudah benar-benar shahih, maka Dia akan mengucurkan anugerah kemurahan-Nya. Dia akan membuka pintu-pintu bagian-Nya (qadha dan qadar), pintu kelembutan, pintu rahmat, dan jendela anugerah-Nya. Dia genggam dunia untuk umat yang bersyukur, lalu membentangkannya seluas-luasnya. Tentunya semua anugerah ini hanya diberikan-Nya para manusia-manusia pilihan. Karena Dia Maha Mengetahui akan ketaqwaan mereka. Mereka tidak pernah menyibukkan diri dengan sesuatu sampai terlena melupakan-Nya.

Nabi saw termasuk orang yang ditawari dunia, namun tidak sibuk mengurusinya dan lupa melayani-Nya. Beliau tidak menoleh pada bagian-bagian (rezki) dengan segala kesempurnaan zuhud dan penentangan. Beliau pernah ditawari kunci-kunci kekayaan bui, namun justru beliau mengembalikannya sembari berkata, “Tuhan, hidupkanlah aku sebagai orang miskin dan matikan aku sebagai orang miskin, serta kumpulkan aku kelak bersama orang-orang miskin”. Bagi kita kaum muslimin, tentu perjuangan Rasulullah saw ini sangat mulia di sisi-Nya. Perjuangan yang diberikannya, adalah demi umat Islam, sebagai umat terbaik di atas bumi Allah swt.

Zuhud adalah anugerah kesalehan. Seorang Mukmin bebas lepas dari beban ambisi mengumpulkan duniawi, tidak pula rakus dan terburu-buru. Berzuhud atas segala sesuatu dengan segenap hati dan berpaling darinya dengan segenap nurani. Seorang muslim hanya sibuk dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dia tahu pasti bagiannya tidak akan lepas darinya, hingga dia pun tidak perlu mencarinya. Dia biarkan bagian-bagian (duniawi) berlari mengejar di belakangnya, merendah dan memohon-mohon padanya untuk menerimanya.

Dikisahkan kembali oleh ’Abdul Kadir al Jilani tentang Sufyan ash-Shawri, pada awal menuntut ilmu, di perutnya terikat sabuki himyan berisi uang 500 dinar untuk keperluan hidup dan belajar. Dia ketuk-ketuk sabuk itu dengan tangannya seraya berkata, ”Jika tidak ada engkau, pastilah mereka sudah membuang kita”. Setelah diperolehnya ilmu dan makrifat pengetahuan al-Haqq Azza wa Jalla, maka dia sumbangkan sisa uang yang ada padanya untuk kaum fakir dalam waktu satu hari seraya berkata, ”Jikalau langit adalah besi yang tak mencurahkan hujan, bumi berupa batu cadas yang menumbuhkan (tanaman) dan aku pun (harus) berkonsentrasi mencari rezki, maka pastilah aku menjadi kafir”.

Maka setiap orang mukmin bekerja dan berinteraksi dengan sarana sampai iman benar-benar kuat, baru setelah itu berpindah dari sarana (sabab) pada Pemberi sarana (Musabib). Para nabi juga bekerja, bermodal, dan berhubungan dengan sarana duniawi pada awal keadaan mereka, baru pada akhirnya, mereka pasrah diri (tawakal). Mereka mensinergikan kerja dan tawakal sebagai awalan dan akhiran, syariat dan hakikat. Diriwayatkan dari Nabi saw, “Bahwasanya seorang laki-laki datang menghadapnya, lalu berkata, ‘Aku mencintaimu karena Allah ‘Azza wa Jalla’. Beliau pun bersabda padanya, ’Jadikan bala cobaan sebagai jubah, jadikan kefakiran sebagai jubah’”. Sebuah pepatah Arab juga mengatakan: Jangan dekati ular dan macan, sebab mereka bisa membinasakanmu. Jika engkau seorang pawang, bolehlah engkau dekati ular itu, dan jika engkau sudah memilih kekuatan, maka dekatilah macan itu.

Nabi Sulaiman as, misalnya. Setelah Allah melengserkan tahta kerajaannya, kemudian Dia menghukumnya dengan banyak hal, di antaranya mengemis dan meminta-minta. Dulu pada masa pemerintahannya, dia bekerja dan bisa makan dari hasil keringatnya sendiri, namun kemudian al-Haqq ’Azza wa Jalla menyempitkan ruang geraknya, mengusirnya dari kerajaannya dan menyempitkan jalan rezki baginya, hingga terpaksa dia harus meminta-minta. Semua itu dikarenakan istrinya menyembah patung di rumahnya (Sulaiman) selama 40 hari, maka selama 40 hari juga ia terus mendapat siksaan hari demi hari.

Seorang laki-laki pernah bertemu Abu Yazid al-Bisthami, kemudian lama menengok ke kanan dan ke kiri. Abu Yazid pun menegurnya “Ada apa gerangan?” Ia menjawab, ”Aku ingin (mencari) tempat bersih untuk melaksanakan shalat”. Abu Yazid langsung menukas, “Bersihkan hatimu dulu dan barulah shalat sebagaimana kehendakmu”. Memang, riya’ adalah rintangan di tengah jalan kaum (Sufi) yang tidak mau harus mereka seberangi. Riya’, ujub, dan kemunafikan, termasuk anak-anak panah Setan yang dileparkan ke dalam hati.

Jangan terlena dengan hembusan-hembusan (bujuk rayu) Setan, dan jangan kalah oleh panah-panah nafsu. Sebab ia (nafsu) melempari jiwa orang mukmin dengan panah Setan, dan memang Setan tidak dapat menguasai jiwa orang mukmin kecuali dengan sarana nafsu. Setan jin tidak dapat menguasai kecuali lewat media Setan manusia, yaitu nafsu kolega-kolega yang buruk. Memohonlah kepada Allah ‘Azza wa Jalla’ dan mintalah tolong pada-Nya dalam menghadapi musuh-musuh ini, niscaya Dia akan memberi pertolongan.

Orang yang tertolak (al-mahrum) adalah orang yang menolak al-Haqq ‘Azza wa Jalla dan kehilangan kedekatan bersama-Nya di dunia dan akhirat. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman dalam beberapa kitab-Nya, “Hai anak Adam! Jika Aku melewatkanmu, maka akan lepas (dari)mu segala sesuatu”. Bagaimana al-Haqq ‘Azza wa Jalla tidak melewatkan harapan orang mukmin jika mereka berpaling dari-Nya, dan dari kaum Mukmin serta hamba-hamba-Nya yang saleh, bahkan malah menyakiti mereka secara lahir dan batin. Nabi saw bersabda, “Menyakiti orang Mukmin lima belas kali lebih besar (dosanya) di sisi Allah daripada merobohkan Ka’bah dan a-Bait al-M’mur”.

Janganlah takut pada siapa pun, baik jin, manusia, maupun malaikat. Jangan takut pula pada apa pun, baik hewan yang berbicara maupun yang diam. Jangan takut dengan penderitaan dunia, dan jangan takut pula dengan siksa akhirat, akan tetapi takutlah pada Sang Pemberi azab siksaan. Yang menurunkan penyakit adalah juga yang menurunkan obat. Tentu saja, ia pula yang lebih mengerti tentang kemaslahatan daripada selainnya. Jangan kecam Allah ‘Azza wa Jalla’dalam segala tindakan-Nya (fi’l. Jika Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba, maka Dia akan merampasnya (ikhtiar dan duniawinya), jika memang ia bersabar (menghadapinya), maka Dia akan mengangkat (derajat)nya, membaguskan (taraf kehidupannya), memberinya (anugerah), dan membuatnya kaya.

Hal itu pulalah yang terjadi pada diri nabi-nabi Allah. Mohonlah pertolongan kepada Allah dalam menghadapi musuh-musuh umat. Si pemenang adalah orang yang bersabar menghadapinya, dan si pecundang adalah orang yang menyerah pada mereka. Kaum (saleh) tidak memiliki obat keceriaan bagi mendung kesedihan mereka, juga tidak meletakkan beban mereka, dan tidak pula memiliki permata kasih di mata mereka serta hiburan bagi musibah mereka, hingga mereka bertemu Tuhan mereka. Pertemuan kaum saleh dengan Tuhannya meliputi dua jenis; pertama, pertemuan di dunia, yaitu melalui hati dan nurani kaum saleh, dan ini termasuk jarang terjadi. Kedua, pertemuan di Akhirat. Kaum saleh baru bisa merasakan kebahagiaan dan keceriaan setelah bertemu dengan Tuhan mereka, meskipun sebelumnya, musibah (kesedihan) terus menerus menimpanya.

Abdul Qadir al-Jailani pernah berkata, “Cegahlah nafsu dari syahwat kesenangan dan kelezatan. Berilah dia makanan yang suci tanpa najis. Makanan yang suci adalah makanan yang halal. Adapun makanan yang najis adalah haram. Berilah dia sarapan yang halal hingga dia tidak menjadi sombong, tinggi hati, dan kurang ajar. Ya Allah, kenalkanlah kami dengan-Mu, hingga kami mengenal-Mu”. Amin.

13 Hal Yang Disukai Pria Dari Wanita





Cinta adalah fitrah manusia. Cinta juga salah satu bentuk kesempurnaan penciptaan yang Allah berikan kepada manusia. Allah menghiasi hati manusia dengan perasaan cinta pada banyak hal. Salah satunya cinta seorang lelaki kepada seorang wanita, demikian juga sebaliknya.

Rasa cinta bisa menjadi anugerah jika luapkan sesuai dengan bingkai nilai-nilai ilahiyah. Namun, perasaan cinta dapat membawa manusia ke jurang kenistaan bila diumbar demi kesenangan semata dan dikendalikan nafsu liar.

Islam sebagai syariat yang sempurna, memberi koridor bagi penyaluran fitrah ini. Apalagi cinta yang kuat adalah salah satu energi yang bisa melanggengkan hubungan seorang pria dan wanita dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Karena itu, seorang pria shalih tidak asal dapat dalam memilih wanita untuk dijadikan pendamping hidupnya.

Ada banyak faktor yang bisa menjadi sebab munculnya rasa cinta seorang pria kepada wanita untuk diperistri. Setidak-tidaknya seperti di bawah ini.

1. Karena akidahnya yang Shahih

Keluarga adalah salah satu benteng akidah. Sebagai benteng akidah, keluarga harus benar-benar kokoh dan tidak bisa ditembus. Jika rapuh, maka rusaklah segala-galanya dan seluruh anggota keluarga tidak mungkin selamat dunia-akhirat. Dan faktor penting yang bisa membantu seorang lelaki menjaga kekokohan benteng rumah tangganya adalah istri shalihah yang berakidah shahih serta paham betul akan peran dan fungsinya sebagai madrasah bagi calon pemimpin umat generasi mendatang.

Allah menekankah hal ini dalam firmanNya, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)

2. Karena paham agama dan mengamalkannya

Ada banyak hal yang membuat seorang lelaki mencintai wanita. Ada yang karena kemolekannya semata. Ada juga karena status sosialnya. Tidak sedikit lelaki menikahi wanita karena wanita itu kaya. Tapi, kata Rasulullah yang beruntung adalah lelaki yang mendapatkan wanita yang faqih dalam urusan agamanya. Itulah wanita dambaan yang lelaki shalih.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka, ambillah wanita yang memiliki agama (wanita shalihah), kamu akan beruntung.” (Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw. juga menegaskan, “Dunia adalah perhiasan, dan perhiasan dunia yang paling baik adalah wanita yang shalihah.” (Muslim, Ibnu Majah, dan Nasa’i).

Jadi, hanya lelaki yang tidak berakal yang tidak mencintai wanita shalihah.

3. Dari keturunan yang baik

Rasulullah saw. mewanti-wanti kaum lelaki yang shalih untuk tidak asal menikahi wanita. “Jauhilah rumput hijau sampah!” Mereka bertanya, “Apakah rumput hijau sampah itu, ya Rasulullah?” Nabi menjawab, “Wanita yang baik tetapi tinggal di tempat yang buruk.” (Daruquthni, Askari, dan Ibnu ‘Adi)

Karena itu Rasulullah saw. memberi tuntunan kepada kaum lelaki yang beriman untuk selektif dalam mencari istri. Bukan saja harus mencari wanita yang tinggal di tempat yang baik, tapi juga yang punya paman dan saudara-saudara yang baik kualitasnya. “Pilihlah yang terbaik untuk nutfah-nutfah kalian, dan nikahilah orang-orang yang sepadan (wanita-wanita) dan nikahilah (wanita-wanitamu) kepada mereka (laki-laki yang sepadan),” kata Rasulullah. (Ibnu Majah, Daruquthni, Hakim, dan Baihaqi).

“Carilah tempat-tempat yang cukup baik untuk benih kamu, karena seorang lelaki itu mungkin menyerupai paman-pamannya,” begitu perintah Rasulullah saw. lagi. “Nikahilah di dalam “kamar” yang shalih, karena perangai orang tua (keturunan) itu menurun kepada anak.” (Ibnu ‘Adi)

Karena itu, Utsman bin Abi Al-’Ash Ats-Tsaqafi menasihati anak-anaknya agar memilih benih yang baik dan menghindari keturunan yang jelek. “Wahai anakku, orang menikah itu laksana orang menanam. Karena itu hendaklah seseorang melihat dulu tempat penanamannya. Keturunan yang jelek itu jarang sekali melahirkan (anak), maka pilihlah yang baik meskipun agak lama.”

4. Masih gadis

Siapapun tahu, gadis yang belum pernah dinikahi masih punya sifat-sifat alami seorang wanita. Penuh rasa malu, manis dalam berbahasa dan bertutur, manja, takut berbuat khianat, dan tidak pernah ada ikatan perasaan dalam hatinya. Cinta dari seorang gadis lebih murni karena tidak pernah dibagi dengan orang lain, kecuali suaminya.

Karena itu, Rasulullah saw. menganjurkan menikah dengan gadis. “Hendaklah kalian menikah dengan gadis, karena mereka lebih manis tutur katanya, lebih mudah mempunyai keturunan, lebih sedikit kamarnya dan lebih mudah menerima yang sedikit,” begitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Baihaqi.

Tentang hal ini A’isyah pernah menanyakan langsung ke Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika engkau turun di sebuah lembah lalu pada lembah itu ada pohon yang belum pernah digembalai, dan ada pula pohon yang sudah pernah digembalai; di manakah engkau akan menggembalakan untamu?” Nabi menjawab, “Pada yang belum pernah digembalai.” Lalu A’isyah berkata, “Itulah aku.”

Menikahi gadis perawan akan melahirkan cinta yang kuat dan mengukuhkan pertahanan dan kesucian. Namun, dalam kondisi tertentu menikahi janda kadang lebih baik daripada menikahi seorang gadis. Ini terjadi pada kasus seorang sahabat bernama Jabir.

Rasulullah saw. sepulang dari Perang Dzat al-Riqa bertanya Jabir, “Ya Jabir, apakah engkau sudah menikah?” Jabir menjawab, “Sudah, ya Rasulullah.” Beliau bertanya, “Janda atau perawan?” Jabir menjawab, “Janda.” Beliau bersabda, “Kenapa tidak gadis yang engkau dapat saling mesra bersamanya?” Jabir menjawab, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah gugur di medan Uhud dan meninggalkan tujuh anak perempuan. Karena itu aku menikahi wanita yang dapat mengurus mereka.” Nabi bersabda, “Engkau benar, insya Allah.”

5. Sehat jasmani dan penyayang

Sahabat Ma’qal bin Yasar berkata, “Seorang lelaki datang menghadap Nabi saw. seraya berkata, “Sesungguhnya aku mendapati seorang wanita yang baik dan cantik, namun ia tidak bisa melahirkan. Apa sebaiknya aku menikahinya?” Beliau menjawab, “Jangan.” Selanjutnya ia pun menghadap Nabi saw. untuk kedua kalinya, dan ternyata Nabi saw. tetap mencegahnya. Kemudian ia pun datang untuk ketiga kalinya, lalu Nabi saw. bersabda, “Nikahilah wanita yang banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain.” (Abu Dawud dan Nasa’i).

Karena itu, Rasulullah menegaskan, “Nikahilah wanita-wanita yang subur dan penyayang. Karena sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian dari umat lain.” (Abu Daud dan An-Nasa’i)

6. Berakhlak mulia

Abu Hasan Al-Mawardi dalam Kitab Nasihat Al-Muluk mengutip perkataan Umar bin Khattab tentang memilih istri baik merupakan hak anak atas ayahnya, “Hak seorang anak yang pertama-tama adalah mendapatkan seorang ibu yang sesuai dengan pilihannya, memilih wanita yang akan melahirkannya. Yaitu seorang wanita yang mempunyai kecantikan, mulia, beragama, menjaga kesuciannya, pandai mengatur urusan rumah tangga, berakhlak mulia, mempunyai mentalitas yang baik dan sempurna serta mematuhi suaminya dalam segala keadaan.”

7. Lemah-lembut

Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari A’isyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Wahai A’isyah, bersikap lemah lembutlah, karena sesungguhnya Allah itu jika menghendaki kebaikan kepada sebuah keluarga, maka Allah menunjukkan mereka kepada sifat lembah lembut ini.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada sebuah keluarga, maka Allah memasukkan sifat lemah lembut ke dalam diri mereka.”

8. Menyejukkan pandangan

Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dari seorang wanita? (Yaitu) wanita shalihah adalah wanita yang jika dilihat oleh suaminya menyenangkan, jika diperintah ia mentaatinya, dan jika suaminya meninggalkannya ia menjaga diri dan harta suaminya.” (Abu daud dan An-Nasa’i)

“Sesungguhnya sebaik-baik wanitamu adalah yang beranak, besar cintanya, pemegang rahasia, berjiwa tegar terhadap keluarganya, patuh terhadap suaminya, pesolek bagi suaminya, menjaga diri terhadap lelaki lain, taat kepada ucapan dan perintah suaminya dan bila berdua dengan suami dia pasrahkan dirinya kepada kehendak suaminya serta tidak berlaku seolah seperti lelaki terhadap suaminya,” begitu kata Rasulullah saw. lagi.

Maka tak heran jika Asma’ binti Kharijah mewasiatkan beberapa hal kepada putrinya yang hendak menikah. “Engkau akan keluar dari kehidupan yang di dalamnya tidak terdapat keturunan. Engkau akan pergi ke tempat tidur, di mana kami tidak mengenalinya dan teman yang belum tentu menyayangimu. Jadilah kamu seperti bumi bagi suamimu, maka ia laksana langit. Jadilah kamu seperti tanah yang datar baginya, maka ia akan menjadi penyangga bagimu. Jadilah kamu di hadapannya seperti budah perempuan, maka ia akan menjadi seorang hamba bagimu. Janganlah kamu menutupi diri darinya, akibatnya ia bisa melemparmu. Jangan pula kamu menjauhinya yang bisa mengakibatkan ia melupakanmu. Jika ia mendekat kepadamu, maka kamu harus lebih mengakrabinya. Jika ia menjauh, maka hendaklah kamu menjauh darinya. Janganlah kami menilainya kecuali dalam hal-hal yang baik saja. Dan janganlah kamu mendengarkannya kecuali kamu menyimak dengan baik dan jangan kamu melihatnya kecuali dengan pandangan yang menyejukan.”

9. Realistis dalam menuntut hak dan melaksanakan kewajiban

Salah satu sifat terpuji seorang wanita yang patut dicintai seorang lelaki shalih adalah qana’ah. Bukan saja qana’ah atas segala ketentuan yang Allah tetapkan dalam Al-Qur’an, tetapi juga qana’ah dalam menerima pemberian suami. “Sebaik-baik istri adalah apabila diberi, dia bersyukur; dan bila tak diberi, dia bersabar. Engkau senang bisa memandangnya dan dia taat bila engkau menyuruhnya.” Karena itu tak heran jika acapkali melepas suaminya di depan pintu untuk pergi mencari rezeki, mereka berkata, “Jangan engkau mencari nafkah dari barang yang haram, karena kami masih sanggup menahan lapar, tapi kami tidak sanggup menahan panasnya api jahanam.”

Kata Rasulullah, “Istri yang paling berkah adalah yang paling sedikit biayanya.” (Ahmad, Al-Hakim, dan Baihaqi dari A’isyah r.a.)

Tapi, “Para wanita mempunyai hak sebagaimana mereka mempunyai kewajiban menurut kepantasan dan kewajaran,” begitu firman Allah swt. di surah Al-Baqarah ayat 228. Pelayanan yang diberikan seorang istri sebanding dengan jaminan dan nafkah yang diberikan suaminya. Ini perintah Allah kepada para suami, “Berilah tempat tinggal bagi perempuan-perempuan seperti yang kau tempati. Jangan kamu sakiti mereka dengan maksud menekan.” (At-Thalaq: 6)

10. Menolong suami dan mendorong keluarga untuk bertakwa

Istri yang shalihah adalah harta simpanan yang sesungguhnya yang bisa kita jadikan tabungan di dunia dan akhirat. Iman Tirmidzi meriwayatkan bahwa sahabat Tsauban mengatakan, “Ketika turun ayat ‘walladzina yaknizuna… (orang yang menyimpan emas dan perak serta tidak menafkahkannya di jalan Allah), kami sedang bersama Rasulullah saw. dalam suatu perjalanan. Lalu, sebagian dari sahabat berkata, “Ayat ini turun mengenai emas dan perak. Andaikan kami tahu ada harta yang lebih baik, tentu akan kami ambil”. Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Yang lebih utama lagi adalah lidah yang berdzikir, hati yang bersyukur, dan istri shalihah yang akan membantu seorang mukmin untuk memelihara keimanannya.”

11. Mengerti kelebihan dan kekurangan suaminya

Nailah binti Al-Fafishah Al-Kalbiyah adalah seorang gadis muda yang dinikahkan keluarganya dengan Utsman bin Affan yang berusia sekitar 80 tahun. Ketika itu Utsman bertanya, “Apakah kamu senang dengan ketuaanku ini?” “Saya adalah wanita yang menyukai lelaki dengan ketuaannya,” jawab Nailah. “Tapi ketuaanku ini terlalu renta.” Nailah menjawab, “Engkau telah habiskan masa mudamu bersama Rasulullah saw. dan itu lebih aku sukai dari segala-galanya.”

12. Pandai bersyukur kepada suami

Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada suaminya, sedang ia sangat membutuhkannya.” (An-Nasa’i).

13. Cerdas dan bijak dalam menyampaikan pendapat

Siapa yang tidak suka dengan wanita bijak seperti Ummu Salamah? Setelah Perjanjian Hudhaibiyah ditandatangani, Rasulullah saw. memerintahkan para sahabat untuk bertahallul, menyembelih kambing, dan bercukur, lalu menyiapkan onta untuk kembali pulang ke Madinah. Tetapi, para sabahat tidak merespon perintah itu karena kecewa dengan isi perjanjian yang sepertinya merugikan pihak kaum muslimin.

Rasulullah saw. menemui Ummu Salamah dan berkata, “Orang Islam telah rusak, wahai Ummu Salamah. Aku memerintahkan mereka, tetapi mereka tidak mau mengikuti.”

Dengan kecerdasan dalam menganalisis kejadian, Ummu Salamah mengungkapkan pendapatnya dengan fasih dan bijak, “Ya Rasulullah, di hadapan mereka Rasul merupakan contoh dan teladan yang baik. Keluarlah Rasul, temui mereka, sembelihlah kambing, dan bercukurlah. Aku tidak ragu bahwa mereka akan mengikuti Rasul dan meniru apa yang Rasul kerjakan.”

Subhanallah, Ummu Salamah benar. Rasulullah keluar, bercukur, menyembelih kambing, dan melepas baju ihram. Para sahabat meniru apa yang Rasulullah kerjakan. Inilah berkah dari wanita cerdas lagi bijak dalam menyampaikan pendapat. Wanita seperti inilah yang patut mendapat cinta dari seorang lelaki yang shalih.

Perjalanan Hidup Manusia





Kehidupan manusia merupakan perjalanan panjang, melelahkan, penuh liku-liku, dan melalui tahapan demi tahapan. Berawal dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam barzakh, sampai pada alam akhirat yang berujung pada tempat persinggahan terakhir bagi manusia, surga atau neraka. Al-Qur’an dan Sunnah telah menceritakan setiap fase dari perjalanan panjang manusia itu.

Al-Qur’an diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. berfungsi untuk memberikan pedoman bagi umat manusia tentang perjalanan (rihlah) tersebut. Suatu rihlah panjang yang akan dilalui oleh setiap manusia, tanpa kecuali. Manusia yang diciptakan Allah swt. dari tidak ada menjadi ada akan terus mengalami proses panjang sesuai rencana yang telah ditetapkan Allah swt.

Saat ini ada dua teori yang menyesatkan orang banyak. Al-Qur’an dengan tegas membantah teori itu. Pertama, teori yang mengatakan manusia ada dengan sendirinya. Dibantah Al-Qur’an dengan hujjah yang kuat, bahwa manusia ada karena diciptakan oleh Allah swt. Kedua, teori yang mengatakan manusia ada dari proses evolusi panjang, yang bermula dari sebangsa kera kemudian berubah menjadi manusia. Teori ini pun dibantah dengan sangat pasti bahwa manusia pertama adalah Adam as. Kemudian selanjutkannya anak cucu Adam as. diciptakan Allah swt. dari jenis manusia itu sendiri yang berasal dari percampuran antara sperma lelaki dengan sel telur wanita, maka lahirlah manusia.

Rasulullah saw. semakin mengokohkan tentang kisah rihlatul insan. Disebutkan dalam beberapa haditsnya. “Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang sedang musafir” (HR Bukhari). Dalam hadits lain: ”Untuk apa dunia itu bagiku? Aku di dunia tidak lebih dari seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya” (HR At-Tirmidzi).

Alam Arwah

Manusia merupakan makhluk terakhir yang diciptakan Allah swt. setelah sebelumnya Allah telah menciptakan makhluk lain seperti malaikat, jin, bumi, langit dan seisinya. Allah menciptakan manusia dengan dipersiapkan untuk menjadi makhluk yang paling sempurna. Karena, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi dan memakmurkannya.

Persiapan pertama, Allah mengambil perjanjian dan kesaksian dari calon manusia, yaitu ruh-ruh manusia yang berada di alam arwah. Allah mengambil sumpah kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al A’raf: 172).

Dengan kesaksian dan perjanjian ini maka seluruh manusia lahir ke dunia sudah memiliki nilai, yaitu nilai fitrah beriman kepada Allah dan agama yang lurus. Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Ruum: 30). Rasulullah saw. bersabda: “Setiap anak dilahirkan secara fitrah. Maka kedua orang tuannya yang menjadikan Yahudi atau Nashrani atau Majusi.” (HR Bukhari)

Alam Rahim

Rihlah pertama yang akan dilalui manusia adalah kehidupan di alam rahim: 40 hari berupa nutfah, 40 hari berupa ‘alaqah (gumpalan darah), dan 40 hari berupa mudghah (gumpalan daging), kemudian ditiupkan ruh dan jadilah janin yang sempurna. Setelah kurang lebih sembilan bulan, maka lahirlah manusia ke dunia.

Allah swt. berfirman: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah.” (Al-Hajj: 5)

Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya seseorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya 40 hari nutfah, kemudian ‘alaqoh selama hari yang sama, kemudian mudghoh selama hari yang sama. Kemudian diutus baginya malaikat untuk meniupkan ruh dan ditetapkan 4 kalimat; ketetapan rizki, ajal, amal, dan sengsara atau bahagia.” (HR Bukhari dan Muslim)

Seluruh manusia di dunia apapun kondisi sosialnya diingatkan tentang awal kejadiannya yang berasal dari benda yang hina, yaitu sperma lelaki dan sel telur wanita. Manusia sebelumnya belum dikenal, belum memiliki kemuliaan dan kehormatan. Lalu apakah manusia akan bangga, congkak, dan sombong dengan kondisi sosial yang dialami sekarang jika mengetahui asal muasal mereka?

Setelah mencapai 6 bulan sampai 9 bulan atau lebih, dan persyaratan untuk hidup normal sudah lengkap, seperti indra, akal, dan hati, maka lahirlah manusia ke dunia dalam keadaan telanjang. Belum bisa apa-apa dan tidak memiliki apa-apa.

Alam Dunia

Di dunia perjalanan manusia melalui proses panjang. Dari mulai bayi yang hanya minum air susu ibu lalu tubuh menjadi anak-anak, remaja dan baligh. Selanjutnya menjadi dewasa, tua dan diakhiri dengan meninggal. Proses ini tidak berjalan sama antara satu orang dengan yang lainnya. Kematian akan datang kapan saja menjemput manusia dan tidak mengenal usia. Sebagian meninggal saat masih bayi, sebagian lagi saat masa anak-anak, sebagian yang lain ketika sudah remaja dan dewasa, sebagian lainnya ketika sudah tua bahkan pikun.

Di dunia inilah manusia bersama dengan jin mendapat taklif (tugas) dari Allah, yaitu ibadah. Dan dalam menjalani taklifnya di dunia, manusia dibatasi oleh empat dimensi; dimensi tempat, yaitu bumi sebagai tempat beribadah; dimensi waktu, yaitu umur sebagai sebuah kesempatan atau target waktu beribadah; dimensi potensi diri sebagai modal dalam beribadah; dan dimensi pedoman hidup, yaitu ajaran Islam yang menjadi landasan amal.

Allah Ta’ala telah melengkapi manusia dengan perangkat pedoman hidup agar dalam menjalani hidupnya di muka bumi tidak tersesat. Allah telah mengutus rasulNya, menurunkan wahyu Al-Qur’an dan hadits sebagai penjelas, agar manusia dapat mengaplikasikan pedoman itu secara jelas tanpa keraguan. Sayangnya, banyak yang menolak dan ingkar terhadap pedoman hidup tersebut. Banyak manusia lebih memperturutkan hawa nafsunya ketimbang menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup, akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.

Maka, orang yang bijak adalah orang yang senantiasa mengukur keterbatasan-keterbatasan dirinya untuk sebuah produktifitas yang tinggi dan hasil yang membahagiakan. Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang senantiasa sadar bahwa detik-detik hidupnya adalah karya dan amal shalih. Kehidupannya di dunia sangat terbatas sehingga tidak menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang sepele, remeh apalagi perbuatan yang dibenci (makruh) dan haram.

Dunia dengan segala kesenangannya merupakan tempat ujian bagi manusia. Apakah yang dimakan, dipakai, dan dinikmati sesuai dengan aturan Allah swt. atau menyimpang dari ajaran-Nya? Apakah segala fasilitas yang diperoleh manusia dimanfaatkan sesuai perintah Allah atau tidak? Dunia merupakan medan ujian bagi manusia, bukan medan untuk pemuas kesenangan sesaat. Rasulullah saw. memberikan contoh bagaimana hidup di dunia. Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah saw. tidur diatas tikar, ketika bangun ada bekasnya. Maka kami bertanya: “Wahai Rasulullah saw., bagaimana kalau kami sediakan untukmu kasur.” Rasululah saw. bersabda: “Untuk apa (kesenangan) dunia itu? Hidup saya di dunia seperti seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)

Perjalanan hidup manusia di dunia akan berakhir dengan kematian. Semuanya akan mati, apakah itu pahlawan ataukah selebriti, orang beriman atau kafir, pemimpin atau rakyat, kaya atau miskin, tua atau muda, lelaki atau perempuan. Mereka akan meninggalkan segala sesuatu yang telah dikumpulkannya. Semua yang dikumpulkan oleh manusia tidak akan berguna, kecuali amal shalihnya berupa sedekah yang mengalir, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shalih. Kematian adalah penghancur kelezatan dan gemerlapnya kehidupan dunia. Kematian bukanlah akhir kesudahan manusia, bukan pula tempat istirahat yang panjang. Tetapi, kematian adalah akhir dari kehidupannya di dunia dengan segala yang telah dipersembahkannya dari amal perbuatan untuk kemudian melakukan rihlah atau perjalanan hidup berikutnya.

Bagi orang beriman, kematian merupakan salah satu fase dalam kehidupan yang panjang. Batas akhir dari kehidupan dunia yang pendek, sementara, melelahkan, dan menyusahkan untuk menuju akhirat yang panjang, kekal, menyenangkan, dan membahagiakan. Di surga penuh dengan kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan belum terlintas oleh pikiran manusia. Sementara bagi orang kafir, berupaya menghindar dari kematian dan ingin hidup di dunia 1.000 tahun lagi. Tetapi, sikap itu adalah sia-sia. Utopia belaka. Karena, kematian pasti datang menjumpainya. Suka atau tidak suka.

Alam Barzakh

Fase berikutnya manusia akan memasuki alam kubur atau alam barzakh. Di sana mereka tinggal sendiri. Yang akan menemaninya adalah amal mereka sendiri. Kubur adalah taman dari taman-taman surga atau lembah dari lembah-lembah neraka. Manusia sudah akan mengetahui nasibnya ketika mereka berada di alam barzakh. Apakah termasuk ahli surga atau ahli neraka. Jika seseorang menjadi penghuni surga, maka dibukakan baginya pintu surga setiap pagi dan sore. Hawa surga akan mereka rasakan. Sebaliknya jika menjadi penghuni neraka, pintu neraka pun akan dibukakan untuknya setiap pagi dan sore dan dia akan merasakan hawa panasnya neraka.

Al-Barra bin ’Azib menceritakan hadits yang panjang yang diriwayat Imam Ahmad tentang perjalanan seseorang setelah kematian. Seorang mukmin yang akan meninggal dunia disambut ceria oleh malaikat dengan membawa kafan surga. Kemudian datang malaikat maut duduk di atas kepalanya dan memerintahkan ruh yang baik untuk keluar dari jasadnya. Selanjutnya disambut oleh malaikat dan ditempatkan di kain kafan surga dan diangkat ke langit. Penduduk langit dari kalangan malaikat menyambutnya, sampai di langit terakhir bertemu Allah dan Allah memerintahkan pada malaikat: “Catatlah kitab hambaku ke dalam ’illiyiin dan kembalikan kedunia.” Maka dikembalikan lagi ruh itu ke jasadnya dan datanglah dua malaikat yang bertanya: Siap Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa lelaki yang diutus kepadamu? Siapa yang mengajarimu? Hamba yang beriman itu dapat menjawab dengan baik. Maka kemudian diberi alas dari surga, mendapat kenikmatan di kubur dengan selalu dibukakan baginya pintu surga, dilapangkan kuburnya, dan mendapat teman yang baik dengan wajah yang baik, pakaian yang baik, dan aroma yang baik. Lelaki itu adalah amal perbuatannya.

Alam Akhirat (Hari Akhir)

Dan rihlah berikutnya adalah kehidupan di hari akhir dengan segala rinciannya. Kehidupan hari akhir didahului dengan terjadinya Kiamat, berupa kerusakan total seluruh alam semesta. Peristiwa setelah kiamat adalah mahsyar, yaitu seluruh manusia dari mulai nabi Adam as. sampai manusia terakhir dikumpulkan dalam satu tempat. Di sana manusia dikumpulkan dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, dan belum dikhitan. Saat itu matahari sangat dekat jaraknya sekitar satu mil, sehingga mengalirlah keringat dari tubuh manusia sesuai dengan amalnya. Ada yang sampai pergelangan kaki, ada yang sampai lutut, ada yang sampai pusar, ada yang sampai dada, bahkan banyak yang tenggelam dengan keringatnya.

Dalam kondisi yang berat ini manusia berbondong-bondong mendatangi para nabi untuk meminta pertolongan dari kesulitan yang maha berat itu. Tetapi semuanya tidak ada yang dapat menolong. Dan terakhir, hanya Rasulullah saw. yang dapat menolong mereka dari kesulitan mahsyar. Rasulullah saw. sujud di haribaan Allah swt. di bawah Arasy dengan memuji-muji-Nya. Kemudian Allah swt. berfirman: “Tegakkan kepalamu, mintalah niscaya dikabulkan. Mintalah syafaat, pasti diberikan.” Kemudian Rasululullah saw. mengangkat kepalanya dan berkata: “Ya Rabb, umatku.” Dan dikabulkanlah pertolongan tersebut dan selesailah mahsyar untuk kemudian melalui proses berikutnya.

Peristiwa berikutnya adalah hisab (perhitungan amal) dan mizan (timbangan amal) bagi manusia. Ada yang mendapatkan proses hisab dengan cara susah-payah karena dilakukan dengan sangat teliti dan rinci. Sebagian yang lain mendapatkan hisab yang mudah dan hanya sekadar formalitas. Bahkan sebagian kecil dari orang beriman bebas hisab.

Di antara pertanyaan yang akan diberikan pada manusia di hari Hisab terkait dengan masalah prinsip dalam hidupnya. Rasulullah saw. bersabda: “Tidak akan melangkah kaki anak Adam di hari kiamat sehingga ditanya 5 hal di sisi Allah: tentang umurnya untuk apa dihabiskan, tentang masa mudanya untuk apa digunakan, tentang hartanya dari mana mencarinya, dan ke mana menginfakkannya, dan apa yang diamalkan dari ilmunya.” (HR At-Tirmidzi). Di masa ini juga dilakukan proses qishash, orang yang dizhalimi meng-qishash orang yang menzhalimi.

Kejadian selanjutnya manusia harus melalui shirath, yaitu sebuah jembatan yang sangat tipis dan mengerikan karena di bawahnya neraka jahanam. Semua manusia akan melewati jembatan ini dari mulai yang awal sampai yang akhir. Shirath ini lebih tipis dari rambut, lebih tajam dari pedang, dan terdapat banyak kalajengking. Kemampuan manusia melewati jembatan itu sesuai dengan amalnya di dunia. Ada yang lewat dengan cepat seperti kecepatan kilat, ada yang lewat seperti kecepatan angin, ada yang lewat seperti kecepatan burung, tetapi banyak juga yang berjalan merangkak, bahkan mayoritas manusia jatuh ke neraka jahanam.

Bagi orang-orang yang beriman, akan minum telaga Rasulullah saw. yang disebut Al-Kautsar. Rasulullah saw. bersabda: “Telagaku seluas perjalanan sebulan, airnya lebih putih dari susu, aromanya lebih wangi dari misik, dan gayungnya sebanyak bintang di langit. Siapa yang meminumnya, maka tidak akan pernah haus selamanya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Surga dan Neraka

Pada fase yang terakhir dari rihlah manusia di hari akhir adalah sebagian mereka masuk surga dan sebagian masuk neraka. Surga tempat orang-orang bertakwa dan neraka tempat orang-orang kafir. Kedua tempat tersebut sekarang sudah ada dan disediakan. Bahkan, surga sudah rindu pada penghuninya untuk siap menyambut dengan sebaik-baiknya sambutan. Neraka pun sudah rindu dengan penghuninya dan siap menyambut dengan hidangan neraka. Al-Qur’an dan Sunnah telah menceritakan surga dan neraka secara detail. Penyebutan ini agar menjadi pelajaran bagi kehidupan manusia tentang persinggahan akhir yang akan mereka diami.

Orang-orang kafir, baik dari kalangan Yahudi, Nashrani maupun orang-orang musyrik, jika meninggal dunia dan tidak bertobat, maka tempatnya adalah neraka. Neraka yang penuh dengan siksaan. Percikan apinya jika ditaruh di dunia dapat membakar semua penghuni dunia. Minuman penghuni neraka adalah nanah dan makanannya zaqum (buah berduri). Manusia di sana tidak hidup karena penderitaan yang luar biasa, dan juga tidak mati karena jika mati akan hilang penderitaannya. Di neraka manusia itu kekal abadi.

Orang-orang beriman akan mendapatkan surga dan kain sutra karena kesabaran mereka. Dalam surga mereka duduk-duduk bersandar di atas dipan, tidak merasakan panas teriknya matahari dan dingin yang sangat. Mereka dinaungi pohon-pohon surga dan buahnya sangat mudah untuk dipetik. Mereka juga mendapatkan bejana-bejana dari perak dan piala-piala minuman yang sangat bening. Mereka akan minum minuman surga yang rasanya sangat nikmat seperti minuman jahe yang didatangkan dari mata air surga bernama Salsabila. Di surga juga ada banyak sungai yang berisi beraneka macam minuman, sungai mata air yang jernih, sungai susu, sungai khamr, dan sungai madu.

Penghuni surga akan dilayani oleh anak-anak muda yang jika dilihat sangat indah bagaikan mutiara yang bertaburan. Surga yang penuh dengan kenikmatan dan kerajaan yang besar. Orang beriman di surga memakai pakaian sutra halus berwarna hijau dan sutra tebal, juga memakai gelang terbuat dari perak dan emas. Allah swt. memberikan minuman kepada mereka minuman yang bersih.

Dan yang tidak kalah nikmatnya yaitu istri-istri dan bidadari surga. Mereka berwarna putih bersih berseri, bermata bulat, pandangannya pendek, selalu gadis sebaya belum pernah disentuh manusia dan jin. Buah dadanya montok dan segar, tidak mengalami haidh, nifas, dan buang kotoran.

Puncak dari semua kenikmatan di surga adalah melihat sang pencipta Allah yang Maha Indah, Sempurna, dan Perkasa. Sebagaimana manusia dapat melihat bulan secara serentak, begitu juga manusia akan memandang Allah secara serentak. Indah, mempesona, takzim, dan suci. Allah Akbar.

Allah akan memasukkan hamba–Nya ke dalam surga dengan rahmat-Nya, dan surga adalah puncak dari rahmat-Nya. Allah Ta’ala akan memasukan hamba-Nya ke dalam rahmat (surga) berdasarkan rahmat-Nya juga. Disebutkan dalam hadits shahih: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki 100 rahmat. Diturunkan (ke dunia) satu rahmat untuk jin, manusia, dan binatang. Dengan itu mereka saling simpati dan kasih sayang. Dengan satu rahmat itu pula binatang buas menyayangi anaknya. Dan Allah swt. menyimpan 99 rahmat bagi hamba-Nya di hari kiamat.” (Muttafaqun alaihi) .

Maka, sejatinya nikmat surga itu jauh dari apa yang dibayangkan manusia. Rasulullah saw. bersabda: “Allah swt. berkata, “Aku telah siapkan bagi hambaKu yang shalih sesuatu yang belum dilihat mata, belum didengar telinga, dan belum terlintas pada hati manusia” (Muttafaqun ‘alaihi). Apakah akan kita hanya berpuas diri dengan mengejar satu rahmat Allah yang dibagi-bagi untuk seluruh penduduk dunia, sementara kita melalaikan 99 rahmat yang tersisa? Semoga kita termasuk dari sedikit orang yang berpikir. Amin.


assalamu alaikum, buat pengunjung blog ini kalu pengen liat ceru unik ada di samping lhooooo. hehehe. mengkin bsa jd plajaran buat kta..............................<<- - >>.!!!!

si timun emas

assalamu alaikum wr wb.
hai frend ni ada dongeng dkit buat dbca

Dongeng Timun Emas dan LuSi
(Kisah kolam lumpur di Jawa Timur, dalang Ki Jogelem)

Pada Jaman dahulu ada seorang yang bernama Mbok Siring eh mBok Sirni namanya (tapi kejadiannya di Desa Siring), dia seorang janda yang menginginkan seorang anak agar dapat membantunya bekerja. Lah rak yo aneh ta .. wong janda kok pingin punya anak …. Nah ini dia ! Suatu hari mBok Siring eh mBok Sirni didatangi oleh raksasa yang ingin memberi seorang anak. Lah gimana caranya, mbok Sirni kan manusia biasa bukan species raksasa, jadi ndak mungkin lah. Tapi namanya Buto Ijo kan juga sakti wong dia punya bioteknologi yg huebatt, bukan sekedar bolo kurowo atau gedibal saja.

Namun Pak Buto Ijo memberi syarat apabila anak itu berusia empat tahun harus diserahkan ke Buto itu untuk disantap dijadiin istri. wedian kiyi …. mosok anak kecil mau disantap dijadiin istri, Lah wong Buto Ijo ini kan Seorang Raksasa (eh raksasa apa orang nih), kan bebas ta, Buto itu ga tau aturan apalagi etika, blaik tenan. Setelah dipikar-pikir akhirnya Mbok Sirni-pun setuju. Raksasa ini kemudian memberinya biji mentimun agar ditanam dan dirawat setelah dua minggu diantara buah ketimun yang ditanamnya nanti akan ada satu yang paling besar dan berkilau seperti emas.

Wah dengan gembira mBok Sirni menyanyi menanam jagung .. eh menanam mentimun ga da lagunya ya. Mbok Sirni ini akhirnya menanam biji-biji ini. Lah wong daerah ini tanahnya subur banget, iyakan ? Psst daerah desa Siring ini kan sawahnya subur juga kan ?

timunemas1.gifAkhirnya setelah ditanam dan dirawat … bener deh … kehebatan ilmu bioteknologi Pak Buto ijo ini …! Setelah dua minggu ada satu timun berwarna emas yang guede banget!. Kemudian Mbok Sirni membelah buah itu dengan hati-hati. Ternyata isinya seorang bayi cantik yang diberi nama si Timun Emas.

Timun emas ini lahir sebagai gadis. (hebat juga ilmu biotek si Buto ijo ini ya, bisa kloning dengan menentukan jenis kelamin juga ya). Semakin hari Timun Emas tumbuh menjadi gadis kecil cantik jelita.

Suatu hari datanglah raksasa untuk menagih janji Mbok sirni amat takut kehilangan timun emas, dia mengulur -ulur janji agar raksasa datang 2 tahun lagi. Tapi gimana cara ngomongnya ya.
“To to … Buto Ijo … Udah deh nanti aja kalau dua tahun lagi kan sudah makin gede, makin enak rasanya karena semakin dewasa, semakin gurih kang Buto dan enak untuk disantap”, Kata mBok Siring eh mBok Sirni.
“Hue hehehehe … bener juga katamu mbok Sirni .. aku tunggu !”, dan Buto Ijo pun setuju dan pergi lagi.

Batin mBok Sirni ” Dasar Buto gendheng nan rakus di iming-iming yg enak-enak pasti mau kan”.

Mbok Sirni-pun semakin senang pada Timun Emas. Diapun sayang pada Timun Emas karena rajin membantu. Tetapi setiap kali ia teringat akan janjinya Mbok Sirni hatinya menjadi cemas dan sedih lah wong anak satu-satunya je.

timunemas2.gifSuatu malam mBok Sirni bermimpi, wah ini bukan sekedar mimpi ini pituduh, ini petunjuk agar anaknya selamat. Dalam mimpi dia diberitahu harus menemui petapa di Gunung Gundul, sepertinya yg dimaksud ini sebuah gunung yang hanya terdiri dari batu … atau watu … “ah Watukosek kali mBok”, kata Timun Emas. Paginya si Mbok ini langsung berangkat. Di Gunung Gundul ia bertemu dengan seorang petapa yang memberinya 4 buah bungkusan kecil, yaitu biji mentimun, jarum, garam,dan terasi sebagai penangkal kalau dikejar sama Buto Ijo. Sesampainya dirumah diberikannya 4 bungkusan tadi kepada timun emas, dan diberitahu kalau dikejar Buto Ijo aji-aji ini harus disebarkan.

Setelah dua tahun ditunggu-tunggu si Buto Ijo datang lagi untuk menagih janji. Blaik ! mBok Sirni kaget bukan kepalang. Raksasa Ijo jelek lagi … tiba-tiba muncul. Masak kayak begini jadi istri si Timun Emas, batinnya. “Mestinya burung pipit ya dapet burung pipit, burung merpati jodonya burung merpati … lah ini kakak tua ikut-ikutan mengejar burung parkit !” (ini Buto Ijo emang mau ngikuti jejak Dato K menyunting Siti Nurhaliza, … upst!)

Si Timun emaspun disuruh lari lewat pintu belakang. Raksasapun mengejarnya, wueladalah … huayu tenan jebule. Dikejarlah si Timun Emas.

Setelah berlari jauh Timun Emas kecapaian. Si Timun Emaspun teringat akan bungkusannya, maka ditebarnya biji mentimun. sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Si Buto Ijo kesenengan memakannya tapi buah timun itu malah menambah tenaga Buto Ijo. … Lah wong mentimun ini menjadikan dia banyak gas diperutnya malah membuahkan lapangan gas Wunut eh Kentut. Jelas menambah tenaga dan kekuatan, kan.

Lalu timun emas menaburkan jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Haiyak kalau cuman pohon kecil begini pakai buldozer juga lewaat …. Dengan buldozer ini lah Buto Ijo terus mengejar. Si Timun Emas-pun membuka bingkisan ketiga yg berisi garam dan ditaburkannya. Seketika hutanpun menjadi lautan luas. Dengan kesakitan dan kesaktiannya raksasa dapat melewati. Batin si Buto Ijo, ” whalah wong cuman gas kick dan over pressure gini mah keciil ..”
timunemas3.gifYang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi … lah ini kan terasi Sidoarjo dibelinya aja di deket pabriknya, belinya di toko sekitar Jalan Mojopahit Sidoarjo. Itu tuh, yang baunya amis banget itu ! Seketika si Buto Ijo ‘gebres-gebres’ … blaik ini bau ga karu-karuan. Tapi Buto Ijo ini dasarnya emang buto gendheng, malah tertawa ngakak … “Hua hahahah ha ha, Mosok lawan Buto kok pakai terasi …!” Terus kakinya gedrug-gedrug sambil meloncat-loncat …. timbullah gempa! … tapi apa yg terjadi kemudian …. muncratlah lumpur dari tanah sekelilingnya …. ..terbentuklah danau lumpur yang mendidih, akhirnya si Buto mati tenggelam.

kumpulan kisah unik


Blogger ramdan berkata...

Cinta Seekor Cicak

Ketika sedang merenovasi rumah, seorang pemuda cuba meruntuhkan suatu tembok.
Rumah di Japan biasanya memiliki ruang kosong di antara tembok yang dibuat dari
kayu. Ketika tembok itu mulai roboh, dia menemui seekor cicak yang terperangkap
di antara ruang kosong itu kerana kakinya melekat pada sebatang paku.

Dia merasa kasihan sekaligus heran. Lalu dia memperhati paku itu, ternyata paku
tersebut telah ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibuat.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan keadaan terperangkap
selama 10 tahun??? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikit
pun, itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal.
Pemuda itu lalu berfikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10
tahun tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat pada paku itu!
Pemuda itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu, apa yang
dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu
dari mana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di mulutnya….
AHHHH!

Pemuda itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang
selalu memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta…cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan
yang kecil seperti dua ekor cicak itu. Apa yang dapat dilakukan oleh cinta?
tentu saja sebuah keajaiban.
Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti
memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. Bayangkan bagaimana hewan yang kecil
itu dapat memiliki kurnia yang begitu mengagumkan.

Moral.

Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berfikir tentang
hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, kekasih, saudara lelaki, saudara
perempuan….. Seiring dengan berkembangnya teknologi, akses kita untuk
mendapatkan informasi berkembang sangat cepat. Tapi tak peduli sejauh apa jarak
diantara kita, berusahalah semampumu untuk tetap dekat dengan orang-orang yang
kita kasihi.
JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!!!

2008 November 15 16:46

Blogger ramdan berkata...

Menulis Di Atas Pasir
Kisah tentang 2 orang sahabat karib yang sedang berjalan melintasi gurun pasir.
Ditengah perjalanan, mereka bertengkar dan salah seorang tanpa dapat menahan
diri menampar temannya. Orang yang kena tampar, merasa sakit hati, tapi dengan
tanpa berkata-kata, dia menulis di atas pasir :
¢Hari Ini, Sahabat Terbaik Ku Menampar Pipiku.¢
Orang yang pipinya kena tampar dan terluka hatinya, mencoba berenang untuk
menyejukkan galaunya. Mereka terus berjalan, sampai menemukan sebuah oasis,
dimana mereka memutuskan untuk mandi. Namun, ternyata oasis tersebut cukup dalam
sehingga ia nyaris tenggelam, dan diselamatkanlah ia oleh sahabatnya.
Ketika dia mulai siuman dan rasa takutnya sudah hilang, dia menulis di sebuah
batu :
¢Hari Ini, Sahabat Terbaik Ku Menyelamatkan Nyawaku.¢
Si penolong yang pernah menampar sahabatnya tersebut bertanya,¢Kenapa setelah
saya melukai hatimu, kau menulisnya di atas pasir, dan sekarang kamu menulis di
batu?¢ Temannya sambil tersenyum menjawab,¢Ketika seorang sahabat melukai kita,
kita harus menulisnya diatas pasir agar angin maaf datang berhembus dan
menghapus tulisan tersebut. Dan bila dalam antara sahabat terjadi sesuatu
kebajikan sekecil apa pun, kita harus memahatnya di atas batu hati kita, agar
tetap terkenang tidak hilang tertiup waktu.¢

Dalam hidup ini sering timbul beda pendapat dan konflik karena sudut pandang
yang berbeda. Oleh karenanya cobalah untuk saling memaafkan dan lupakan masalah
lalu.
Marilah kita belajar menulis diatas pasir!

2008 November 15 16:48

Blogger ramdan berkata...

19 Keistimewaan Wanita Menurut Hadis
@@
1. Doa wanita itu lebih makbul daripada lelaki kerana sifat
penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada
Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda , " Ibu lebih
penyayang daripada bapa dan doa orang yang penyayang tidak akan
sia-sia."
2. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1000
lelaki yang soleh.
3. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, darjatnya
seumpama orang yang sentiasa menangis kerana takutkan Allah .Dan
orang yang takutkan Allah SWT akan diharamkan api neraka ke atas
tubuhnya.
4. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal
bersama aku (Rasulullah SAW) di dalam syurga.
5. Barangsiapa membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke
rumah lalu diberikan kepada keluarganya) maka pahalanya seperti
melakukan amalan bersedekah.Hendaklah mendahulukan anak perempuan
daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak
perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail.
6. Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.
7. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara
perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu
dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka
dengan penuh rasa takwa serta sikap bertanggungjawab, maka baginya
adalah syurga.
8. Apabila memanggil akan dirimu dua orang ibu bapamu, maka
jawablah panggilan ibumu terlebih dahulu.
9. Daripada Aisyah r.a." Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu
daripada anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada
mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api
neraka.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah
pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari
mana-mana pun pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.
11. Wanita yang taat pada suaminya, maka semua ikan-ikan di
laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua
beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya serta
menjaga solat dan puasanya.

12. Aisyah r.a berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah
yang lebih besar haknya terhadap wanita?" Jawab Rasulullah SAW
"Suaminya." " Siapa pula berhak terhadap lelaki?" Jawab Rasulullah
SAW, "Ibunya."

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan
Ramadhan, memelihara kehormatannya serta kepada suaminya, masuklah
dia dari pintu syurga mana sahaja yang dikehendaki.

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka
Allah SWT memasukkan dia ke dalam syurga terlebih dahulu daripada
suaminya (10,000 tahun).
15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam
rahimnya,maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT
mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan
menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.
16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka
Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan
Allah.
17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari
dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.
18. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu
setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.
19. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya
yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70
orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

2008 November 15 16:51

Blogger ramdan berkata...

Sepuluh Bekal Menuju Kehidupan Akhirat
Untuk mendapatkan kebahagiaan didunia dan akhirat tidaklah mudah, banyak ihtiar dan usaha yang harus dilakukan. Abah Didi sudah menyusun bekal apa yang diperlukan seseorang dalam perjalanannya menuju akhirat.
Kehidupan akhirat dimulai sejak manusia mengakhiri kehidupan dunia dalam istilah, disebut "Kematian". Setelah kematian manusia harus melalui sepuluh tahapan dalam menuju kehidupan akhirat, di antaranya :
1. Saat dicabut nyawa
2. Di alam Kubur
3. Menghadapi malaikat Munkar dan Nakir
4. Melalui Timbangan/Mizan
5. Menerima Pencatatan/Kitab
6. Melalui Titian Sirotol Mustakim
7. Selamat dari Neraka
8. Mendapat Surga
9. Mendapat syafa'at Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam
10. Bertemu/melihat Allah Subhanahu Wa Taala.
Bila manusia selamat melalui seluruh tahapan ini maka kebahagiaanlah yang akan didapat, suatu kebahagiaan yang tidak pernah terbayangkan dan akan kekal selamanya.
Bekal yang diperlukan untuk selamat melalui setiap tahapan harus dikerjakan dalam kehidupan di dunia dan dijalani setiap hari.
Bekal tersebut, adalah :
1. Bekal ketika dicabut nyawa
1. Melakukan tobat atas segala dosa
2. Rendah hati terhadap sesama pria dan wanita Islam
3. Mau menjalankan kewajiban dan sunah
4. Sanggup memperbanyak zikir kepada Allah

2. Bekal untuk di alam kubur
1. Jangan mengumpat
2. Jangan mengadu domba
3. Menjaga kebersihan dan kesucian diri
4. Selalu melakukan shalat lima waktu

3. Bekal untuk para Malaikat, serta Malaikat Munkar dan Nakir
1. Mengucapkan Syahadat
2. Selalu menepati janji
3. Mempelajari dan mengamalkan ilmu yang benar dan untuk kebenaran
4. Menyayangi sesama kaum mu'min

4. Bekal untuk menghadapi timbangan/Mizan
1. Mendalami ilmu syara' dan hadist
2. Memahami dan menjalankan prinsip-prinsip ilmu syara'
3. Selalu ikhlas hatinya dalam melakukan perbuatan baik
4. Melanggengkan perbuatan baik

5. Bekal untuk menghadapi pencatatan/Kitab
1. Sanggup meredam bergunjing atas keburukan orang lain
2. Sanggup menjauhi kesenangan dunia dan meninggal kan berhala
3. Selalu ingin berzikir kepada Allah Subhanahu Wa Taala
4. Menyenangi ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Taala.

6. Bekal untuk menghadapi Titian Sirotol Mustakim
1. Selalu menyayangi sesama keluarga mu'min
2. Berbakti kepada kedua orang tua
3. Menjaga dengan baik titipan/amanat
4. Berjalan ke Masjid, dan saling mengucapkan salam usai shalat Jum’at.

7. Bekal menghindari Neraka
1. Senang membaca Al Qur'an
2. Menangis karena takut kepada Allah Subhanahu Wa Taala.
3. Jangan melakukan pertengkaran antar sesama keluarga mu'min
4. Tidak melakukan pekerjaan dan memakan makanan yang haram

8. Bekal untuk di Surga
1. Selalu berbuat amal saleh
2. Menyenangi para kekasih Allah, seperti orang-orang alim atau orang-orang beriman
3. Selalu mencintai Allah Subhanahu Wa Taala yang Mahasuci
4. Selalu mencintai hamba-hamba Allah lainnya

9. Bekal mendapat syafa'at Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam
1. Mencintai dan mengasihi seluruh Nabi-nabi
2. Mengasihi dan menyayangi semua putra-putri Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam
3. Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam
4. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wasallam

10. Bekal untuk Allah Subhanahu Wa Taala
1. Melanggengkan perbuatan yang berlandaskan kebaikan
2. Menghindari melakukan perbuatan tercela
3. Menyelaraskan diri dengan semua mahluk ciptaan Allah
4. Menerima dengan rasa suka akan kepastian Allah
Menurut Abah Didi, “Sepuluh Bekal” ini harus dapat dipahami, dimengerti, diyakini dan dapat dijalani secara syareat, tarekat, hakekat dan makrifat dalam mengingat Allah Subhanahu Wa Taala, selamat pada kehidupan dunia dan mendapat status atau derajat tertinggi pada kehidupan akhirat yang kekal abadi.

2008 November 15 16:53

Blogger ramdan berkata...

MUTIARA KATA

"...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya
berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta
menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu..." (Kahlil
Gibran)

"...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku
mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk
berpetualang" (Kahlil Gibran)

"Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan
karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada
di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret
mereka kepada Tuhan..." (Kahlil Gibran)

"Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah,
karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah...
kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan
duka perpisahan" (Kahlil Gibran)
"Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada..." (Kahlil Gibran)
"Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan
ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan
datang" (Kahlil Gibran)

"Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku
mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir
hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang
akan mencabut diriku dari padanya" (Kahlil Gibran)

"Kemarin aku sendirian di dunia ini, kekasih; dan kesendirianku...
sebengis kematian... Kemarin diriku adalah sepatah kata yang tak
bersuara..., di dalam pikiran malam. Hari ini... aku menjelma menjadi
sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari. Dan, ini berlangsung
dalam semenit dari sang waktu yang melahirkan sekilasan pandang, sepatah
kata, sebuah desakan dan... sekecup ciuman" (Kahlil Gibran)




.

2008 November 15 17:15

Blogger ramdan berkata...

DIALOG RASULLULLAH DENGAN IBLIS

Rasullullah S.A.W pernah bertanya kepada iblis, "Wahai Iblis! Apakah
ikhtiarmu ke atas umatku.Aku telah dibangkitkan utk menyelamatkan
semua umat manusia agar beriman kepada Allah S.W.T."
Jawab Iblis: "Ya Rasullullah, demi kemuliaanmu aku akan
bersungguh-sungguh menyesatkan umat manusia dari mengikuti ajaranmu.
Aku akan mencampurkan lelaki dengan wanita supaya mudah aku mencelah
di tengahnya."

Tanya Rasullullah lagi: "Wahai Iblis! Apa lagi yang engkau
musykilkan?"
Jawab Iblis: "Ya Muhammad! Sebenarnya aku amat hairan dengan sikap
umatmu dalam dua perkara iaitu:
Mereka mengakui menyintai Allah S.W.T tetapi pada masa yg sama
mereka masih melakukan maksiat dan perbuatan munkar. Kedua, mereka
sangat benci akan tabiatku tetapi mereka masih mahu mengikut segala
hasutanku."

Firman Allah kepada Iblis: "Sememangnya engkau adalah makhluk
terkutuk, demi kemuliaanKu, akan Aku beriakn kepada umat Muhammad
dua kegembiraan iaitu: kecintaan mereka terhadapKu akan Aku jadikan
penebus dosa di atas kesalahan yg telah mereka lakukan kerana
helahmu. Kedua, marahnya mereka terhadapmu akan Aku jadikan penebus
dosa bagi maksiat yg telah mereka lakukan..."
Maka tercenganglah Iblis mendengar penjelasan sedemikian dari Allah
S.W.T. Sedarlah Iblis bahawa umat Muhammad adalah umat yang
disayangi Allah S.W.T yang Maha Pengampun lagi Maha Mengasihani.
.

2008 November 15 17:27

Blogger ramdan berkata...

Belajar dari Keledai

Suatu hari keledai milik seorang petani jatuh kedalam sumur. Hewan itu menangis dengan memilukan selama berjam-jam, sementara sipetani memikirkan apa yang harus dilakuaknnya. Akhirnya, ia memutuskan bahwa hewan itu sudah tua dan sumur itu perlu ditimbun(ditutup karena berbahaya), jadi tidak berguna untuk menolong si
keledai.

Ia mengajak tetangga - tetangganyauntuk datang membantunya. Mereka
membawa sekop dan mulai menyekop tanah kedalam sumur. Pada mulanya ,ketika si keledai menyadari apa yang sedang terjadi, ia menangis penuh kengerian.tetapi kemudian,semua orang takjub, karena si keledai menjadi diam. setelah beberapa sekop tanah dituangkan kedalam sumur, sipetani melihat kedalam sumur dan tercengang atas apa yang dilihatnya. Walaupun punggungnya yang terus ditimpa oleh bersekop - sekop tanah dan kotoran, sikeledai melakukan sesuatu yang menabjubka. ia menguncang - guncangkan badannya agar tanah yang menimpa punggungnya turun kebawah,lalu menaiki tanah itu. sementara tetangga –tetangga si petani terus menuangkan tanah kotor ke atas punggung hewan itu. si keledai terus menguncangkan badannya dan melangkah naik. segera saja,semua orangterpesona ketika si keledai meloncati tepi sumur dan melarikan diri.

MORAL

Kehidupan terus saja menuangkan segala macam tanah dan kotoran kepadamu. Cara untuk keluar dari sumur(kesedihan , masalah , beban pikiran) adalah denganmengguncangkan hal - hal tersebut sebagai pijakan. setiap masalah dalam hidup kita merupakan batu pijakan untuk melangkah. kita dapat keluar dari sumur yang terdalam dengan terus berjuang. jangan pernah menyerah!

2008 November 15 17:30

Blogger ramdan berkata...

. KATA - KATA HIKMAH KHULAFA' UR RASYIDIN
@
Syd. Abu Bakar rha. Berkata :
Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu
daripada 4 sifat yang membinasakan, iaitu:
• Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu
dibelanjakan bukan pada tempatnya.
• Hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim.
• Hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan
dipergunakan untuk kejahatan pula.
• Adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara
berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna.
Syd. Umar Al Khattab Rha. berkata :
• Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya.
• Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina.
• Orang yang menyintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
• Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan
dirinya akan terjaga.
Syd. Othman Ibnu Affan Rha. berkata :
Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah:
• Hatinya selalu berniat suci
• Lidahnya selalu basah dengan zikrullah
• Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa)
• Segala perkara dihadapainya dengan sabar dan tabah
• Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
Syd. Ali Karramallahu Wajhah berkata :
• Tiada solat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu'.
• Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada
perbuatan yang sia-sia.
• Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur'an tanpa mengambil
pangajaran daripadanya.
• Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat
warak (memelihara diri dan hati- hati dari dosa).
• Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi.
• Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki.
• Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan.
• Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya,siapa
yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya,siapa yang hilang
harga dirinya, bererti dia tidak warak.Sedang orang yang tidak warak
itu bererti hatinya mati.

2008 November 15 17:31

Blogger ramdan berkata...

Kisah Nyata Seorang Pemuda Arab Yang Menimba Ilmu Di Amerika


Rabu,22 Februari 2006

Ada seorang pemuda arab yang baru saja me-nyelesaikan bangku kuliahnya di
Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya.

Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Ketika berada diAmerika , ia berkenalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namum karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka. Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghor-matan lantas kembali duduk.

Di saat itu si pendeta agak terbelalak ketika meli-hat kepada para hadirin
dan berkata, "Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini." Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, "Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya." Barulah pemuda ini beranjak keluar.

Di ambang pintu ia bertanya kepada sang pen-deta, "Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim." Pendeta itu menjawab, "Dari tanda yang terdapat di wajahmu." Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, tujuannya untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus mengokohkan markasnya. Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut.

Sang pendeta berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menja-wabnya dengan tepat." Si pemuda tersenyum dan berkata,
"Silahkan!"

Sang pendeta pun mulai bertanya,
1. Sebutkan satu yang tiada duanya,
2. dua yang tiada tiganya,
3. tiga yang tiada empatnya,
4. empat yang tiada limanya,
5. limayang tiada enamnya,
6. enam yang tiada tujuhnya,
7. tujuh yang tiada delapannya,
8. delapan yang tiada sembilannya,
9. sembilanyang tiada sepuluhnya,
10. sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh,
11. sebelas yang tiada dua belasnya,
12. dua belas yang tiada tiga belasnya,
13. tiga belas yang tiada em-pat belasnya.
14. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh!
15. Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawaisinya?
16. Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga?
17. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya?
18. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dengan tanpa ayah dan ibu!
19. Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api?
20. Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yg diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu?
21. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar!
22. Pohon apakah yang mempu-nyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan dua di bawah sinaran matahari?"
Mendengar pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah.

Setelah membaca basmalah ia berkata,

1 . Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.
2. Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman,
"Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran kami)." (Al-Isra': 12).
3. Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan,
membunuh seorang anak kecil dan ketika me-negakkan kembali dinding yang hampir roboh.
4 . Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur'an.
5. Lima yang tiada enamnya ialah shalat lima waktu.
6. Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ke-tika Allah SWT menciptakan makhluk.
7. Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis.
Allah SWT berfirman, "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis- lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk: 3).
8. Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman.
Allah SWT berfirman,"Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas(kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).
9. Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa : tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu dan belalang dan
10. Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan.Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat." (Al-An'am: 160).
11. Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah saudara-saudaraYusuf .
12. Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah, "Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman,’'Pukullah batu itu dengan tongkatmu.' Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air." (Al-Baqarah: 60).
13. Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.
14. Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruhadalah waktu Shubuh. Allah SWT ber-firman, "Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menying-sing." (At-Takwir: 18).
15. Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.
16. Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala." Setelah kedustaan terungkap, Yusuf berkata kepada mereka," tak ada cercaaan terhadap kalian." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
17. Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara kele-dai." (Luqman: 19).
18. Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.
19 . Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, "Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya': 69).
20. Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).
21. Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalahtipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT, "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).
22. Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya: Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.

Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja. Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta. Pemuda ini berkata, "Apakah kunci surga itu?"

Mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata : "Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya!" Pendeta tersebut berkata, "Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah.

"Mereka menjawab, "Kami akan jamin keselamatan anda."Sang pendeta pun berkata, "Jawabannya ialah : ‘’ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADUANNAMUHAMMADARRASULULLAH."

Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itu memeluk agama Islam. Sungguh Allah telah menganugrahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa.**

* Penulis tidak menyebutkan yang kesembilan (pent.)
** Kisah nyata ini diambil dari Mausu'ah al-Qishash al-Waqi'ah melalui internet,www.gesah.net Kaum yang berpikir (termasuk para pendeta) sedianya telah mengetahui
bahwa Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan akan menjaga manusia dalam kesejahteraan baik di dunia dan di akherat.Apa yang menyebabkan hati-hati para pendeta itu masih tertutup bahkan cenderung mereka sendiri yang menutup rapat jiwanya.Semoga Allah SWT memberikan Hidayah kepada mereka yang mau berpikir..
AMIEN…………………………………………………

2008 November 15 17:32

Blogger ramdan berkata...

Bila Al Qur'an bisa bicara !!!!!!!


"Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya."
(QS Al A'raaf [7] : 36).

Bila Al Qur'an bisa bicara!

Waktu engkau masih kanak-kanak, kau laksana kawan sejatiku
Dengan wudu' aku kau sentuh dalam keadaan suci
Aku kau pegang, kau junjung dan kau pelajari
Aku engkau baca dengan suara lirih ataupun keras setiap hari
Setelah usai engkaupun selalu menciumku mesra

Sekarang engkau telah dewasa...
Nampaknya kau sudah tak berminat lagi padaku...
Apakah aku bacaan usang yang tinggal sejarah...
Menurutmu barangkali aku bacaan yang tidak menambah pengetahuanmu
Atau menurutmu aku hanya untuk anak kecil yang belajar mengaji saja?

Sekarang aku engkau simpan rapi sekali hingga kadang engkau lupa dimana menyimpannya
Aku sudah engkau anggap hanya sebagai perhiasan rumahmu
Kadang kala aku dijadikan mas kawin agar engkau dianggap bertaqwa
Atau aku kau buat penangkal untuk menakuti hantu dan syetan
Kini aku lebih banyak tersingkir, dibiarkan dalam kesendirian dalam kesepian
Di atas lemari, di dalam laci, aku engkau pendamkan.

Dulu...pagi-pagi...surah-surah yang ada padaku engkau baca beberapa halaman
Sore harinya aku kau baca beramai-ramai bersama temanmu di surau.....
Sekarang... pagi-pagi sambil minum kopi...engkau baca Koran pagi atau nonton berita TV
Waktu senggang..engkau sempatkan membaca buku karangan manusia
Sedangkan aku yang berisi ayat-ayat yang datang dari Allah Yang Maha Perkasa.
Engkau campakkan, engkau abaikan dan engkau lupakan...

Waktu berangkat kerjapun kadang engkau lupa baca pembuka surah2ku (Basmalah)
Diperjalanan engkau lebih asyik menikmati musik duniawi
Tidak ada kaset yang berisi ayat Alloh yang terdapat padaku di laci mobilmu
Sepanjang perjalanan radiomu selalu tertuju ke stasiun radio favoritmu
Aku tahu kalau itu bukan Stasiun Radio yang senantiasa melantunkan ayatku

Di meja kerjamu tidak ada aku untuk kau baca sebelum kau mulai kerja
Di Komputermu pun kau putar musik favoritmu
Jarang sekali engkau putar ayat-ayatku melantun
E-mail temanmu yang ada ayat-ayatkupun kadang kau abaikan
Engkau terlalu sibuk dengan urusan duniamu
Benarlah dugaanku bahwa engkau kini sudah benar-benar melupakanku

Bila malam tiba engkau tahan nongkrong berjam-jam di depan TV Menonton pertandingan Liga Italia , musik atau Film dan Sinetron laga
Di depan komputer berjam-jam engkau betah duduk
Hanya sekedar membaca berita murahan dan gambar sampah

Waktupun cepat berlalu...aku menjadi semakin kusam dalam lemari
Mengumpul debu dilapisi abu dan mungkin dimakan kutu
Seingatku hanya awal Ramadhan engkau membacaku kembali
Itupun hanya beberapa lembar dariku
Dengan suara dan lafadz yang tidak semerdu dulu
Engkaupun kini terbata-bata dan kurang lancar lagi setiap membacaku.

Apakah Koran, TV, radio , komputer, dapat memberimu pertolongan?
Bila engkau di kubur sendirian menunggu sampai kiamat tiba
Engkau akan diperiksa oleh para malaikat suruhanNya
Hanya dengan ayat-ayat Allah yang ada padaku engkau dapat selama melaluinya.

Sekarang engkau begitu enteng membuang waktumu...
Setiap saat berlalu...kuranglah jatah umurmu...
Dan akhirnya kubur sentiasa menunggu kedatanganmu..
Engkau bisa kembali kepada Tuhanmu sewaktu-waktu
Apabila malaikat maut mengetuk pintu rumahmu.

Bila aku engkau baca selalu dan engkau hayati...
Di kuburmu nanti....
Aku akan datang sebagai pemuda gagah nan tampan
Yang akan membantu engkau membela diri
Bukan koran yang engkau baca yang akan membantumu
Dari perjalanan di alam akhirat
Tapi Akulah "Qur'an" kitab sucimu
Yang senantiasa setia menemani dan melindungimu

Peganglah aku lagi . .. bacalah kembali aku setiap hari
Karena ayat-ayat yang ada padaku adalah ayat suci
Yang berasal dari Alloh, Tuhan Yang Maha Mengetahui
Yang disampaikan oleh Jibril kepada Muhammad Rasulullah.

Keluarkanlah segera aku dari lemari atau lacimu...
Jangan lupa bawa kaset yang ada ayatku dalam laci mobilmu
Letakkan aku selalu di depan meja kerjamu
Agar engkau senantiasa mengingat Tuhanmu

Sentuhilah aku kembali...
Baca dan pelajari lagi aku....
Setiap datangnya pagi dan sore hari
Seperti dulu....dulu sekali...
Waktu engkau masih kecil , lugu dan polos...
Di surau kecil kampungmu yang damai

Jangan biarkan aku sendiri....
Dalam bisu dan sepi....

"Utamakan SELAMAT dan SEHAT untuk duniamu, Utamakan SHOLAT dan ZAKAT untuk akhiratmu"

2008 November 15 17:33

Blogger ramdan berkata...

PERSAHABATAN
Persahabatan itu adalah tanggungjawaban yang manis, bukannya peluang.

SULUH HIDUP
Tuhan telah memasang suluh dalam hati kita yang menyinarkan pengetahuan
dan keindahan; berdosalah mereka yang mematikan suluh itu dan
menguburkannya ke dalam abu.
PENYAIR
Penyair adalah orang yang tidak bahagia, kerana betapa pun tinggi jiwa
mereka, mereka tetap diselubungi airmata.
Penyair adalah adunan kegembiraan dan kepedihan dan ketakjuban, dengan
sedikit kamus.
Penyair adalah raja yang tak bertakhta, yang duduk di dalam abu istananya
dan cuba membangun khayalan daripada abu itu.
Penyair adalah burung yang membawa keajaiban. Dia lari dari kerajaan
syurga lalu tiba di dunia ini untuk berkicau semerdu-merdunya dengan suara
bergetar. Bila kita tidak memahaminya dengan cinta di hati, dia akan
kembali mengepakkan sayapnya lalu terbang kembali ke negeri asalnya.

SUARA KEHIDUPANKU
Suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu;
tapi marilah kita cuba saling bicara barangkali kita dapat mengusir
kesepian dan tidak merasa jemu.

KEINDAHAN KEHIDUPAN
Keindahan adalah kehidupan itu sendiri saat ia membuka tabir penutup
wajahnya. Dan kalian adalah kehidupannya itu, kalianlah cadar itu.
Keindahan adalah keabadian yag termangu di depan cermin. Dan kalian adalah
keabadian itu, kalianlah cermin itu.

PERPISAHAN
Ketika tiba saat perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang
paling kalian kasihi darinya mungkin akan nampak lebih nyata dari kejauhan
- seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran.

RUMAH
Rumahmu tak akan menjadi sebuah sangkar, melainkan tiang utama sebuah
kapal layar.
PUISI
Puisi bukanlah pendapat yang dinyatakan. Ia adalah lagu yang muncul
daripada luka yang berdarah atau mulut yang tersenyum.

NILAI
Nilai dari seseorang itu di tentukan dari keberaniannya memikul
tanggungjawab, mencintai hidup dan pekerjaannya.

PENDERITAAN
Penderitaan yang menyakitkan adalah koyaknya kulit pembungkus kesedaran-
seperti pecahnya kulit buah supaya intinya terbuka merekah bagi sinar
matahari yang tercurah.

Kalian memiliki takdir kepastian untuk merasakan penderitaan dan
kepedihan. Jika hati kalian masih tergetar oleh rasa takjub menyaksikan
keajaiban yang terjadi dalam kehidupan, maka pedihnya penderitaan tidak
kalah menakjubkan daripada kesenangan.
Banyak di antara yang kalian menderita adalah pilihan kalian sendiri -
ubat pahit kehidupan agar manusia sembuh dari luka hati dan penyakit jiwa.
Percayalah tabib kehidupan dan teguk habis ramuan pahit itu dengan cekal
dan tanpa bicara.

SAHABAT
Sahabat adalah keperluan jiwa yang mesti dipenuhi.
Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau subur dengan
penuh rasa terima kasih. Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana
kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa memerlukan
kedamaian.

SIKAP MANUSIA
Jauhkan aku dari manusia yang tidak mahu menyatakan kebenaran kecuali jika
ia berniat menyakiti hati, dan dari manusia yang bersikap baik tapi
berniat buruk, dan dari manusia yang mendapatkan penghargaan dengan jalan
memperlihatkan kesalahan orang lain.

DUA HATI
Orang yang berjiwa besar memiliki dua hati; satu hati menangis dan yang
satu lagi bersabar.

HUTANG KEHIDUPAN
Periksalah buku kenanganmu semalam, dan engkau akan tahu bahwa engkau
masih berhutang kepada manusia dan kehidupan.

INSPIRASI
Inspirasi akan selalu bernyanyi; kerana inspirasi tidak pernah
menjelaskan.

POHON
Pohon adalah syair yang ditulis bumi pada langit. Kita tebang pohon itu
dan menjadikannya kertas, dan di atasnya kita tulis kehampaan kita.

FALSAFAH HIDUP
Hidup adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat
-keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan . Dan pengetahuan
adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan
sia-sia jika tidak disertai cinta.

KERJA
Bekerja dengan rasa cinta, bererti menyatukan diri dengan diri kalian
sendiri, dengan diri orang lain dan kepada Tuhan.
Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasa cinta itu ? Bagaikan menenun kain
dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan
memakainya kelak.

LAGU GEMBIRA
Alangkah mulianya hati yang sedih tetapi dapat menyanyikan lagu
kegembiraan bersama hati-hati yang gembira.

KEBEBASAN
Ada orang mengatakan padaku, "Jika engkau melihat ada hamba tertidur,
jangan dibangunkan, barangkali ia sedang bermimpi akan kebebasan."
Kujawab,"Jika engkau melihat ada hamba tertidur, bangunkan dia dan ajaklah
berbicara tentang kebebasan."



ORANG TERPUJI
Sungguh terpuji orang yang malu bila menerima pujian, dan tetap diam bila
tertimpa fitnah.

BERJALAN SEIRINGAN
Aku akan berjalan bersama mereka yang berjalan. Kerana aku tidak akan
berdiri diam sebagai penonton yang menyaksikan perarakan berlalu.
DOA
Doa adalah lagu hati yang membimbing ke arah singgahsana Tuhan meskipun
ditingkah oleh suara ribuan orang yang sedang meratap.

PENYIKSAAN
Penyiksaan tidak membuat manusia tak bersalah jadi menderita: penindasan
pun tak dapat menghancurkan manusia yang berada di pihak Kebenaran:
Socrates tersenyum ketika disuruh minum racun, dan Stephen tersenyum
ketika dihujani dengan lemparan batu. Yang benar-benar menyakitkan hati
ialah kesedaran kita yang menentang penyiksaan dan penindasan itu, dan
terasa pedih bila kita mengkhianatinya.

KATA-KATA
Kata-kata tidak mengenal waktu. Kamu harus mengucapkannya atau
menuliskannya dengan menyedari akan keabadiannya.

BICARA WANITA
Bila dua orang wanita berbicara, mereka tidak mengatakan apa-apa; tetapi
jika seorang saja yang berbicara, dia akan membuka semua tabir
kehidupannya.

KESEDARAN
Aku tidak mengetahui kebenaran mutlak. Tetapi aku menyedari kebodohanku
itu, dan di situlah terletak kehormatan dan pahalaku.
ILMU DAN AGAMA
Ilmu dan agama itu selalu sepakat, tetapi ilmu dan iman selalu bertengkar.

NILAI BURUK
Alangkah buruknya nilai kasih sayang yang meletakkan batu di satu sisi
bangunan dan menghancurkan dinding di sisi lainnya.
CINTA
Salahlah bagi orang yang mengira bahwa cinta itu datang kerana pergaulan
yang lama dan rayuan yang terus menerus. Cinta adalah tunas pesona jiwa,
dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat, ia takkan tercipta
bertahun-tahun atau bahkan abad.
CINTA
Ketika cinta memanggilmu maka dekatilah dia walau jalannya terjal berliku,
jika cinta memelukmu maka dakaplah ia walau pedang di sela-sela sayapnya
melukaimu.
CINTA
Cinta tidak menyedari kedalamannya dan terasa pada saat perpisahan pun
tiba. Dan saat tangan laki-laki menyentuh tangan seorang perempuan mereka
berdua telah menyentuh hati keabadian.
CINTA
Cinta adalah satu-satunya kebebasan di dunia kerana cinta itu
membangkitkan semangat- hukum-hukum kemanusiaan dan gejala alami pun tak
mampu mengubah perjalanannya.
CINTA
Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini,
pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang
ATAS NAMA CINTA
Jangan kaukira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang
tekun. Cinta adalah kesesuaian jiwa dan jika itu tak pernah ada, cinta tak
akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan abad.
CINTA YANG BERLALU
Cinta berlalu di depan kita, terbalut dalam kerendahan hati;
tetapi kita lari daripadanya dalam ketakutan, atau bersembunyi di dalam
kegelapan; atau yang lain mengejarnya, untuk berbuat jahat atas namanya
CINTA LELAKI
Setiap lelaki mencintai dua orang perempuan, yang pertama adalah
imaginasinya dan yang kedua adalah yang belum dilahirkan.
TAKDIR CINTA
Aku mencintaimu kekasihku, sebelum kita berdekatan, sejak pertama kulihat
engkau. Aku tahu ini adalah takdir. Kita akan selalu bersama dan tidak
akan ada yang memisahkan kita.
CINTA PERTAMA
Setiap orang muda pasti teringat cinta pertamanya dan mencuba menangkap
kembali hari-hari asing itu, yang kenangannya mengubah perasaan direlung
hatinya dan membuatnya begitu bahagia di sebalik kepahitan yang penuh
misteri.
LAFAZ CINTA
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu
dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada.
LAFAZ CINTA
Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, kerana
kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita
dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka
perpisahan
KALIMAH CINTA
Apa yang telah kucintai laksana seorang anak yang tak henti-hentinya aku
mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir
hidupku, kerana cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang
akan mencabut diriku dari padanya
CINTA DAN AIRMATA
Cinta yang dibasuh oleh airmata akan tetap murni dan indah sentiasa.
WANITA
Seorang wanita telah dilengkapi oleh Tuhan dengan keindahan jiwa dan raga
adalah suatau kebenaran, yang sekaligus nyata dan maya, yang hanya bisa
kita fahami dengan cinta kasih, dan hanya bisa kita sentuh dengan
kebajikan.
BANGSA
Manusia terbahagi dalam bangsa, negara dan segala perbatasan. Tanah airku
adalah alam semesta. Aku warganegara dunia kemanusiaan.
KESENANGAN
Kesenangan adalah kesedihan yang terbuka bekasnya. Tawa dan airmata datang
dari sumber yang sama. Semakin dalam kesedihan menggoreskan luka ke dalam
jiwa semakin mampu sang jiwa menampung kebahagiaan
WARISAN
Manusia yang memperoleh kekayaannya oleh kerana warisan, membangun
istananya dengan yang orang-orang miskin yang lemah.
RESAH HATI
Jika manusia kehilangan sahabatnya, dia akan melihat sekitarnya dan akan
melihat sahabat-sahabatnya datang dan menghiburkannya. Akan tetapi apabila
hati manusia kehilangan kedamaiannya, dimanakah dia akan menemukannya,
bagaimanakah dia akan bisa memperolehinya kembali?
JIWA
Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan
kerana alasan duniawi dan dipisahkan di hujung bumi. Namun jiwa tetap ada
di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret
mereka kepada Tuhan.
LUAHAN
Setitiss airmata menyatukanku dengan mereka yang patah hati; seulas senyum
menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam kewujudan... Aku merasa lebih
baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan... dari aku hidup menjemukan
dan putus asa
LAGU KEINDAHAN
Jika kamu menyanyikan lagu tentang keindahan, walau sendirian di puncak
gurun, kamu akan didengari.
DIRI
Dirimu terdiri dari dua; satu membayangkan ia mengetahui dirinya dan yang
satu lagi membayangkan bahawa orang lain mengetahui ia.
TEMAN MENANGIS
Kamu mungkin akan melupakan orang yang tertawa denganmu, tetapi tidak
mungkin melupakan orang yang pernah menangis denganmu.
PEMAHAMAN DIRI
Orang-orang berkata, jika ada yang dapat memahami dirinya sendiri, ia akan
dapat memahami semua orang. Tapi aku berkata, jika ada yang mencintai
orang lain, ia dapat mempelajari sesuatu tentang dirinya sendiri.
HATI LELAKI
Ramai wanita yang meminjam hati laki-laki; tapi sangat sedikit yang mampu
memilikinya.
PENULIS
Kebanyakan penulis menampal fikiran-fikiran mereka yang tidak karuan
dengan bahan tampalan daripada kamus.
HARTA BENDA
Harta benda yang tak punya batas, membunuh manusia perlahan dengan
kepuasan yang berbisa. Kasih sayang membangunkannya dan pedih peri nestapa
membuka jiwanya.
OBOR HATI
Tuhan telah menyalakan obor dalam hatimu yang memancarkan cahaya
pengetahuan dan keindahan; sungguh berdosa jika kita memadamkannya dan
mencampakkannya dalam abu.
KESEPIAN
Kesepianku lahir ketika orang-orang memuji kelemahan-kelemahanku yang
ramah dan menyalahkan kebajikan-kebajikanku yang pendiam.
KEABADIAN PANTAI
Aku berjalan selalu di pantai ini. Antara pasir dan buih, Air pasang bakal
menghapus jejakku. Dan angin kencang menyembur hilang buih putih. Namun
lautan dan pantai akan tinggal abadi.
MEMAHAMI TEMAN
Jika kamu tidak memahami teman kamu dalam semua keadaan, maka kamu tidak
akan pernah memahaminya sampai bila-bila.
MANUSIA SAMA
Jika di dunia ini ada dua orang yang sama, maka dunia tidak akan cukup
besar untuk menampung mereka.
KEBENARAN
Diperlukan dua orang untuk menemui kebenaran; satu untuk mengucapkannya
dan satu lagi untuk memahaminya.




NYANYIAN PANTAI
Apakah nyanyian laut berakhir di pantai atau dalam hati-hati mereka yang
mendengarnya?

Kata Dengan Sejuta Makna

Jika engkau bersedih, mengacalah ke lubuk jiwa. Disanalah engkau akan
mengetahui bahwa sesungguhnya engkau menangisi sesuatu yang dulunya engkau
syukuri.
( Kahlil Gibran )

Orang yang paling sempurna bukanlah orang dengan otak yang sempurna.
Melainkan orang yang dapat mempergunakan dengan sebaik-baiknya dari bagian
otaknya yang kurang sempurna.
( Aristoteles )

Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak pernah
disakiti. Menarilah bagaikan tak seorangpun sedang menonton.
( Mark Twain )

Cinta itu saling dukung. Cinta itu saling dorong. Tapi jangan karena itu,
maka kita jadikan kekasih sebagai makhluk manja dan melukai diri sendiri.
( Sidney Sheldon )

Tak banyak gunanya memberi tahu orang lain tentang kesulitan Anda, separuh
dari mereka tidak peduli, sedang yang separuh lain malah senang
mendengarnya.
( Brenda French )

Jika ingin memenangkan apapun - perlombaan, diri sendiri, kehidupan -
engkau harus sedikit kalap.
( Shakespeare )

Cinta itu untuk dinikmati sendirian untuk aku bangun dunia angan-angan
yang bebas nilai yang tak berakses yang tak merugikan siapa saja sehingga
tak boleh aku dihukum.
( Plato )

Rayulah aku, dan aku mungkin tak mempercayaimu. Kritiklah aku, dan aku
mungkin tak menyukaimu. Acuhkan aku, dan aku mungkin tak memaafkanmu.
Semangatilah aku, dan mungkin aku takkan melupakanmu.
( William Arthur )

Kejayaan terletak pada tidak pernah jatuhnya seseorang. Tapi manusia mana
yang tidak pernah melakukan kesalahan. Maka, kejayaan yang
sebenar-benarnya adalah kesanggupan tegak kembali pada setiap kali jatuh.
( Anonymous )

\ Menaklukan ribuan orang belum bisa disebut sebagai pemenang. Tapi mampu
mengalahkan diri sendiri, itulah yang disebut penakluk gemilang.
( syair Budha )

Bila menginginkan keuntungan, belajarlah juga menyenangkan hati orang
lain.
( Winston Churchill )


Tak ada jalan terpendek dan pasti untuk meraih kehidupan yang berharga
kecuali melalui pengalaman dan praktik.
( Socrates )

Keinginan manusia adalah seperti koin-koin kecil yang dibawanya dalam
sebuah kantong. Semakin banyak yang dimiliki akan semakin memberatkan.
( Satya Sai Baba )

Banyak orang gagal karena terlalu percaya kepada sukses pertamanya.
( pepatah Cina )

Kebanyakan dari kita tidak mensyukuri apa yang telah dimiliki, tetapi
selalu menyesali yang belum dicapai.
( Schopenhauer )

Hati yang patah bukanlah dalih untuk melangkah dengan goyah, tapi satu
peringatakan agar langkah tidak kembali salah.
( Kahlil Gibran )

Jika ingin sukses, Anda harus merambah jalan baru. Bukan jalan setapak,
yang sering dilalui orang.
( John D Rockfeller, Sr )

Jangan melihat masa lampau dengan penyesalan. Jangan pula melihat masa
depan dengan ketakutan. Tapi lihatlah sekitar Anda dengan penuh kesadaran.

( James Thurber )

Bekerjalah dengan cinta
Karena disanalah engkau berada
Jangan berharap kelewat lebih
Karena jika kau serahkan dirimu
Akan Dia wujudkan semua mimpi itu.
( Abraham Jacobson )

Jika cinta adalah pengorbanan, katakan pada diri sendiri bahwa tak harus
ada pemilikan. Cinta itu mendorong bukan membui. Cinta itu ke depan bukan
berhenti.
( Bernard Schroecler )

Buanglah cemburu, simpan tanda tanya tentang kehendaknya membagi nikmat.
Mungkin yang buat kita masih tersimpan di surga. Menunggu kita siap
menerimanya.
( Ebiet G Ade )

Hidup tak selalu indah, tapi keindahan tetap hidup di dalam kenangna kita,
maka jagalah keindahanmu.
( Kweek Tjwan Bin )

Hidup yang tidak dikaji adalah hidup yang tak layak dijalani.
( Socrates )

Orang tidak dapat melihat bayangan dirinya di air yang mengalir. Tetapi ia
dapat melihatnya pada air yang diam.
( Konfucius )


musisi menulis lagu
pelukis menggores kanvas
penyair menggubah puisi
Mereka temukan damai dibalik karyanya itu, maka menjadilah sesuatu agar
kau berarti bagi dirimu dan orang lain.
( Abraham Maslow )

Kenanglah betapa aku mencintaimu, bukan hanya apa yang aku berikan, karna
cinta itu tak pernah usang. Ia akan kuperbaharui setiap waktu, dengan
mengenangmu, denagn rindu meskipun tubuh-tubuh kita membisu. Kenanglah,
betapa aku sangat mencintaimu!
( St. Valentine )

" Declare the truth and die for it! "
" Katakan kebenaran yang sesungguhnya, kalau perlu mati untuknya! "
( Muhammad Ali )

Seorang sahabat sejati adalah sahabat yang tetap berjalan bersamamu,
meskipun semua orang telah meninggalkanmu.
( Walter Winchell )

Dengan pikiran yang damai Anda dapat menghasilkan kekayaan. Namun materi
tidak mampu membeli kedamaian pikiran. Anda yang menciptakannya di dalam
diri sendiri.
( Les Brown )

Hidup ini adalah kebun.
Kerjakan sesuatu dengan sepenuh hati. Bukan hanya karena orang lain
mengatakan bahwa Anda harus mengerjakannya. Tapi karena pekerjaan itu
memang harus Anda selesaikan dengan baik. Ibarat menyirami kebun
kehidupan, jika Anda melakukannya setengah hati, yang akan basah juga
hanya separuh taman itu.
( J Donald Walters )

Intuisi lebih penting daripada penjelasan. Imajinasi lebih penting
daripada pengetahuan.
( Albert Einstein )

Kesabaran itu memang pahit, tetapi buah yang dihasilkannya akan manis.
( Roessau )

Hasrat dan kemauan adalah tenaga terbesar di dunia ini. Lebih daripada
uang dan kekuasaan. Dengan hasrat dan kemauan, Anda bahkan mampu mengubah
kehidupan menjadi lebih indah, dan diri sendiri menjadi lebih bermanfaat.
Maka, jangan henti berusaha.
( Shakespeare )

Jangan khawatir ketika orang lain tak mengerti engkau, baru khawatirlah
ketika engkau tak mau mengerti orang lain ........
( syair Budha )

Ada bunga kecil mungil di tengah alam ganas. Ada yang lemah diantara yang
kuat, seprti juga, akan ada yang hadir diantara yang pergi ........
( Kahlil Gibran )



Sedikit pengetahuan yang diamalkan jauh lebih berharga daripada banyak
pengetahuan tetapi tidak digunakan.
( Kahlil Gibran )

Orang tak dapat hidup hanya berdasarkan cinta, tapi aku begitu bodoh
sehingga aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali memikirkan dia.
( Sophie Tolstoy )

Ketika kita lahir, kta menangis dan dunia bergembira. Jalanilah hidup kita
dengan cara sedemikian rupa, supaya ketika kita meninggal, dunia akan
menangis dan kita bergembira.
( Anonymous )

Sebuah sajak, sebuah hasil kesenian, menjadi penting dan berarti bukanlah
karena panjangnya atau pendeknya, tetapi karena tingkatnya, kadarnya.
( Chairil Anwar )

Orang mulia menyalahkan dirinya, orang bodoh menyalahkan orang lain.
Mengenal diri yang paling penting, adalah utama demi kesadaran jagad raya.
Berarti pula memahami kesalahan, serta kekeliruan masing-masing.
( falsafah Tao )

Kerendaha hati menuntun pada kekuatan, bukan kelemahan. Mengakui kesalahan
dan melakukan perubahan atas kesalahan, adalah bentuk tertinggi dari
penghormatan pada diri sendiri.
( John McCloy )

Apabila Anda benar Anda tak perlu marah. Apabila Anda salah Anda tak boleh
marah.
( Mahatma Gandhi )

Bila kau mencintai seperti dia mencintaimu, maka kau akan menjadi tua
secara indah.
( Somerset Maughan )

Obat Penyembuh Dosa
Ambil akar kemelaratan dan jiwa kesabaran, beri serbuk pikiran, campur
rendah hati dan kekhusyukan, tumbuk dengan lumpang taubat, basahi dengan
air mata, tempatkan dalam nampan rendah diri kepada Allah, masak dengan
api tawakal kepada-Nya. Aduk dengan sendok istighfar sehingga tampak
taufik dan kehormatan diri. Pindahkan ke mangku cinta, dinginkan dengan
udara kasih sayang. Saring dengan kasa kesusahan, tambahkan hakikat iman
dan campur dengan takut kepada Allah.
( Anonymous )

Life without a friend is a death without a witness.
( Anonymous )

The language of friendship is not words but meanings.
( Anonymous )

Depth of friendship does not depend on length of acquaintance.
( Anonymous )

The better part of one's life consists of his friendships.
( Anonymous )

A real friends is one who walks in when the rest of the world walks out.
( Anonymous )

A friends is like a four-leaf clover, hard to find and lucky to have.
( Anonymous )

It is one of the blessings of old friends that you can afford to be stupid
with them.
( Anonymous )

True happiness consists not in the multitude of friends, but in their
worth and choice.
( Anonymous )

Flowers of true friendship never gives up, it is a promise made forever.
It brings such happiness to the heart and mind & makes every dreams come
alive.
( Anonymous )

A close FRIEND is a companion for life ... .
And I'm glad, that I've wonderful friend like you.
( Anonymous )

True friendship is not sharing the beautiful moments together. But, it
means something more than that, and friend, you have taught me the true
meaning.
( Anonymous )

There is only one happiness in life, to love and be loved.
( Anonymous )

... In your eyes I know I will find the light to light my way ...
( Anonymous )

Loving is not how you forget but how you forgive, not how you listen but
how you understand, not what you see but how you feel, and not how you let
go but how you hold on.
( Anonymous )

Sometimes the one you love turns out to be the one who hurts you the most,
and sometimes the friends who takes you into his arms and cries when you
cry turns out to be the love you never knew you wanted.
( Anonymous )

Remember the five simple rules to be happy :
1. Free your heart from harted.
2. Free your mind from worries.
3. Live simply.
4. Give more.
5. Expect less.
( Anonymous )

No one can go back and make a brand new start. Anyone can start from now
and make a brand new ending.
( Anonymous )


God didn't promise days without pain, laughter without sorrow, sun without
rain, but He did promise strenght for the day, comfort for the tears, and
light for the way.
( Anonymous )

Disappointments are like road humps, they slow you down a bit but you
enjoy the smooth road afterwords. Don't stay on the humps to long. Move
on!
( Anonymous )

When you feel down because you didin't get what you want, just sit tight
and be happy, because God is thinking of something better to give you.
( Anonymous )

When something happens to you, good or bad, consider what it means.
There's a purpose to life's events, to teach you how to laugh more or not
to cry too hard.
( Anonymous )

You can't make someone love you, all you can do is be someone who can be
loved, the rest is up to the person to realise your worth.
( Anonymous )


The measure of love is when you love without measure. In life there are
very rare chances that you'll meet the person you love and loves you in
return. So once you have it don't ever let go, the chance might never come
your way again.
( Anonymous )

I don't know quite how to make things better between us. I can start by
saying i'm sorry. I really am.
( Anonymous )

A note to say sorry & also to assure you of my behaviour hereafter.
( Anonymous )

.

2008 November 15 17:34

Blogger ramdan berkata...

ANTARA SABAR DAN MENGELUH

Pada zaman dahulu ada seorang yang bernama Abul Hassan yang pergi
haji di Baitul Haram. Diwaktu tawaf tiba-tiba ia melihat seorang
wanita yang bersinar dan berseri wajahnya. "Demi Allah, belum pernah aku melihat wajah secantik dan secerah wanita itu,tidak lain kerana itu pasti kerana tidak pernah risau dan bersedih hati."

Tiba-tiba wanita itu mendengar ucapan Abul Hassan lalu ia bertanya,
"Apakah katamu hai saudaraku ? Demi Allah aku tetap terbelenggu oleh
perasaan dukacita dan luka hati kerana risau, dan seorang pun yang
menyekutuinya aku dalam hal ini."

Abu Hassan bertanya, "Bagaimana hal yang merisaukanmu?"
Wanita itu menjawab, "Pada suatu hari ketika suamiku sedang
menyembelih kambing korban, dan pada aku mempunyai dua orang anak
yang sudah boleh bermain dan yang satu masih menyusu, dan ketika aku
bangun untuk membuat makanan, tiba-tiba anakku yang agak besar
berkata pada adiknya, "Hai adikku, sukakah aku tunjukkan padamu
bagaimana ayah menyembelih kambing ?" Jawab adiknya, "Baiklah kalau begitu ?"

Lalu disuruh adiknya berbaring dan disembelinya leher adiknya itu.
Kemudian dia merasa ketakutan setelah melihat darah memancur keluar
dan lari ke bukit yang mana di sana ia dimakan oleh serigala, lalu
ayahnya pergi mencari anaknya itu sehingga mati kehausan dan ketika
aku letakkan bayiku untuk keluar mencari suamiku, tiba-tiba bayiku
merangkak menuju ke periuk yang berisi air panas, ditariknya periuk
tersebut dan tumpahlah air panas terkena ke badannya habis melecur
kulit badannya. Berita ini terdengar kepada anakku yang telah
berkahwin dan tinggal di daerah lain, maka ia jatuh pengsan hingga
sampai menuju ajalnya. Dan kini aku tinggal sebatang kara di antara
mereka semua."

Lalu Abul Hassan bertanya, "Bagaimanakah kesabaranmu menghadapi
semua musibah yang sangat hebat itu ?"
Wanita itu menjawab, "Tiada seorang pun yang dapat membezakan antara
sabar dengan mengeluh melainkan ia menemukan di antara keduanya ada
jalan yang berzeda. Adapun sabar dengan memperbaiki yang lahir, maka
hal itu baik dan terpuji akibatnya. Dan adapun mengeluh, maka
orangnya tidak mendapat ganti yakni sia-sia belaka."

Demikianlah cerita di atas, satu cerita yang dapat dijadikan
tauladan di mana kesabaran sangat digalakkan oleh agama dan harus
dimiliki oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dalam
setiap terkena musibah dan dugaan dari Allah.
Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda dalam firman Allah dalam sebuah
hadith Qudsi,:
" Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang Mukmin, jika Aku ambil
kekasihnya dari ahli dunia kemudian ia sabar, melainkan syurga
baginya."
Begitu juga mengeluh. Perbuatan ini sangat dikutuk oleh agama dan
hukumnya haram. Kerana itu Rasulullah s.a.w bersabda,: " Tiga macam
daripada tanda kekafiran terhadap Allah, merobek baju, mengeluh dan
menghina nasab orang."

Dan sabdanya pula, " Mengeluh itu termasuk kebiasaan Jahiliyyah, dan
orang yang mengeluh, jika ia mati sebelum taubat, maka Allah akan
memotongnya bagi pakaian dari wap api neraka." (Riwayat oleh Imam
Majah)
Semoga kita dijadikan sebagai hamba Tuhan yang sabar dalam
menghadapi segala musibah.

2008 November 15 17:35

Blogger ramdan berkata...

Humor sufi


KELEDAI MEMBACA
Timur Lenk menghadiahi Nasrudin seekor keledai. Nasrudin menerimanya
dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,"Ajari keledai itu
membaca. Dalam dua minggu, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat
hasilnya."Nasrudin berlalu, dan dua minggu kemudian ia kembali ke
istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku
besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka
sampulnya.Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik
halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman
sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap
Nasrudin."Demikianlah," kata Nasrudin, "Keledaiku sudah bisa
membaca."Timur Lenk mulai menginterogasi, "Bagaimana caramu
mengajari dia membaca ?"Nasrudin berkisah, "Sesampainya di rumah,
aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan
biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar
membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai
ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan
benar.""Tapi," tukas Timur Lenk tidak puas, "Bukankah ia tidak
mengerti apa yang dibacanya ?"Nasrudin menjawab, "Memang demikianlah
cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti
isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita
disebut setolol keledai, bukan ?"

RELATIVITAS KEJU
Setelah bepergian jauh, Nasrudin tiba kembali di rumah. Istrinya
menyambut dengan gembira,"Aku punya sepotong keju untukmu," kata
istrinya."Alhamdulillah," puji Nasrudin, "Aku suka keju. Keju itu
baik untuk kesehatan perut."Tidak lama Nasrudin kembali pergi.
Ketika ia kembali, istrinya menyambutnya dengan gembira juga."Adakah
keju untukku ?" tanya Nasrudin."Tidak ada lagi," kata istrinya. Kata
Nasrudin, "Yah, tidak apa-apa. Lagipula keju itu tidak baik bagi
kesehatan gigi." "Jadi mana yang benar ?" kata istri Nasrudin
bertanya-tanya, "Keju itu baik untuk perut atau tidak baik untuk
gigi ?" "Itu tergantung," sambut Nasrudin, "Tergantung apakah
kejunya ada atau tidak."

Tampang itu perlu
Nasrudin hampir selalu miskin. Ia tidak mengeluh, tapi suatu hari
istrinyalah yang mengeluh. "Tapi aku mengabdi kepada Allah saja,"
kata Nasrudin."Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah," kata
istrinya.Nasrudin langsung ke pekarangan, bersujud, dan berteriak
keras-keras, "Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!"
berulang-ulang. Tetangganya ingin mempermainkan Nasrudin. Ia
melemparkan seratus keping perak ke kepala Nasrudin. Tapi ia
terkejut waktu Nasrudin membawa lari uang itu ke dalam rumah dengan
gembira, sambil berteriak "Hai, aku ternyata memang wali Allah. Ini
upahku dari Allah."Sang tetangga menyerbu rumah Nasrudin, meminta
kembali uang yang baru dilemparkannya. Nasrudin menjawab "Aku
memohon kepada Allah, dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari
Allah."Tetangganya marah. Ia mengajak Nasrudin menghadap hakim.
Nasrudin berkelit, "Aku tidak pantas ke pengadilan dalam keadaan
begini. Aku tidak punya kuda dan pakaian bagus. Pasti hakim
berprasangka buruk pada orang miskin."Sang tetangga meminjamkan
jubah dan kuda.Tidak lama kemudian, mereka menghadap hakim. Tetangga
Nasrudin segera mengadukan halnya pada hakim."Bagaimana
pembelaanmu?" tanya hakim pada Nasrudin."Tetangga saya ini gila,
Tuan," kata Nasrudin."Apa buktinya?" tanya hakim."Tuan Hakim bisa
memeriksanya langsung. Ia pikir segala yang ada di dunia ini
miliknya. Coba tanyakan misalnya tentang jubah saya dan kuda saya,
tentu semua diakui sebagai miliknya. Apalagi pula uang saya."Dengan
kaget, sang tetangga berteriak, "Tetapi itu semua memang
milikku!"Bagi sang hakim, bukti-bukti sudah cukup. Perkara putus.

TEORI KEBUTUHAN
Nasrudin berbincang-bincang dengan hakim kota. Hakim kota, seperti
umumnya cendekiawan masa itu, sering berpikir hanya dari satu sisi
saja. Hakim memulai,"Seandainya saja, setiap orang mau mematuhi
hukum dan etika, ..."Nasrudin menukas, "Bukan manusia yang harus
mematuhi hukum, tetapi justru hukum lah yang harus disesuaikan
dengan kemanusiaan."Hakim mencoba bertaktik, "Tapi coba kita lihat
cendekiawan seperti Anda. Kalau Anda memiliki pilihan: kekayaan atau
kebijaksanaan, mana yang akan dipilih?"Nasrudin menjawab seketika,
"Tentu, saya memilih kekayaan."Hakim membalas sinis, "Memalukan.
Anda adalah cendekiawan yang diakui masyarakat. Dan Anda memilih
kekayaan daripada kebijaksanaan?"Nasrudin balik bertanya, "Kalau
pilihan Anda sendiri?"Hakim menjawab tegas, "Tentu, saya memilih
kebijaksanaan."Dan Nasrudin menutup, "Terbukti, semua orang memilih
untuk memperoleh apa yang belum dimilikinya."

YANG BENAR-BENAR BENAR
Nasrudin sedang menjadi hakim di pengadilan kota. Mula-mula ia
mendengarkan dakwaan yang berapi-api dengan fakta yang tak
tersangkalkan dari jaksa. Setelah jaksa selesai dengan dakwaannya,
Nasrudin berkomentar:"Aku rasa engkau benar."Petugas majelis
membujuk Nasrudin, mengingatkan bahwa terdakwa belum membela diri.
Terdakwa diwakili oleh pengacara yang pandai mengolah logika,
sehingga Nasrudin kembali terpikat. Setelah pengacara selesai,
Nasrudin kembali berkomentar:"Aku rasa engkau benar."Petugas
mengingatkan Nasrudin bahwa tidak mungkin jaksa betul dan sekaligus
pengacara juga betul. Harus ada salah satu yang salah ! Nasrudin
menatapnya lesu, dan kemudian berkomentar:"Aku rasa engkau benar."

NASIB DAN ASUMSI
"Apa artinya nasib, Mullah ?" "Asumsi-asumsi." "Bagaimana
?""Begini. Engkau menganggap bahwa segalanya akan berjalan baik,
tetapi kenyataannya tidak begitu. Nah itu yang disebut nasib buruk.
Atau, engkau punya asumsi bahwa hal-hal tertentu akan menjadi buruk,
tetapi nyatanya tidak terjadi. Itu nasib baik namanya. Engkau punya
asumsi bahwa sesuatu akan terjadi atau tidak terjadi, kemudian
engkau kehilangan intuisi atas apa yang akan terjadi, dan akhirnya
berasumsi bahwa masa depan tidak dapat ditebak. Ketika engkau
terperangkap di dalamnya, maka engkau namakan itu nasib."






ORIENTASI PADA BAJU
Nasrudin diundang berburu, tetapi hanya dipinjami kuda yang lamban.
Tidak lama, hujan turun deras. Semua kuda dipacu kembali ke rumah.
Nasrudin melepas bajunya, melipat, dan menyimpannya, lalu membawa
kudanya ke rumah. Setelah hujan berhenti, dipakainya kembali
bajunya. Semua orang takjub melihat bajunya yang kering, sementara
baju mereka semuanya basah, padahal kuda mereka lebih cepat."Itu
berkat kuda yang kau pinjamkan padaku," ujar Nasrudin
ringan.Keesokan harinya, cuaca masih mendung. Nasrudin dipinjami
kuda yang cepat, sementara tuan rumah menunggangi kuda yang lamban.
Tak lama kemudian hujan kembali turun deras. Kuda tuan rumah
berjalan lambat, sehingga tuan rumah lebih basah lagi. Sementara
itu, Nasrudin melakukan hal yang sama dengan hari sebelumnya.Sampai
rumah, Nasrudin tetap kering."Ini semua salahmu!" teriak tuan rumah,
"Kamu membiarkan aku mengendarai kuda brengsek itu!" "Masalahnya,
kamu berorientasi pada kuda, bukan pada baju."

TAMPAK SEPERTI WUJUDMU
Nasrudin sedang merenungi harmoni alam, dan kebesaran
Penciptanya."Oh kasih yang agung.Seluruh diriku terselimuti
oleh-Mu.Segala yang tampak oleh mataku.Tampak seperti
wujud-Mu."Seorang tukang melucu menggodanya, "Bagaimana jika ada
orang jelek dan dungu lewat di depan matamu ?"Nasrudin berbalik,
menatapnya, dan menjawab dengan konsisten:"Tampak seperti wujudmu."

PADA SEBUAH KAPAL
Nasrudin berlayar dengan kapal besar. Cuaca cerah menyegarkan,
tetapi Nasrudin selalu mengingatkan orang akan bahaya cuaca buruk.
Orang-orang tak mengindahkannya. Tapi kemudian cuaca benar-benar
menjadi buruk, badai besar menghadang, dan kapal terombang ambing
nyaris tenggelam. Para penumpang mulai berlutut, berdoa, dan
berteriak-teriak minta tolong. Mereka berdoa dan berjanji untuk
berbuat sebanyak mungkin kebajikan jika mereka
selamat."Teman-teman!" teriak Nasrudin. "Jangan boros dengan
janji-janji indah! Aku melihat daratan!"

PELAYAN RAJA
Nasrudin menjadi orang penting di istana, dan bersibuk mengatur
urusan di dalam istana. Suatu hari raja merasa lapar. Beberapa koki
menyajikan hidangan yang enak sekali."Tidakkah ini sayuran terbaik
di dunia, Mullah ?" tanya raja kepada Nasrudin."Teramat baik,
Tuanku."Maka raja meminta dimasakkan sayuran itu setiap saat. Lima
hari kemudian, ketika koki untuk yang kesepuluh kali memasak masakan
yang sama, raja berteriak:"Singkirkan semuanya! Aku benci makanan
ini!""Memang sayuran terburuk di dunia, Tuanku." ujar Nasrudin."Tapi
belum satu minggu yang lalu engkau mengatakan bahwa itu sayuran
terbaik.""Memang benar. Tapi saya pelayan raja, bukan pelayan
sayuran.h

UMUR NASRUDIN
"Berapa umurmu, Nasrudin ?""Empat puluh tahun.""Tapi beberapa tahun
yang lalu, kau menyebut angka yang sama.""Aku konsisten."





YANG TERSULIT
Salah seorang murid Nasrudin di sekolah bertanya, "Manakah
keberhasilan yang paling besar: orang yang bisa menundukkan sebuah
kerajaan, orang yang bisa tetapi tidak mau, atau orang yang mencegah
orang lain melakukan hal itu ?""Nampaknya ada tugas yang lebih sulit
daripada ketiganya," kata Nasruddin."Apa itu?""Mencoba mengajar
engkau untuk melihat segala sesuatu sebagaimana adanya."

TERBURU-BURU
Keledai Nasrudin jatuh sakit. Maka ia meminjam seekor kuda kepada
tetangganya. Kuda itu besar dan kuat serta kencang larinya. Begitu
Nasrudin menaikinya, ia langsung melesat secepat kilat, sementara
Nasrudin berpegangan di atasnya, ketakutan.Nasrudin mencoba
membelokkan arah kuda. Tapi sia-sia. Kuda itu lari lebih kencang
lagi.Beberapa teman Nasrudin sedang bekerja di ladang ketika melihat
Nasrudin melaju kencang di atas kuda. Mengira sedang ada sesuatu
yang penting, mereka berteriak,"Ada apa Nasrudin ? Ke mana engkau ?
Mengapa terburu-buru ?"Nasrudin balas berteriak, "Saya tidak tahu !
Binatang ini tidak mengatakannya kepadaku !"

PERIUK BERANAK
Nasrudin meminjam periuk kepada tetangganya. Seminggu kemudian, ia
mengembalikannya dengan menyertakan juga periuk kecil di sampingnya.
Tetangganya heran dan bertanya mengenai periuk kecil itu."Periukmu
sedang hamil waktu kupinjam. Dua hari kemudian ia melahirkan bayinya
dengan selamat."Tetangganya itu menerimanya dengan senang. Nasrudin
pun pulang.Beberapa hari kemudian, Nasrudin meminjam kembali periuk
itu. Namun kali ini ia pura-pura lupa mengembalikannya. Sang
tetangga mulai gusar, dan ia pun datang ke rumah Nasrudin,Sambil
terisak-isak, Nasrudin menyambut tamunya, "Oh, sungguh sebuah
malapetaka. Takdir telah menentukan bahwa periukmu meninggal di
rumahku. Dan sekarang telah kumakamkan."Sang tetangga menjadi marah,
"Ayo kembalikan periukku. Jangan belagak bodoh. Mana ada periuk bisa
meninggal dunia!""Tapi periuk yang bisa beranak, tentu bisa pula
meninggal dunia," kata Nasrudin, sambil menghentikan isaknya.

TIMUR LENK DI AKHIRAT
Timur Lenk meneruskan perbincangan dengan Nasrudin soal
kekuasaannya."Nasrudin! Menurutmu, di manakah tempatku di akhirat,
menurut kepercayaanmu ? Apakah aku ditempatkan bersama orang-orang
yang mulia atau yang hina ?"Bukan Nasrudin kalau ia tak dapat
menjawab pertanyaan 'semudah' ini."Raja penakluk seperti Anda,"
jawab Nasrudin, "Insya Allah akan ditempatkan bersama raja-raja dan
tokoh-tokoh yang telah menghiasi sejarah."Timur Lenk benar-benar
puas dan gembira. "Betulkah itu, Nasrudin ?""Tentu," kata Nasrudin
dengan mantap. "Saya yakin Anda akan ditempatkan bersama Fir'aun
dari Mesir, raja Namrudz dari Babilon, kaisar Nero dari Romawi, dan
juga Jenghis Khan."Entah mengapa, Timur Lenk masih juga gembira
mendengar jawaban itu.








NASRUDIN PEMUNGUT PAJAK
Pada masa Timur Lenk, infrastruktur rusak, sehingga hasil pertanian
dan pekerjaan lain sangat menurun. Pajak yang diberikan
daerah-daerah tidak memuaskan bagi Timur Lenk. Maka para pejabat
pemungut pajak dikumpulkan. Mereka datang dengan membawa buku-buku
laporan. Namun Timur Lenk yang marah merobek-robek buku-buku itu
satu per satu, dan menyuruh para pejabat yang malang itu memakannya.
Kemudian mereka dipecat dan diusir keluar.Timur Lenk memerintahkan
Nasrudin yang telah dipercayanya untuk menggantikan para pemungut
pajak untuk menghitungkan pajak yang lebih besar. Nasrudin mencoba
mengelak, tetapi akhirnya terpaksa ia menggantikan tugas para
pemungut pajak. Namun, pajak yang diambil tetap kecil dan tidak
memuaskan Timur Lenk. Maka Nasrudin pun dipanggil.Nasrudin datang
menghadap Timur Lenk. Ia membawa roti hangat."Kau hendak menyuapku
dengan roti celaka itu, Nasrudin ?" bentak Timur Lenk. "Laporan
keuangan saya catat pada roti ini, Paduka," jawab Nasrudin dengan
gaya pejabat."Kau berpura-pura gila lagi, Nasrudin ?" Timur Lenk
lebih marah lagi. Nasrudin menjawab takzim, "Paduka, usiaku sudah
cukup lanjut. Aku tidak akan kuat makan kertas-kertas laporan itu.
Jadi semuanya aku pindahkan pada roti hangat ini."

NASRUDIN MEMANAH
Sesekali, Timur Lenk ingin juga mempermalukan Nasrudin. Karena
Nasrudin cerdas dan cerdik, ia tidak mau mengambil resiko beradu
pikiran. Maka diundangnya Nasrudin ke tengah-tengah prajuritnya.
Dunia prajurit, dunia otot dan ketangkasan."Ayo Nasrudin," kata
Timur Lenk, "Di hadapan para prajuritku, tunjukkanlah kemampuanmu
memanah. Panahlah sekali saja. Kalau panahmu dapat mengenai sasaran,
hadiah besar menantimu. Tapi kalau gagal, engkau harus merangkak
jalan pulang ke rumahmu."Nasrudin terpaksa mengambil busur dan
tempat anak panah. Dengan memantapkan hati, ia membidik sasaran, dan
mulai memanah. Panah melesat jauh dari sasaran. Segera setelah itu,
Nasrudin berteriak, "Demikianlah gaya tuan wazir memanah."Segera
dicabutnya sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi.
Masih juga panah meleset dari sasaran. Nasrudin berteriak lagi,
"Demikianlah gaya tuan walikota memanah."Nasrudin segera mencabut
sebuah anak panah lagi. Ia membidik dan memanah lagi. Kebetulan kali
ini panahnya menyentuh sasaran. Nasrudin pun berteriak lagi, "Dan
yang ini adalah gaya Nasrudin memanah. Untuk itu kita tunggu hadiah
dari Paduka Raja."Sambil menahan tawa, Timur Lenk menyerahkan hadiah
Nasrudin.

API !
Hari Jum`at itu, Nasrudin menjadi imam Shalat Jum`at. Namun belum
lama ia berkhutbah, dilihatnya para jamaah terkantuk-kantuk, dan
bahkan sebagian tertidur dengan lelap. Maka berteriaklah Sang
Mullah,"Api ! Api ! Api !"Segera saja, seisi masjid terbangun,
membelalak dengan pandangan kaget, menoleh kiri-kanan. Sebagian ada
yang langsung bertanya,"Dimana apinya, Mullah ?"Nasrudin meneruskan
khutbahnya, seolah tak acuh pada yang bertanya,"Api yang dahsyat di
neraka, bagi mereka yang lalai dalam beribadah."

BAHASA BURUNG
Dalam pengembaraannya, Nasrudin singgah di ibukota. Di sana langsung
timbul kabar burung bahwa Nasrudin telah menguasai bahasa
burung-burung. Raja sendiri akhirnya mendengar kabar itu. Maka
dipanggillah Nasrudin ke istana.Saat itu kebetulan ada seekor burung
hantu yang sering berteriak di dekat istana. Bertanyalah raja pada
Nasrudin, "Coba katakan, apa yang diucapkan burung hantu itu!""Ia
mengatakan," kata Nasrudin, "Jika raja tidak berhenti menyengsarakan
rakyat, maka kerajaannya akan segera runtuh seperti sarangnya."

BAHASA KURDI
Tetangga Nasrudin ingin belajar bahasa Kurdi. Maka ia minta diajari
Nasrudin. Sebetulnya Nasrudin juga belum bisa bahasa Kurdi selain
beberapa patah kata. Tapi karena tetangganya memaksa, ia pun
akhirnya bersedia."Kita mulai dengan sop panas. Dalam bahasa Kurdi,
itu namanya Aash.""Bagaimana dengan sop dingin ?""Hemm. Perlu
diketahui bahwa orang Kurdi tidak pernah membiarkan sop jadi dingin.
Jadi engkau tidak akan pernah mengatakan sop dingin dalam bahasa
Kurdi."

BELAJAR KEBIJAKSANAAN
Seorang darwis ingin belajar tentang kebijaksanaan hidup dari
Nasrudin. Nasrudin bersedia, dengan catatan bahwa kebijaksanaan
hanya bisa dipelajari dengan praktek. Darwis itu pun bersedia
menemani Nasrudin dan melihat perilakunya.Malam itu Nasrudin
menggosok kayu membuat api. Api kecil itu ditiup-tiupnya. "Mengapa
api itu kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih panas dan lebih
besar apinya," jawab Nasrudin.Setelah api besar, Nasrudin memasak
sop. Sop menjadi panas. Nasrudin menuangkannya ke dalam dua mangkok.
Ia mengambil mangkoknya, kemudian meniup-niup sonya."Mengapa sop itu
kau tiup?" tanya sang darwis. "Agar lebih dingin dan enak dimakan,"
jawab Nasrudin."Ah, aku rasa aku tidak jadi belajar darimu," ketus
si darwis, "Engkau tidak bisa konsisten dengan pengetahuanmu."Ah,
konsistensi.

CARA MEMBACA BUKU
Seorang yang filosof dogmatis sedang meyampaikan ceramah. Nasrudin
mengamati bahwa jalan pikiran sang filosof terkotak-kotak, dan
sering menggunakan aspek intelektual yang tidak realistis. Setiap
masalah didiskusikan dengan menyitir buku-buku dan kisah-kisah
klasik, dianalogikan dengan cara yang tidak semestinya.Akhirnya,
sang penceramah mengacungkan buku hasil karyanya sendiri. nasrudin
segera mengacungkan tangan untuk menerimanya pertama kali. Sambil
memegangnya dengan serius, Nasrudin membuka halaman demi halaman,
berdiam diri. Lama sekali. Sang penceramah mulai kesal."Engkau
bahkan membaca bukuku terbalik!""Aku tahu," jawab Nasrudin acuh,
"Tapi karena cuma ini satu-satunya hasil karyamu, rasanya, ya,
memang begini caranya mempelajari jalan pikiranmu."

GELAR TIMUR LENK
Timur Lenk mulai mempercayai Nasrudin, dan kadang mengajaknya
berbincang soal kekuasaannya."Nasrudin," katanya suatu hari, "Setiap
khalifah di sini selalu memiliki gelar dengan nama Allah. Misalnya:
Al-Muwaffiq Billah, Al-Mutawakkil 'Alallah, Al-Mu'tashim Billah,
Al-Watsiq Billah, dan lain-lain. Menurutmu, apakah gelar yang pantas
untukku ?"Cukup sulit, mengingat Timur Lenk adalah penguasa yang
bengis. Tapi tak lama, Nasrudin menemukan jawabannya. "Saya kira,
gelar yang paling pantas untuk Anda adalah Naudzu-Billah* saja."
"Aku berlindung kepada Allah (darinya)"



HIDANGAN UNTUK BAJU (1)
Nasrudin menghadiri sebuah pesta. Tetapi karena hanya memakai
pakaian yang tua dan jelek, tidak ada seorang pun yang menyambutnya.
Dengan kecewa Nasrudin pulang kembali.Namun tak lama, Nasrudin
kembali dengan memakai pakaian yang baru dan indah. Kali ini Tuang
Rumah menyambutnya dengan ramah. Ia diberi tempat duduk dan
memperoleh hidangan seperti tamu-tamu lainnya.Tetapi Nasrudin segera
melepaskan baju itu di atas hidangan dan berseru, "Hei baju baru,
makanlah! Makanlah sepuas-puasmu!"Untuk mana ia memberikan alasan
"Ketika aku datang dengan baju yang tadi, tidak ada seorang pun yang
memberi aku makan. Tapi waktu aku kembali dengan baju yang ini, aku
mendapatkan tempat yang bagus dan makanan yang enak. Tentu saja ini
hak bajuku. Bukan untukku."

HIDANGAN UNTUK BAJU (2)
Nasrudin menghadiri sebuah pesta pernikahan. Dilihatnya seorang
sahabatnya sedang asyik makan. Namun, di samping makan
sebanyak-banyaknya, ia sibuk pula mengisi kantong bajunya dengan
makanan.Melihat kerakusan sahabatnya, Nasrudin mengambil teko berisi
air. Diam-dian, diisinya kantong baju sahabatnya dengan air. Tentu
saja sahabatnya itu terkejut, dan berteriak,"Hai Nasrudin, gilakah
kau ? Masa kantongku kau tuangi air!""Maaf, aku tidak bermaksud
buruk, sahabat," jawab Nasrudin, "Karena tadi kulihat betapa banyak
makanan ditelan oleh kantongmu, maka aku khawatir dia akan haus.
Karena itu kuberi minum secukupnya."

JATUHNYA JUBAH
Nasrudin pulang malam bersama teman-temannya. Di pintu rumah mereka
berpisah. Di dalam rumah, istri Nasrudin sudah menanti dengan marah.
"Aku telah bersusah payah memasak untukmu sore tadi !" katanya
sambil menjewer Nasrudin. Karena kuatnya, Nasrudin terpelanting dan
jatuh menabrak peti.Mendengar suara gaduh, teman-teman Nasrudin yang
belum terlalu jauh kembali, dan bertanya dari balik pintu,"Ada apa
Nasrudin, malam-malam begini ribut sekali?""Jubahku jatuh dan
menabrak peti," jawab Nasrudin."Jubah jatuh saja ribut sekali
?""Tentu saja," sesal Nasrudin, "Karena aku masih berada di
dalamnya."

KEADILAN DAN KELALIMAN
Tak lama setelah menduduki kawasan Anatolia, Timur Lenk mengundangi
para ulama di kawasan itu. Setiap ulama beroleh pertanyaan yang
sama:"Jawablah: apakah aku adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku
adil, maka dengan keadilanku engkau akan kugantung. Sedang kalau
menurutmu aku lalim, maka dengan kelalimanku engkau akan
kupenggal."Beberapa ulama telah jatuh menjadi korban kejahatan Timur
Lenk ini. Dan akhirnya, tibalah waktunya Nasrudin diundang. Ini
adalah perjumpaan resmi Nasrudin yang pertama dengan Timur Lenk.
Timur Lenk kembali bertanya dengan angkuh :"Jawablah: apakah aku
adil ataukah lalim. Kalau menurutmu aku adil, maka dengan keadilanku
engkau akan kugantung. Sedang kalau menurutmu aku lalim, maka dengan
kelalimanku engkau akan kupenggal."Dan dengan menenangkan diri,
Nasrudin menjawab :"Sesungguhnya, kamilah, para penduduk di sini,
yang merupakan orang-orang lalim dan abai. Sedangkan Anda adalah
pedang keadilan yang diturunkan Allah yang Maha Adil kepada
kami."Setelah berpikir sejenak, Timur Lenk mengakui kecerdikan
jawaban itu. Maka untuk sementara para ulama terbebas dari kejahatan
Timur Lenk lebih lanjut.

KEKEKALAN MASSA
Ketika memiliki uang cukup banyak, Nasrudin membeli ikan di pasar
dan membawanya ke rumah. Ketika istrinya melihat ikan yang banyak
itu, ia berpikir, "Oh, sudah lama aku tidak mengundang teman-temanku
makan di sini."Ketika malam itu Nasrudin pulang kembali, ia berharap
ikannya sudah dimasakkan untuknya. Alangkah kecewanya ia melihat
ikan-ikannya itu sudah habis, tinggal duri-durinya saja."Siapa yang
menghabiskan ikan sebanyak ini ?"Istrinya menjawab, "Kucingmu itu,
tentu saja. Mengapa kau pelihara juga kucing yang nakal dan rakus
itu!"Nasrudin pun makan malam dengan seadanya saja. Setelah makan,
dipanggilnya kucingnya, dibawanya ke kedai terdekat, diangkatnya ke
timbangan, dan ditimbangnya. Lalu ia pulang ke rumah, dan berkata
cukup keras,"Ikanku tadi dua kilo beratnya. Yang barusan aku timbang
ini juga dua kilo. Kalau kucingku dua kilo, mana ikannya ? Dan kalau
ini ikan dua kilo, lalu mana kucingnya ?"

MENJEMUR BAJU
Nasrudin sedang mengembara cukup jauh ketika ia sampai di sebuah
kampung yang sangat kekurangan air. Menyambut Nasrudin, beberapa
penduduk mengeluh,"Sudah enam bulan tidak turun hujan di tempat ini,
ya Mullah. Tanaman-tanaman mati. Air persediaan kami tinggan
beberapa kantong lagi. Tolonglah kami. Berdoalah meminta
hujan."Nasrudin mau menolong mereka. Tetapi ia minta dulu seember
air. Maka datanglah setiap kepala keluarga membawa air terakhir yang
mereka miliki. Total terkumpul hanya setengah ember air.Nasrudin
melepas pakaiannya yang kotor, dan dengan air itu, Nasrudin mulai
mencucinya. Penduduk kampung terkejut,"Mullah ! Itu air terakhir
kami, untuk minum anak-anak kami!"Di tengah kegaduhan, dengan tenang
Nasrudin mengangkat bajunya, dan menjemurnya. Pada saat itu,
terdengar guntur dahsyat, yang disusul hujan lebat. Penduduk lupa
akan marahnya, dan mereka berteriak gembira."Bajuku hanya satu ini,"
kata Nasrudin di tengah hujan dan teriakan penduduk, "Bila aku
menjemurnya, pasti hujan turun deras!"[Catatan Koen: Trik ini sering
digunakan oleh kaum sufi -- menggunakan keterjepitan-keterjepitan
untuk hal-hal yang berbeda.

MIMPI RELIJIUS
Nasrudin sedang dalam perjalanan dengan pastur dan yogi. Pada hari
kesekian, bekal mereka tinggal sepotong kecil roti. Masing-masing
merasa berhak memakan roti itu. Setelah debat seru, akhirnya mereka
bersepakat memberikan roti itu kepada yang malam itu memperoleh
mimpi paling relijius. Tidurlah mereka.Pagi harinya, saat bangun,
pastur bercerita: "Aku bermimpi melihat kristus membuat tanda salib.
Itu adalah tanda yang istimewa sekali."Yogi menukas, "Itu memang
istimewa. Tapi aku bermimpi melakukan perjalanan ke nirwana, dan
menemui tempat paling damai."Nasrudin berkata, "Aku bermimpi sedang
kelaparan di tengah gurun, dan tampak bayangan nabi Khidir bersabda
'Kalau engkau lapar, makanlah roti itu.' Jadi aku langsung bangun
dan memakan roti itu saat itu juga."







MISKIN DAN SEPI
Seorang pemuda baru saja mewarisi kekayaan orang tuanya. Ia langsung
terkenal sebagai orang kaya, dan banyak orang yang menjadi kawannya.
Namun karena ia tidak cakap mengelola, tidak lama seluruh uangnya
habis. Satu per satu kawan-kawannya pun menjauhinya.Ketika ia
benar-benar miskin dan sebatang kara, ia mendatangi Nasrudin. Bahkan
pada masa itu pun, kaum wali sudah sering [hanya] dijadikan
perantara untuk memohon berkah."Uang saya sudah habis, dan
kawan-kawan saya meninggalkan saya. Apa yang harus saya lakukan?"
keluh pemuda itu."Jangan khawatir," jawab Nasrudin, "Segalanya akan
normal kembali. Tunggu saja beberapa hari ini. Kau akan kembali
tenang dan bahagia."Pemuda itu gembira bukan main. "Jadi saya akan
segera kembali kaya?""Bukan begitu maksudku. Kalu salah tafsir.
Maksudku, dalam waktu yang tidak terlalu lama, kau akan terbiasa
menjadi orang yang miskin dan tidak mempunyai teman."
@

2008 November 15 17:36

Blogger ramdan berkata...

Saat Kusentuh Jemarimu Dengan Mesra

Jemari itu tak lagi lentik, terasa beda saat pertama kali disentuh kala malam pertama. Kulitnya bersisik dan berkerut, karena getir kehidupan. Guratan bekas parutan pun membuatnya bertambah kasar. Tak jarang jemari itu basah, menahan kristal-kristal bening yang menggenang di telaga mata, pedih... teringat pedasnya kata-kata yang pernah menusuk hati.

Kala keheningan malam menjamu temaramnya rembulan, diukirnya do'a-do'a dengan goresan harapan, khusyu', berharap regukan kasih sayang dari Sang Pemilik Cinta. Hingga tubuh penat itupun bangkit, menatap belahan jiwa dengan tatapan cinta, kemudian perlahan dikecupnya sang kakanda dengan mesra.

Indah...
Sungguh teramat indah Al Qur'an melukiskannya, "Mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka." [Al-Baqarah 187]

Adakah yang lebih indah dari rasa kasih sayang diantara kedua insan yang berlainan jenis dalam sebuah ikatan pernikahan? Ia adalah sebuah mitsaqan ghalidza (perjanjian yang kuat), karenanya yang haram menjadi halal, maksiat menjadi ibadah, kekejian menjadi kesucian dan kebebasan pun menjadi sebuah tanggung jawab. Dua hati yang berserakan akhirnya bertautan, ibadah... hanya itu yang dijadikan alasan.

Keindahan cinta dalam sebuah mahligai pernikahan adalah harapan penghuninya. Cinta akan membuat seseorang lebih mengutamakan yang dicintainya, sehingga seorang istri akan mengutamakan suami dalam keluarga, dan seorang suami tentu akan mengutamakan perlindungan dan pemberian nafkah kepada istri tercinta.

Cinta memang dapat berbentuk kecupan sayang, kehangatan, dan perhatian, namun bunga cinta tetaplah membutuhkan pupuk agar selalu bersemi indah. Karenanya, segala kekurangan akan menumbuhkan kebesaran jiwa, bahkan air mata yang mengalir itu pun adalah sebagai tanda kesyukuran kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, karena IA telah memberikan pasangan hidup yang selalu bersama mengharap keridhoan-Nya.

Lalu, masihkah kehangatan itu nyata seiring bertambahnya usia pernikahan?

Aaah...
Kadang kita sebagai suami lebih sering bersikap dzalim. Kesibukan tiada henti, rutinitas yang selalu dijumpai, lebih menjadi 'istri' daripada makna istri itu sendiri. Masihkah ada curahan kelembutan dari seorang qowwam (pemimpin) yang teduh? Adakah belaian kasih sayang yang begitu hangat seperti kala pertama kedua hati bersatu?

Saat-saat awal pernikahan, duhai sungguh romantis. Rona mata penuh makna cinta terpancar saat saling berpandangan, kedua tangan saling bergandengan, hingga jemari tersulam mesra. Tak lupa bibir melantunkan seuntai nada ...Sambutlah tanganku ini / Belailah dengan mesra / Kasihmu hanya untukku / Hingga akhir nanti... Amboi... sungguh membuat iri mata yang memandang.

Malam dan siang silih berganti mewarnai hari, susah senang hilang timbul bagaikan gelombang laut, keluh dan bosan pun kadang menelusup, hingga akhirnya lirik lagu cinta pun meredup ...Sepanjang jalan kenangan kita selalu bergandeng tangan / Sepanjang jalan kenangan kupeluk dirimu mesra / Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu / Menambah nikmatnya malam syahdu... Akhirnya kemesraan pun hanyalah sekedar kenangan.

Entahlah...
Entah kemana canda yang dahulu pernah membuat istri kita tertawa bahagia, ciuman di kening seraya berpesan "Baik-baik ya di rumah," atau pun sekedar ucapan salam "Assalaamu alaykum ummi," saat akan keluar rumah. Bahkan, lupa kapan terakhir tangan ini menyentuh, menggenggam mesra jemari istri tercinta. Padahal dosa-dosa akan berguguran dari sela-sela jemari saat kedua tangan disatukan.

Duhai Allah, Airmata itu pernah tumpah, deras bercucuran Luruh dalam isakan, menyayat kepedihan Hanya karena enggan jemari ini bersentuhan

Ampuni diri yang dzalim ini yaa Allah Sadarkan, sebelum saatnya harus beranjak pergi Jauh, dan... tak akan pernah kembali

2008 November 15 17:37

Blogger ramdan berkata...

SERAMBI KELUARGA
Tips Untuk Bahagia

Dalam kehidupan ini, memang tidak dapat dielakkan, kita terpaksa
berdepan dengan pelbagai masalah seperti masalah peribadi,
rumahtangga, di tempat kerja dan sebagainya. Walaubagaimanapun,
dalam usaha untuk mencari/mencapai kegembiraan dalam kehidupan
harian kita hendaklah melakukan sesuatu untuk mengalihkan
tekanan/ketidakgembiraan tersebut kepada satu keadaan yang kita
sendiri rasa bahagia/gembira. perlu diingat bahwa sekiranya kita
ingin melakukan sesuatu hendaklah sesuai dengan citarasa dan naluri
masing-masing. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk terus
menggunakan sesuatu yg baru tetapi tidak terlalu sesuai untuk kita,
bolehlah memprektikkannya secara perlahan-lahan, semoga akhirnya ia
dapat memberikan kegembiraan kapada kita.
Di sini dijelaskan beberapa teknik yang mungkin dpt dilakukan untuk
membuat kt bahagia : -

1. Cobalah membaca sesuatu yg menyenakan dan kita minati dengan cara
ini anda dapat meningkatkan lagi pengetahuan kita.

2. Jauhkan diri daripada orang yang boleh menyebabkan masalah pada
diri anda.

3. Jangan suka menyebarkan fitnah atau gossip terhadap orang lain
kerana ini boleh menyebabkan kita merasa tidak gembira.

4. Memberi bantuan terhadap yang memerlukan.

5. Melibatkan diri dalam olahraga seperti bermain badminton,
bersenam, jogging dan sebagainya.

6. Mempunyai keluarga yang harmonis, suami yang memahami dan
anak-anak yang menghormati ibu bapa orang tua.

7. Berjumpa dengan kawan-kawan lama, makan bersama dan saling
mengimbas kembali kisah-kisah silam yang membahagiakan.

8. Mengajak kawan-kawan datang ke rumah atau berjumpa di luar.

9. Bersifat pemaaf dan mudah melupakan kesalahan orang lain terhadap
diri kita apatah lagi untuk menyakiti hati orang lain.

10. Belajar sesuatu yang baru dan memahirkan diri dalam bidang
tersebut seperti menjahit dan sebagainya.

11. Membuatkan orang lain gembira dengan mengembirakan diri sendiri.

12. Jadikan diri seorang pendengar yang baik.

13. Melakukan hobi seperti, mendengar musik, bermain catur,
berkebun, memancing dan sebagainya.
Sumber Web AnaAbadi

2008 November 15 17:38

Blogger ramdan berkata...

dKapas-Kapas di Langit

Pipiet Senja
persembahan untuk anak-anakku tersayang yang senantiasa memperkuat semangat bunda;
MK. Haekal Siregar Seli Siti Sholihat Adzimattinur KN. Siregar


Sinopsis

Garsini, remaja muslimah, sejak kecil selalu ingin membuktikan kemampuannya dengan meraih prestasi demi prestasi. Awal tujuannya adalah untuk menarik perhatian serta kasih sayang ayahnya yang seringkali memperlakukannya kasar dan pilih kasih di antara tiga bersaudara. Terutama dengan adik laki-lakinya, Ucok, yang mendapat perlakuan istimewa dari sang ayah.
Berangkat dari ketakharmonisan rumah tangga orang tuanya, Garsini berhasil membuktikan dirinya sebagai anak yang bisa dibanggakan. Lulus SMU, ia kuliah di Universitas Indonesia. Semester tiga, ia berhasil meraih beasiswa Monbusho dari pemerintah Jepang.
Garsini meninggalkan Tanah Air dengan satu tujuan; membuktikan kepada dunia bahwa gadis Muslimah, berjilbab, akhwat seperti dirinya pun mampu “berbicara di dunia internasional”. Di kalangan rekan-rekannya di Universitas Tokyo, Garsini dikenal sebagai mahasiswi enerjik, jenius, taat beribadah dengan busana unik, kepribadian tangguh.
Di kalangan para dosen, Garsini pun dihargai dan disayangi. Sehingga ada seorang guru besar tamu di universitasnya, Profesor Charles del Pierro, terkesan sekali dengan sosoknya dan menjadikannya asistennya. Dengan dukungan yayasan sosial yang disponsori Profesor tua dari Perancis itu, mantan tomboy ini menerbitkan kamus perbandingan antarbangsa-bangsa Asia, CD-nya ala Garsini.
Pelbagai pengalaman selama di negeri sakura telah menempanya menjadi sosok yang dewasa, tanpa meninggalkan kekaffahannya sebagai gadis Muslimah. Adakah ia menerima khitbah dokter Haekal yang telah lama dikenalnya sejak di Indonesia? Ataukah ia memilih tawaran bea-siswa dari Universitas Sorbonne, berkat rekomendasi Profesor Charles del Pierro?
Silakan simak dan ambil ibrah dari novel ini.
***
Isi

1. 1. Bab Satu
2. 2. Bab Dua
3. 3. Bab Tiga
4. 4. Bab Empat
5. 5. Bab Lima
6. 6. Bab Enam
7. 7. Bab Tujuh
8. 8. Bab Delapan
9. 9. Bab Sembilan
10. 10. Bab Sepuluh
11. 11. Bab Sebelas
12. 12. Bab Duabelas
13. 13. Bab Tigabelas
14. 14. Bab Empatbelas
15. 15. Penutup


Bab 1

Tokyo, awal musim semi yang lembut dan hangat. Suara-suara keras dan kehebohan itu muncul dari lantai bawah tempat tinggalnya. Sebuah asrama putri di kawasan kampus Universitas Tokyo yang terkenal karena tradisi dan historisnya. Ugh, apa yang terjadi? Rasanya baru beberapa menit aku tertidur.
Hampir sepanjang malam ia berkutat di depan komputer dengan programnya. Perlahan gadis itu menggeliat malas, berharap dirinya hanya terpengaruh mimpi. Tapi ketika keributan di bawahnya bukan menghilang, sebaliknya bahkan terdengar semakin parah, pertanda sesuatu yang luar biasa tengah terjadi. Berarti bukan ilusi, bukan pengaruh mimpi. Yap!
Ia tersentak bangun dan melemparkan selimutnya dengan sebal. Sepasang matanya reflek melirik jam wekker di atas meja belajarnya. Baru pukul enam, biasanya saat begini para penghuninya masih bergulung dalam selimut tebalnya masing-masing. Dilihatnya ranjang di sebelahnya sudah kosong. Bahkan Haliza, dara Malaysia yang kutu buku itu pun sudah beraktivitas?
Gadis yang melintas di pikirannya tiba-tiba muncul dari kamar mandi. Terdengar senandungnya yang merdu. Ia masih mengenakan jubah mandi dengan rambut terbalut handuk setelah keramas. Wajahnya segar dan berseriseri, pertanda ia merasakan kebahagiaan dan kenyamanan hatinya. Tanpa tekanan sama sekali!
“Mmh… segaar! Oyaho gozaimasu1, Garsini-san,” ujarnya mengajak bercanda dalam nada riang tak dibuat-buat. Garsini mengucak-ucak matanya yang masih berat lalu memandanginya keheranan. Ya, heran dengan semangat dan gerak-geriknya yang tampak lebih lincah dari biasanya. Ia masih ingat saat pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu di daigaku2 .
Haliza, saudara seiman berbusana Muslimah seperti dirinya, tampak agak gelisah berdiri canggung di antara para gakusei3 baru. Mereka sedang diterima
1 Selamat pagi 2 universitas 3 mahasiswa
oleh panitia daigaku, khusus bagi para gakusei asing penerima beasiswa pemerintah Jepang.
“Subhanallah!” seru dara jelita itu tertahan, kala Garsini menghampirinya dan langsung berusaha berkomunikasi dengannya. Sementara rombongan kecil itu mulai bergerak, dibimbing senior berkeliling sekitar fakultas, menunjukkan berbagai fasilitas yang dapat mereka manfaatkan.
“Namaku Siti Haliza binti Haji Tun Abdul Razak dari Selangor,” bisik Haliza kini dapat berjalan tegak di sebelah Garsini, menjejeri para gakusei asing lainnya.
“Saya Garsini Siregar dari Depok, eeh… itu dekat Jakarta,” sahut Garsini.
Haliza mengaku terus terang, tak mengira bisa secepat itu bertemu sesama Muslimah di Negeri Sakura. Dalam bilangan menit keduanya telah akrab, perbedaan istilah antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia taklah menjadi masalah. Acapkali keduanya malah tertawa geli karenanya.
Sejak hari pertama berkenalan keduanya menjadi karib dan senantiasa saling mengingatkan, menguatkan dalam setiap kesempatan. Sering rekan-rekan sealmamater keheranan melihat kedekatan kedua gadis berjilbab itu. Apa itu ukhuwah? Tentu saja para gakusei Jepang, juga mereka dari negara-negara non islam itu tak pernah mengerti maknanya.
“Lekaslah shalat subuh tu!” sepasang alisnya yang indah terangkat.
“Sudah, tadi tidur lagi,” Garsini masih memandanginya, semakin terheranheran. Haliza membuka balutan handuk, kemudian mengeringkan rambutnya yang panjang bergelombang dengan hairdryer. Ini baru mahkota wanita terindah yang pernah dilihat Garsini. Mengalahkan rambut para gadis shampo yang bertaburan di layar kaca Indonesia.
“Mau bepergian rupanya, hemm?” Garsini baru menyadari keberadaan ransel yang telah dikemas apik di sudut kamar mereka.
Haliza masih asyik dengan kesibukan pengeringan rambutnya. Mahasiswi kedokteran yang mengaku takkan menikah dengan siapapun selain Mahathir Rashid itu kemudian menyahut.
“Famili di Yokohama, mengundangku libur di rumah peristirahatannya…”
“Libur panjang!” tukas Garsini menyentak, membuat Haliza menoleh ke arahnya. “Masya Allah, kok aku baru ingat ya?” Sesaat ia tampak bagai linglung. Sementara Haliza menatapnya dengan cemas dan bimbang.
***
Rasanya belum lama mereka memasuki aktivitas perkuliahan di Universitas Tokyo. Setelah sebelumnya pun ada hari-hari libur selama beberapa pekan. Ia sempat sangat jenuh tanpa kegiatan sebelum memulai perkuliahan itu.
Haekal yang ambil spesialisasi di Universitas Waseda mengunjunginya dan memberinya alternatif, agar ia tinggal di minshuku. Yaitu penginapan milik keluarga. Sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk belajar mengenal adat kebiasaan orang Jepang. Sekaligus pula melancarkan bahasa Jepangnya yang memang amat parah.
Garsini tahu, Haekal juga melakukan hal yang serupa, tapi sengaja mengambil lokasi yang berbeda. Sehingga mereka tak bisa setiap saat bertemu, hanya berkomunikasi melalui telepon dan internet. Ternyata medium itulah yang kemudian menjadi alternatif komunikasi mereka di hari-hari selanjutnya. Dalam beberapa bulan ini mereka bertemu bisa dihitung dengan jari.
“Aa Haekal mengambil spesialisasi haematologi. Dia akan mengawasimu selama di Negeri Sakura.” Selly, adik Haekal dulu berkata demikian. Tapi itu rasanya tak mungkin terwujudkan, sebab jadwal padat dan tekanan luar biasa yang harus mereka hadapi dalam keseharian. Sesuatu yang jauh dari perkiraan mereka di masa lalu.
Sekarang Aa Haekal juga takkan sempat mampir ke sini, gumam Garsini. Itulah agaknya yang terbaik bagi keduanya.
“Gusti Allah amat mengasihi kalian, Anakku. Sebab kasih-Nya kepada kalian, Dia tak membiarkan kalian bisa selalu dekat berduaan. Kebersamaan kalian kan bisa mendatangkan fitnah, godaan nafsu.” Mama kerap berkata begitu di telepon, menyemangatinya senantiasa dan mendoakannya tentu saja.
Tempo hari pemuda itu menelepon Garsini, memberi tahu tentang rencana libur panjangnya. “Aku dan beberapa rekan akan melakukan kerja bakti di pulau Pusan. Kami akan jihad di leprosium,” katanya riang seperti biasa.
“Di mana pulau Pusan dan apa itu leprosium?” tanya Garsini ingin tahu.
“Pulau Pusan wilayah Korea…”
“Korea… jadi Aa mo ke luar negeri?” Sayup nama Haekal terdengar sudah dipanggil-panggil oleh kelompok baksos-nya. Telepon pun memperdengarkan suara klik. Bagaimana rasanya menghabiskan liburan di pulau yang dihuni oleh para penderita kusta, ya? Suara dokter muda itu terdengar begitu bersemangat. Berbahagialah dia yang selalu merasa terpanggil untuk bakti kemanusiaan.
***
Haliza mendadak berhenti, meletakkan alat pengering rambut di atas dipannya dan menghampiri Garsini. Dipandanginya wajah Muslimah Indonesia itu dengan cemas.
“Jangan katakan kau tak punya rencana bepergian… Pasti sudah punya rencana khusus, ya kan? Mau ke mana? Kyoto atau Saporo? Ooh, suasana kuil Budha di Nara musim semi begini…”
Apa Haliza lupa, kalau aku bukan anak orang berduit? Memang ada uang saku yang kuterima per bulannya, tapi itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kelancaran perkuliahan. Sementara gaya hidup di Jepang sangat mahal!
“Tidak, aku tidak tahu mau ke mana!” pintas Garsini terdengar agak mengeluh dan balik menatapnya, kali ini disertai sedikit harapan. “Aku sama sekali tak punya rencana ke mana-mana…”
“Bagaimana kamu bisa…” Haliza terheran-heran menatapnya.
“Oh, Haliza bagaimana kalau… ajak aku, ya, please?” pintanya terdengar mengiba. Sungguh amat kontras dengan karakternya yang Srikandi!
Haliza terperangah dalam rasa bersalah. Garsini sesaat mengguncangguncang lengannya, masih menatapnya dalam harapan. Tapi manakala dilihatnya wajah cantik itu dikabuti rasa bersalah, sadarlah dirinya bahwa harapannya hanya akan menyulitkan Haliza. Perlahan dilepaskannya tangan gadis itu dan otaknya mulai sibuk menemukan gagasan.
Apa masih berlaku tawaran dari Nakajima-san sebagai relawan MeSci, museum sains itu, ya? Lelaki tua itu mengingatkan Garsini kepada mendiang kakeknya. Musim semi ini ia bermaksud mengunjungi keluarganya di Saporo. Ia mencari relawan untuk menggantikannya, sementara dirinya bepergian ke luar kota selama beberapa hari.
Mayumi-san, mahasiswi jurusan sastra yang menyampaikannya kepada Garsini. Sahabat Jepun-nya itu relawan musiman di museum sains terbesar di Jepang.
“Afwan, ya Garsini… Tentu mereka sudah merencanakan ini sejak lama. Tak mungkin kan kalau tiba-tiba…” Suara Haliza terdengar terpatah-patah, minta pengertiannya yang dalam.
“Tak apa, sudahlah… Jangan khawatir, Haliza,” tukas Garsini gegas merangkul bahunya dan memeluknya erat. Ia kemudian bangkit dan berusaha mengubah kemuraman wajahnya. Berjalan menghampiri ransel berukuran sedang yang sudah siap menunggu pemiliknya membawanya kembara itu, ia bertanya keheranan. “Hanya ini bawaanmu, hm…?”
“Mereka beramanat agar aku tak banyak bawaan. Semuanya sudah disediakan, kata Mak Tuo tu… Ngng, masih famili Abang Rashid,” jelas dara Malaysia itu dengan wajah memerah.
Garsini tersenyum paham. Ia tentu saja tak ingin mengganggu sebuah keluarga yang hendak mempererat tali silaturakhim. Mereka keluarga calon suami Haliza dan khusus mengundangnya. Tentu bukan sekadar undangan biasa. Ada maksud lebih jauh di luar sekadar menampung seorang mahasiswi yang ingin menikmati libur panjang.
“Sungguh kau tak apa-apa?” Haliza telah siap berangkat. Masih diliputi perasaan bersalah, tapi ia pun tak mungkin membuyarkan rencananya. Garsini telah menyegarkan diri, tampaknya siap pula hendak bepergian. Wajahnya berseri-seri dan sarat percaya diri seperti biasa. Ia menggelengkan kepalanya.
”Aku baru ingat, sepupuku dari Holland akan libur di Tokyo. Sebaiknya aku jalan saja, melihat-lihat hotel yang pantas untuknya.” Dalihnya tak dibuatbuat, itu memang benar dan ia baru mengingatnya lagi kini.
Keduanya meninggalkan kamar, jalan bergandengan menyusuri koridor yang telah lengang. Setelah beberapa saat lalu para gakusei yang kebelet menikmati liburan musim semi, bertemperasan hampir secara serempak. Ditunggu oleh taksi-taksi yang telah mereka panggil, dan secara serempak pula mengklakson mereka tanpa ampun, hingga seolah balik menteror.
Mungkin karena sepagi itu mereka telah dipanggil. Padahal saat awal libur musim semi begini nikmatnya berkumpul bersama anak dan istri di rumah, atau merencanakan wisata ke tempat rekreasi yang sejak lama diidamkan.
***
Garsini tahu, pria dan wanita Jepang lebih suka menenggelamkan diri dengan pekerjaannya. Fenomena work-cholic dari saat ke saat kian merata, menyerbu seluruh lapisan masyarakat dan usia bangsa ini. Ada beberapa pengalaman mulai dari yang lucu, aneh dan geli mengenai hal ini, dialami Garsini selama mukim di Jepang.
Suatu hari Garsini melihat seorang nenek renta tengah sibuk mengumpulkan sampah di pelataran eki, stasion kereta. Ia tengah jalan bareng rekan-rekan kuliahnya dari berbagai bangsa, sebagian besar telah lama mukim di sini. Jadi, ia paling yunior di antara lima gadis dan tiga pemuda yang baru jalan-jalan di Shinjuku. Bermaksud balik ke Chofu dengan keiosen, kereta.
“What the matter with you, Miss Garusiniii…?” ledek Clarissa, gadis Austria ikut merandek demi melihat Garsini menghentikan langkahnya. Miss Garusini, demikian rekan-rekan Jepun kadang menyebutnya.
Garsini tertegun-tegun memperhatikan Abaasan, nenek renta yang tengah mengumpulkan sampah. Ada karung besar teronggok tak jauh dari sang nenek. Sementara ia begitu seksama dan cermat memperhatikan suasana sekitarnya.
Sang Pembersih, pikir Garsini sambil mengagumi gerak-geriknya yang amat cekatan dan terampil. Dalam bilangan menit, ia telah memunguti lusinan bekas softdrink di sekitarnya.
Mana ada pemandangan macam ini bisa ditemuinya di Jakarta atau Depok. Coba bayangkan, orang Jepang yang terkenal sebagai turis pelit di kawasan wisata Indonesia. Para pengusaha elektronik, para eksekutif arogan di Jakarta. Menghuni apartemen canggih yang harga sewa per bulannya ribuan dolar, berseliweran dengan mobil-mobil mutakhir keluaran pabrik negerinya… Menuju gedung-gedung pencakar langit, tempatnya bekerja!
“Garsini, jangan norak dong, malu-maluin bangsa Indonesia aja!” Tasya si Manado dari kejauhan memperingatkan Garsini.“Baru lihat orang Jepang kerja, ya? Ups, tukang sampah nich yeee…!” cemoohnya dan bibirnya yang sensual manyun.
Gadis ini hanya selang satu semester tingkatannya dari Garsini. Tapi, ia sering merasa dirinya paling tahu, bahkan melebihi para seniornya. Sementara kala itu, Garsini untuk ke sekian kalinya jalan bareng rekan-rekannya. Baru satudua kali jalan seorang diri.
“Ssst, hati-hati kalau ngomong. Ini di negeri mereka,” bisik Garsini ketika akhirnya Tasya jadi tertarik, balik menghampirinya dan menjejerinya.
Clarissa sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran kedua gadis Indonesia itu. Diam-diam ia kembali gabung dengan rekan-rekannya, melanjutkan perjalanan. Sementara Abaasan semakin sibuk memunguti sampah, bekas minuman dan kotak makanan. Karung di atas troli yang dijadikannya tong sampah itu isinya sudah padat, tapi terus juga dipenuhinya dengan sampah yang berhasil dipungutinya.
“Kasihan juga, ya…?” bisik Tasya menatap iba ke arah Abaasan yang kini kelihatan susah payah mendorong trolinya. Tapi ia sama sekali tak berniat turun tangan kecuali ada hal darurat yang bisa merubah keputusannya.
“Kita bantu, biar kerjaannya cepat selesai?” cetus Garsini merasa tak tahan lagi.
“Ngng…” Tasya menyadari mereka sudah tertinggal jauh dari rombongannya. Bagaimana kalau kesasar, berdua Garsini si pendatang di tempat asing begini? Memang sih ia lebih dulu mukim di Negeri Sakura. Namun, ia tak punya nyali untuk jalan seorang diri, selalu jalan bareng rombongan. Tasya sungguh kaget saat diketahuinya kemudian Garsini sudah berani jalan seorang diri. Bagaimana mungkin dirinya yang lebih senior bisa dilangkahi si anak bawang, pikirnya terheran-heran.
Ketika Tasya mempertanyakannya, apakah Garsini tidak merasa takut jalan sendirian di negeri asing? Garsini hanya tersenyum manis, bila terus didesaknya barulah ia memberi jawaban yang ajaib di telinga Tasya.
“Kenapa mesti takut? Karena ada Allah Sang Maha Penunjuk, Dialah yang senantiasa mengarahkan kaki-kakiku ini hingga tak nyasar…”
Ugh, dia kira aku tak punya Allah, pikir Tasya. Tapi Bapa dan anak Allahku itu sudah lama tak pernah kutengok di gereja. Mungkin sejak keluarganya pindah dari Manado ke Jakarta. Sejak Mami cerai dengan Papi, anak-anak kemudian bertemperasan dititipkan ke sanak famili di pelosok Tanah Air. Lindungi kami, anak-anak korban perceraian ortu, Bapa!
Garsini telah melesat ikut turun tangan, menjejeri nenek tua itu mendorong trolinya. Tasya tak berhasil menemukan rombongannya lagi, jadi terpaksa mengikuti jejak Garsini. Mereka pun asyik membantu sang Abaasan. Sesekali berhenti, memunguti sampah yang sesungguhnya hanya satu-dua saja tampak di sekitar mereka.
“Ahaaa… asyik juga bisa bantu orang Jepun itu, ya? Tanpa pamrih begini, ada pahalanya, iya kan?” Tasya terengah-engah saat menghambur ke dalam keiosen, kereta dari Shinjuku ke Chofu.
Garsini hanya tersenyum lega, bisa bergabung lagi dengan rombongannya dalam satu gerbong, setelah hampir setengah jam membantu Abaasan di pelataran eki. Rekan-rekannya hanya senyum-senyum kecil melihat kelakuan kedua gadis belia itu, usia mereka masih tergolong teeneger, di bawah duapuluh.
“Lihat, mereka mengucapkan terima kasih kepada kalian,” Clarissa nyeletuk sambil menuding-nuding keluar jendela. Garsini melongokkan kepalanya melalui jendela kaca di sampingnya. Tampaklah Abaasan dan beberapa kakek yang tahu-tahu sudah bergabung dengan mereka, memunguti sampah itu. Kini barisan lansia itu tersenyum senang dan melambai-lambaikan tangan ke arah dirinya dan Tasya.
“Sayonara, ja mata…!” seru mereka bak dikomando saja.
“Apa katanya?” tanya Garsini bingung. Mulai mencium keanehan.
“Selamat tinggal, sampai jumpa lagi…” jawab Maria Linares, gadis Manila.
“Lain kali kalian harus lebih rajin mengumpulkan sampah bersama mereka, ya?” sahut Clarisa sambil ngakak.
Geeerrr… rekan-rekan lainnya seketika tertawa terbahak-bahak. Sepanjang sisa perjalanan itu, Tasya lebih banyak bersungut-sungut menyesali kelakuan mereka. Sementara Garsini hanya mesem-mesem tulus. Ia baru tahu, ada kebiasaan para lansia Jepang melakukan bakti sosial, antara lain memunguti sampah pada hari libur atau saat-saat tertentu.
Jadi, Abaasan itu bukan tukang sampahlah, bo!
***
Kehebohan luar biasa itulah yang telah membangunkan Garsini dari tidurnya di pagi buta. Sekarang asrama putri ini terasa lengang, senyap. Mungkin tinggal mereka berdua yang belum angkat kaki dari tempat ini. Setidaknya dari lantai dua, tempat tinggal sekitar seratus mahasiswa asing dari berbagai warganegara.
“Sepupumu, ya?” Haliza melirik gadis itu, ingin tahu. Ada kebekuan mengapung di tengah mereka. Garsini tak menyukainya. Ia cepat ingin mengubah suasana hati mereka kembali. Dalam keriangan, semangat dan keikhlasan seperti biasanya mereka rasakan selama ini.
“Iya, Peter, putra Tante Arnie yang mukim di Holland. Rasanya aku pernah mengungkitnya kepadamu… Dia pernah berencana melanjutkan studi di Jepang. Tapi entah mengapa urung. Ee, tahu-tahu kabarnya dia kini telah
menjadi seorang tentara Kerajaan Belanda,” katanya riang dan tulus.
Haliza tersenyum lega mendengar keriangan suara sohibnya.
“Baiklah, hati-hatilah dengan sepupumu itu,” bisik gadis Malaysia itu saat akan berpisah di teras asrama. Semangat dan keriangan telah kembali mewarnai wajahnya.
Sebuah taksi telah menantikan Haliza. Hanya pada kesempatan istimewa saja para gakusei memanggil taksi, mengingat tarifnya tinggi. Takkan terjangkau oleh uang saku yang mereka peroleh dari pemerintah Jepang melalui beasiswa. Hari ini memang pengecualian. Mereka berhak bersenang-senang setelah menjalani jadwal aktivitas yang begitu padat, sarat tekanan luar biasa. Hanya kawula muda pilihan saja yang sanggup menjalani hari-hari “neraka” macam itu.
“Kaulah yang mesti hati-hati dengan keluarga Raja di Raja Malaysia tu, Haliza,” balas Garsini dan ia sungguh mulai mencemaskan hasil kunjungan sahabatnya kelak. Ia tak ingin melihat sohib tercinta terluka. “Dan kuharap kau takkan… mmh, seandainya nanti…”
“Yeah… tolong restui aku, ya, Garsini?” tukas Haliza terdengar menghiba. Keduanya berangkulan dan berpelukan erat. Seolah mereka takkan pernah bersua kembali.
“Lekaslah masuk!” Garsini mendorongnya masuk taksi dan melemparkan ranselnya ke jok belakang.
“Assalamualaikum,” ujar gadis Malaysia itu tertawa.
“Waalaikumussalam,” balas Garsini. Sebuah salam yang kerap keduanya perdengarkan kala bertemu atau berpisah, dan membuat rekan mereka sering keheranan atau hanya tersenyum maklum.
***
Bab 2

Bandara Narita, suatu petang yang sejuk. Pesawat KLM beberapa saat lalu telah mendarat mulus di landas pacu bandara yang terkenal dengan teknologi canggih se-Asia itu. Para penumpang mengalir keluar dari pintu kedatangan. Petugas memeriksa bawaan mereka dengan ketat. Belakangan suasana bandara di seluruh dunia dicekam ketakutan dan kengerian luar biasa. Ini diakibatkan oleh sejumlah peristiwa pemboman hebat di berbagai belahan dunia.
Peter, seorang pemuda berseragam militer antri dengan sabar di antara para penumpang yang baru tiba dari Holland. Sekilas ia melayangkan pandangannya ke kejauhan. Adakah anak bawel itu di antara para penjemput? Aku bukan anak bawel lagi, Peter. Aku sudah dewasa, sudah jadi akhwat…
Ketika itu Garsini mahasiswi di Universitas Indonesia. Begitu bangga dia menceritakan tentang rekan-rekan apa itu, kawatnya? Seperti apa rupanya sekarang anak bawel itu? Masih tomboykah dia, rambut cepak dan celana jeans belel bolong-bolong?
“Yokoso Nihon e irasshaimasen…4” seorang pramugari yang melintas di sebelahnya, iseng menyapa pemuda itu. Tentara Kerajaan Belanda. Ganteng sekali dia. Harum jantan meruap dari tubuhnya, hmm!
“What?” Peter celingukan. Ia telah selesai melalui pemeriksaan, keluar berdampingan dengan pramugari yang memiliki wajah mirip boneka Jepang koleksi ibunya itu. “Exuse me… Anda bicara apa?” susulnya dalam bahasa Inggris.
“Anata no o-namae wa nan desu ka? Ryoko wa tanoshikatta desu ka?”5a Gadis Jepang itu semakin tergairah menggodanya. Ia tahu gerak-geriknya tengah diperhatikan oleh rekan-rekannya dari kejauhan.
Namun, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat ringkas di hadapannya.
4 “Selamat datang di Jepang….”
5a “Siapakah nama Anda? Perjalanan Anda menyenangkan?”

“Hai, Broer Peter!” Garsini tersenyum ramah kepada sang pramugari. “Domo arigato5b… Dia sepupu saya dari Holland,” katanya dalam bahasa Jepang yang lumayan, membungkuk hormat.
“Dia tak bisa bicara Nippon, shitsurei desu ga6…”
“Sayonara, sayonara… Sampai jumpa!” balas sang pramugari tersipu malu dan menatap wajah keduanya sekilas.
Mirip apanya, ya? Sepupu dari Holland, dia sendiri dari mana? Tampang kalian mirip orang Jepang. Apalagi si tentara itu, mirip sekali Takeshi Kaneshiro… Long Vacation!
Gadis Jepang itu gegas-gegas berlalu, menuju beberapa rekannya yang masih memperhatikan pagelarannya sambil cekikikan. Peter masih berdiri rikuh memandangi makhluk jelita, enerjik dan terus-menerus tersenyum bandel ke arahnya. Ooo, pasti ini dia si bawel Garsini Siregar, pekiknya dalam hati.
Sekejap Peter sudah memeluk gadis itu. “Huss, jangan begini!” Garsini merenggangkan pelukan sepupunya.
“Kamu adikku!” Peter mejawil hidungnya seperti kebiasaan saat mereka kecil dahulu.
“Tidak juga, kamu yang adikku. Sebab Mamaku kakak Mamimu,” balas Garsini mulai memperlihatkan keras kepalanya.
Peter tertawa lebar, kemudian tiba-tiba teringat sesuatu. “Hei, tadi itu apa sih? Kamu bicara apa dengan pramugari itu?” Seketika ia memprotes dalam bahasa Indonesia yang lumayan bagus. Tentu saja mengingat dia telah meninggalkan Indonesia sejak umur lima tahun. Tante Arnie pasti telah berusaha keras mewariskan kepadanya, bahasa pemersatu bangsanya itu.
“Dia mengucapkan selamat datang di negerinya, menanyakan nama juga tentang perjalananmu,” Garsini sambil melirik arlojinya.
“Kamu sama sekali tak beri kesempatan, ya? Coba bilang dari tadi, aku akan berikan kartunama yang bagus untuknya.” Garsini tak bisa lama-lama di sini, harus mencari tempat untuk shalat maghrib. Karena ia tahu, jika mengantar
5b Terima kasih 6 maaf permisi
Peter ke hotel yang telah dipesannya akan memerlukan waktu yang cukup
panjang.
“Ada apa?” tanya Peter cemas dan menangkap kegelisahannya.
Garsini berusaha tetap tersenyum riang. “Tak ada apa-apa, tapi aku harus shalat maghrib dulu. Mmh, begini saja kita ke kafetaria itu dulu, ya? Sementara aku shalat kau bisa menikmati…”
“Sake! Ya, aku mau sake Jepang!” kata Peter menukas cepat.
“Huss!” Garsini tertawa geli melihat semangat sepupunya yang super tinggi itu. Tapi diantarnya juga sepupunya ke sebuah coffee house. Matanya telah menangkap suatu sudut yang lumayan sepi di sekitar situ.
Ketika Garsini menunaikan shalat maghribnya di sudut sepi itu, mata Peter tak lepas-lepas mengawasi kelakuannya. Apa yang terjadi dengan anak itu? Begitu taatnya dia menjalankan syariat agamanya. Di tengah kesibukan tibatiba harus shalat. Apa dia tak menemukan kesulitan hidup seperti itu, di tengah bangsa asing begini?
Peter teringat ibunya yang masih mengaku orang Islam, tapi belangbentong menunaikan shalat lima waktunya. Seketika pemuda itu merasa penasaran sekali. Begitu Garsini kembali menghampirinya, ia langsung menohoknya dengan pertanyaan, “Apa menjadi Muslimah itu sulit, Garsini?”
“Insya Allah tidak!” sahut Garsini mantap membuat Peter terperangah.
***
Setelah satu malam tinggal di hotel bergaya Barat, Peter memutuskan menerima saran sepupunya, pindah ke ryokan7 ala Jepang. Ia sangat mengandalkan sepupunya, terutama berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Ketika Garsini menunjukkan sebuah penginapan tradisional, wajah Peter langsung ditekuk lucu.
“Bagaimana kalau kamu nggak ada nanti? Bisa bicara apa aku di sini?” tanyanya seperti bocah ketakutan, hingga Garsini tertawa geli.
7 penginapan
“Nanti kuberikan kamus praktis bahasa Jepang. Dulu pertama datang aku juga memanfaatkannya. Itu akan sangat membantumu,” Garsini menenangkan, seketika dipandanginya penampilan sepupunya lekat-lekat.
“Kamu seorang serdadu, Broer.8 Hmm... Kalau Opa masih hidup apa komentarnya soal profesi yang kamu pilih ini, ya?” Garsini menjawil pet hijau yang bertengger di kepala sepupunya.
“Opa akan menangis darah,” gumam Peter terdengar menyesal. Mereka telah hafal betul kisah heroik Opa tercinta. Di zaman revolusi 1945, kakek mereka berjuang dengan jiwa raga, darah dan air mata melawan penjajah. Di negerinya kolonialis itu identik dengan Belanda, Jepang dan Portugis. Tapi sekarang, cucunya justru menjadi abdi Kerajaan Belanda. Ironisnya hidup ini!
Peter kelihatan masih merasa menyesal, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Garsini menepuk tangannya dan berkata riang,“Jangan khawatir, Opa nggak bilang apa-apa tuh waktu terakhir aku menziarahinya di Cikutra. Jangan merasa bersalah, ini jalan kita…”
“Bercanda kamu… It’s funy!” Peter seketika tergelak geli. Siapa pernah mengira sepupunya yang sejak kecil bercita-cita studi teknik informatika di Jepang, malah menjadi seorang militer? Siapa mengira pula kalau ia yang sejak lama ingin menjadi dokter, bahkan kemudian berusaha keras mendapatkan beasiswa teknik kedokteran… Tapi sekali lagi, inilah jalan-Nya!
“Kenapa kamu nyasar ke teknik informatika, Garsini?” tanya Peter.
Siang itu mereka berjalan kaki menuju sebuah penginapan. Untuk pertama kalinya Garsini melihat sepupunya melepas seragam militer, dan menggantinya dengan pakaian santai. Celana jeans hitam dengan t-shirt berlengan sportif. Sekilas Peter tampak mirip dengan para pemuda Jepang lainnya yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ayah Peter adalah etnis Manado, mereka bercerai dan ibunya menikah lagi dengan pria Belanda.
“Sejak SMP kutahu kamu sudah bercita-cita menjadi dokter, kan?”
***
8 sebutan untuk kakak lelaki, Belanda
Garsini tak ingin mengenang saat-saat tak mengenakkan pada minggu pertama keberadaannya di Tokyo. Ada kesalahpahaman, kesalahan teknis dan entah apalagi. Nama lain masih berasal dari Indonesia, ujug-ujug menyerobot posisinya di teknik kedokteran. Sementara namanya terdaftar sebagai mahasiswa teknik informatika.
Hari-hari itulah ia bertemu Mayumi, mahasiswi sastra yang banyak membantunya. Dara Jepun itu memberi banyak informasi yang memang sangat dibutuhkannya kala itu. Ia sampai rela mengorbankan waktu liburnya sendiri, menemani Garsini ke beberapa tempat. Melepas rasa frustasi yang sekejap membelenggu diri gadis itu, kala menemukan kenyataan yang tak sesuai dengan harapannya.
Pihak daigaku merasa tak bersalah cenderung langsung angkat tangan, menyilakannya untuk mengurus kesalahkaprahan ini ke Kedubes RI. Mungkin juga ke pihak panitia pemberi beasiswa di Jakarta. Sungguh sangat melelahkan, hanya menimbulkan rasa frustasi dan putus asa saja.
Kadang Haekal ikut serta bersamanya dalam melacak kekeliruan itu, tapi kemudian mereka menyadari hanya menemukan jalan buntu. Sementara masa perkuliahan sudah akan dimulai. Lagi pula Haekal tak bisa terus-menerus mendampinginya, karena ia pun harus menyelesaikan urusannya sendiri.
Kembali hanya berdua Mayumi, ia menuntaskan permasalahannya. Sehingga akhirnya mereka mendapatkan jalan keluarnya. Aku harus menerima kenyataan ini. Ya, lebih baik kuterima saja daripada harus kembali ke tanah air!
Tak bisa terbayangkan oleh Garsini, bagaimana hancurnya seluruh bangga ayahnya jika ia kembali sebagai seorang pecundang!
“Pasti dia anak orang penting dari Indonesia, heh?” komentar Peter.
“Dia… siapa?” Garsini tersentak. Mereka sudah sampai di depan meja resepsionis ryokan. Tak ada siapapun di situ. Keduanya menunggu beberapa saat dengan sabar.
“Orang yang sudah menyerobot posisimu itu!” sergah Peter. Wajah Garsini sekilas tampak memerah. Pikirannya sesaat melayang ke pulau Pusan.
“Naah, kamu melamunkan siapa?” ejek Peter. “Ayo katakan kepadaku, kamu sudah punya pacar kan?”
“Ah, kamu! Tak ada pacaran di kamus hidupku…” elak Garsini cepat. “Oya, aku pernah bertemu cewek itu.” Garsini tersipu malu seolah telah dipergoki. Peter tersenyum menang.
“Jadi seorang cewek, heh, cantikkah?”
“Tentu saja, dia sangat cantik dan glamour…” Garsini tertawa kecut.
“Pasti nggak pantas jadi anak teknik kedokteran, ya?”
“Ngng… lihat saja nanti!” Peter menggeram. “Apa dia tahu kamulah orangnya?” Garsini menggeleng ragu. Dia takkan lupa bagaimana gerak-gerik memikat, bak burung merak sedang pamer keindahahan. Cewek itu angkuh dan sangat mengetahui persis apa yang diinginkannya.
Dalam tempo relatif singkat dia telah menjadi bintang kecil di fakultasnya, terutama sebagai biang pesta dan mengencani banyak mahasiswa asing. Begitulah gosip yang beredar di kalangan rekannya di asrama. Dia sendiri tidak tinggal di asrama, kabarnya di sebuah apartemen indah di kawasan elit.
Saat secara kebetulan di syokudo, aula besar di kampus, berhadapan langsung dengannya, ia sempat berpikir sambil menahan kegeraman hatinya. Bagaimana nurani dan moral gadis ini, ya? Hanya karena dia anak orang penting, maka dengan mudah merampok keberuntungan anak lain? Tapi bisakah dia disalahkan atas semua ini? Bagaimana kalau dia hanya korban dari ambisi orang tuanya? Kasihan sekali kalau begitu!
***
Seorang wanita paro baya mengenakan kimono bagus menyambut kedatangan mereka. Ia tersenyum ramah dan membungkukkan tubuhnya dengan santun. “Konnichiwa gakusei-san… irasshaimasen,”9 katanya ramah.
“Konnichiwa Okusan, domo arigato gozaimasu10,“ balas Garsini tak kalah santun, membungkukkan badannya dengan baik sekali.
9 “Selamat siang… Selamat datang di Jepang.” 10 “Selamat siang Nyonya, terima kasih.”
Woo, cara membungkuk ala Jepang ini telah ia pelajari secara khusus dari Mayumi. Pemilik ryokan tampak terpesona, menatap wajah Garsini sambil tetap tersenyum ramah. Sepasang matanya menyiratkan penghormatan dan kekaguman seorang ibu terhadap anaknya.
“Kamu gakusei-san, dari Universitas Tokyo, ya?” ujarnya langsung menebak. Ia mengerutkan keningnya, mengira busana yang dikenakan gadis itu adalah mode mutakhir anak-anak muda.
“Iya… Bagaimana Nyonya tahu?” Garsini menatapnya terheran-heran.
Sesungguhnya mudah saja bagi Okusan untuk menebak asal mahasiswa yang datang ke penginapannya. Kebanyakan mahasiswa Universitas Tokyo sangat khas, memiliki sorot mata cerdas, percaya diri dan tahu tatakrama tradisional Jepang.
Tapi mata Garsini sama sekali tidak sipit. Ia memiliki sepasang mata lebar yang bagus sekali. Dan busana yang dikenakannya, sunguh menarik, pikir wanita itu.“Gakusei-san mahasiswa asing, ya kan?” tanyanya ramah sekali.
Garsini mengangguk. “Begitulah, Okusan…”
“Tapi bahasa Jepangmu sudah lumayan,” pujinya tulus.
“Domo arigato gozaimasu…” Garsini sudah terbiasa dengan tatapan aneh begitu. Mereka memandang heran ke arah busana yang dikenakannya. Itu tak membuatnya tersinggung apalagi rendah diri.
Di kampusnya Garsini dikenal sebagai mahasiswi teeneger, enerjik, sangat cerdas dan taqwa menjalankan syariat agamanya. Kebanyakan mereka mengagumi tata cara pelaksanaan ibadahnya yang amat disiplin. Mereka kerap mendapatinya shalat, tepekur membilang tasbih atau shaum pada hari-hari tertentu. Sejauh ini, Garsini tak mengalami banyak hambatan.
Rekan-rekannya menghargai keberadaannya sebagaimana mestinya. Ya, selain tatapan aneh, selebihnya Garsini merasa hepi-hepi saja menikmati masa perkuliahannya. Empat tahun kesempatan emas yang diberikan mereka kepadanya, ia selalu berharap mampu menjalaninya lebih singkat.
Tiba-tiba Okusan balik menoleh ke arah Peter dengan tatapan sinis, kecewa dan marah. “Kamu sangat beruntung bisa menggaet gadis cantik dan kelihatannya tahu adat ini. Tapi ingat, kami tak suka kalau kamu hanya memanfaatkannya!” cerocosnya tajam dan ketus sekali.
“Mentang-mentang tampangmu mirip Takeshi Kaneshiro, hah! Sungguh menjijikkan, memalukan nama bangsa saja…” gerutunya pula saat melihat Peter masih tersenyum-senyum.
Peter mendadak terdiam dan celingukan, bingung, kenapa tiba-tiba ia diperlakukan galak dan ketus oleh wanita itu. Bahkan sepertinya dimarahi? Untuk sesaat Garsini pun terkesima, perlahan wajahnya merah padam. Namun kemudian ia segera menyadari kesalahpahaman. Ia cepat memutuskan untuk meluruskannya, sebelum situasinya semakin parah bahkan bisa berakibat fatal.
Berabe, apa kata rekan-rekannya di daigaku nanti!
“Kami bersaudara, Okusan. Percayalah, dia sepupu saya,” Garsini bicara serius dengan wanita itu. Menjelaskan bahwa ia telah salah paham menganggap Peter pemuda Jepang yang telah menggaet gakusei asing.
Sementara Peter semakin bingung. Begitu Garsini selesai bicara, Okusan balik menghadapi Peter kali ini dengan sikap santun yang sangat berlebihan.
“Sumimasen… Koko ga machigatte iru to omoimasu… I’m verry sorry,”11a katanya dalam sikap amat malu dan merasa sangat bersalah.
Okusan dengan serius sekali masih akan melanjutkan acara bungkukmembungkuknya, jika Garsini tak segera mencairkan suasananya. Membisikkan sesuatu ke telinga Peter, hingga pemuda itu tertawa ditahan.
“Tidak apa-apa, Madame,” ujar Peter ramah dalam bahasa Inggris. “Tampang saya memang mirip orang Jepang. Sudah sering saya alami hal seperti ini di Holland. Bahkan di negeri leluhurku sendiri, Indonesia… Aha, ternyata Okusan paham bahasa Inggris!” pujinya pula tulus.
“Ooh, Indonesu… saya tahu itu di Bali?” komentarnya sok tahu.
Beres urusan pesan tempat, keduanya melihat kamar yang telah dipesan. Ditemani oleh seorang putri Okusan yang mendekati mereka dengan sikap amat pendiam, serba canggung, rikuh dan gerak-gerik lamban. Sehingga sepintas lalu
11a “Maafkan… Saya kira ada kekeliruan di sini… maafkan saya,”
pun Peter sudah bisa menarik kesimpulan, gadis itu seorang terbelakang mental. Itu langsung disampaikannya kepada Garsini.
“Psst, sok tahu kamu!” tegur Garsini menatap iba ke arah gadis bertubuh gemuk pendek itu. Dalam hati ia terpaksa mesti membenarkan kesimpulan kilat sepupunya. Hebat, pikirnya, seorang militer muda dan punya pengetahuan atau bakat psikolog juga.
Sementara Okusan harus melayani para tamu yang mulai berdatangan. Kebanyakan tamunya adalah turis asing yang berminat merasakan nuansa tradisional Jepang. Biasanya mereka menginap satu-dua malam sebagai transit, kemudian akan melanjutkan perjalanan ke lokasi-lokasi wisata lainnya.
Tampaknya Peter merasa puas dan menyetujui untuk tinggal di situ selama beberapa hari. Ketika keduanya kembali ke depan, Okusan telah menanti mereka dengan wajah harap-harap cemas.
“Jangan khawatir, Okusan,” Garsini tersenyum lembut kepadanya. “Dia setuju untuk menginap di sini beberapa hari…”
“Haik, kami sangat beruntung, domo arigato,” Okusan tampak lega sekali.
“Nihon-go wa wakarimasen… sumimasen!”11 tiba-tiba Peter menyela, pamer hasil studi kilatnya dari kamus praktis pemberian Garsini.
Okusan dan Garsini menoleh ke arahnya, menatap Peter dengan surprise. Peter acuh tak acuh melanjutkan hasil pembelajaran praktisnya selama di dalam kamar, ketika Garsini tengah memperhatikan segala sesuatu di sekitarnya sambil berusaha keras mengajak berkomunikasi putri Okusan. Usaha yang sia-sia, gadis itu hanya menyahut dengan mengiyakan atau mengangguk.
“Ei-go de hanashite kudasai… yeah, yukkuri... Wakarimasu ka?”12
“Haik, wakarimasu!”13 sahut Okusan sambil lagi-lagi membungkukkan tubuhnya, masih dalam perasaan bersalah.
“Okusan, eh, apa itu ya, Garsini? Yeah, beautiful to!” Peter mengerling nakal. Wajah Okusan merona tapi ia kembali membungkuk. “Haik!” katanya.
11 “Bahasa Jepang saya payah… permisi!”
12 “Tolong bicara dalam bahasa Ingris, yeah pelan-pelan… Anda mengerti?”
13 “Ya, saya mengerti!”

Garsini menahan tawa, merasa iba juga kepada Okusan. Disambarnya lengan sepupunya dan berkata, “Sudah, jangan bercanda lagi. Kita cari makan di luar, hayoo!”
“Haik! Haik! Sayonara, Okusan!” Peter sambil tertawa bandel ke arah pemilik ryokan.
“Kami pergi dulu, Okusan…” kata Garsini pamitan.
Ups, hampir saja ia mengucap salam lekum-nya.
“Sayonara, gakusei-san, ja mata. Sampai jumpa!” balas Etsuko-san, lagilagi mengantar kepergian mereka dengan membungkuk takzim.
“Lebih hormat daripada orang Jawa, ya?” Peter tertawa lepas dan geleng kepala sesampai mereka di luar. Ia pernah tiga kali mengunjungi Indonesia, pergi ke Yogyakarta dan Bali. Mereka berjalan kaki menuju restoran yang tak jauh dari penginapan.
“Kamu mau mencicipi sushi atau kujira?” tanya Garsini ketika sudah sampai di sebuah restoran kecil.
“Aku mau makan semuanya, semuanya saja!” Garsini menatapnya keheranan. Apakah dia selalu begitu antusias?
“Semuanya, sungguh semuanya?” tanya Garsini minta ketegasan.
“Tentu saja, jangan sia-siakan kesempatan selama di Negeri Ninja ini. Semuanya, yap!” Peter amat bernafsu, kemudian cepat sekali memesan kepada seorang pelayan. “Aku mau yang ini, ini dan ini juga ya…”
Ia menunjuk contoh makanan yang dipajang di rak, replika makanan itu selalu tampak menggiurkan dan mengundang selera siapapun yang melihatnya. Garsini menatap daftar menunya dengan cemas, tapi membiarkannya saja.
Beberapa menit kemudian, Garsini melihatnya kepayahan terhuyunghuyung menuju kloset. Ketika ia kembali wajahnya tampak pucat pasi, masih terengah-engah tentara Kerajaan Belanda itu menunjukkan protesnya.
“Kamu kelewatan, Garsini,” keluhnya. “Jangan pernah lagi ajak aku ke restoran Jepang itu, terutama sushi14 dan kujira15-nya. Mereka betul-betul mau meracuni perutku, hehhh, aduuuhhh…”
14 potongan kecil makanan mentah hasil laut di atas nasi
Garsini menatapnya terkejut dan iba sekali, tak menyangka keadaan sepupunya ternyata jauh lebih parah daripada dirinya, ketika pertama kali datang dan “dijebak” begitu oleh Tasya. Kedua jenis makanan khas Jepang itu memang sungguh-sungguh... nggak cocok dengan perut mereka!
***
Nakajima-san sudah tampak di depan gedung MeSci, Nasional Museum of Emerging Science and Innovation. Ia memang tinggal di kawasan itu. Lelaki berumur tujuhpuluhan itu menyambut kemunculan Garsini dengan wajah berseriseri. Tampaknya ia sudah siap bepergian, mengenakan pantalon warna coklat tua dan kaos berleher di balik jas wol santainya.
Ekor mata Garsini melihat tas berukuran sedang, dan sebuah bingkisan dikemas dengan kertas bagus teronggok di sebelah lelaki tua itu. Mungkin bingkisan spesial untuk cucunya, pikirnya.
“Ohayo gozaimasu16, Nakajima-san,” sapa Garsini memberi salam.
“Gozaimasu domo arigato,” katanya balas membungkukkan tubuhnya. Waah… anatawa kirei desu ne!”
“Terima kasih, terima kasih,” paras Garsini merona dadu. Meskipun ia mulai menyadari, betapa mudahnya orang Jepang memuji. Kalimat seperti itu, wah kamu cantik sekali. Atau, wah, sutekina fuku desu ne… bajunya bagus ya? Ia sangat sering mendengarnya. Dari rekan-rekan Nippon di kampusnya, bahkan dari nenek-nenek, orang tak dikenal yang ditemuinya di gerbong kereta. Tapi pujian dari Nakajima-san terdengar tulus di kuping Garsini.
“Akhirnya kamu mau datang juga, Garsini-san. Aku sempat mengira kamu menolak tawaranku melalui Mayumi-san tempo hari.”
“Tentu saja saya datang,” suara Garsini agak tercekat. Setiap kali bertemu Nakajima-san, ia selalu terkenang akan mendiang kakeknya. Usia mereka sebaya kalau Opa masih ada. Opa pergi terlalu cepat, bahkan sebelum berhasil menerbitkan memoar yang sedang disusunnya.
***
15 bistik yang terbuat dari ikan paus
Bab 3

“Jangan khawatir, aku takkan pergi lama. Hanya beberapa hari, mungkin tiga-empat hari saja,” janji Nakajima-san sungguh-sungguh. Rasa tanggung jawabnya yang tinggi, sungguh membuat hati Garsini terharu sekali.
“Saya ada banyak waktu musim libur ini,” tukas Garsini menenangkannya.
Tapi sesaat kemudian, ia baru teringat lagi kepada sepupunya. Peter memintanya ikut dengan rombongan tur keliling Jepang. Mereka turis remaja Belanda yang dikenal Peter di hotel, tempat menginap sebelumnya.
“Yah, setidaknya sampai Anda kembali akhir pekan…” tambah Garsini.
“Ini sungguh tidak akan lama,” janji Nakajima-san. “Yang penting bisa bertemu Aiko, cucuku semata wayang… Kau tahu, putraku Kurasawa seorang eksekutif penting yang sangat sibuk. Selama ini mereka tinggal di Korea, begitu bisa liburan ke Jepang langsung menuju Saporo, tempat keluarga menantuku.”
Garsini mengangguk simpati. Ia bisa merasakan kesepian dan kesunyian hari-hari sang kakek. Mayumi banyak cerita tentang Nakajima-san, yang kerap diakuinya sudah seperti kakeknya sendiri. Di Tokyo lelaki tua itu tak memiliki keluarga lain sejak istrinya meninggal sepuluh tahun yang silam.
Di masa mudanya Nakajima telah membaktikan hidup dan ilmunya sebagai staf pengajar di Universitas Tokyo. Ketika pensiun ia memutuskan untuk menjadi staf museum sains terbesar di Tokyo ini.
Garsini pernah berhutang budi, berkat rekomendasi Nakajima-san beberapa urusannya di daigaku mendapat kemudahan; memanfaatkan fasilitas terknologi terkini di fakultasnya sebelum perkuliahan dimulai. Rekan-rekannya belakangan baru bisa mengikuti jejaknya. Seperti halnya dengan Mayumi, sahabat Jepun-nya itu. Sehingga rekan mereka kerap menyindir keduanya sebagai cucu Nakajima. Tiba-tiba kakek itu menyerahkan sebuah amplop kepada Garsini.
16 “Selamat pagi, Pak Nakajima.”
“Di sini kutuliskan daftar yang harus kamu pelajari, juga ada uang saku untukmu,” jelasnya tersenyum hangat.
“Oh, tapi Pak Nakajima…”
“Jangan ditolak, aku berterima kasih kepadamu. Kamu mau gantikan aku, itu sungguh membantu mengingat ini musim libur. Teman-teman sebayamu ribut melancong…”
“Saya memang tidak punya rencana pergi, Pak…” Garsini seketika merindukan mendiang kakeknya, tanah airnya dan rumahnya di Depok.
Ini baru beberapa bulan, bagaimana kususuri hari-hariku mendatang selama empat tahun? Mungkin ditambah dua tahun lagi untuk program S2 kalau mereka masih memberiku beasiswa. Ya Allah, kuatkanlah hatiku untuk bertahan di negeri orang ini.
“Kakek, Uji, panggil begitu, ya?” tukas Nakajima-san meminta dengan nada tulus, seolah bisa menangkap kerinduan gadis itu.
Mata Garsini terasa menghangat. “Uji-san…”
“Bagiku ini kesempatan sangat baik bertemu anak-menantu dan cucu. Mereka keluargaku. Mungkin aku takkan punya kesempatan lain.”
Ada yang mengapung dari sepasang mata Uji-san, seperti kapas-kapas berarak di langit musim semi. Ia bergulung-gulung dan sebentar lagi bisa jadi akan berubah menggumpal menjadi awan. Aaah, ada apa ini? Garsini seketika merasakan dingin. Ada sesuatu yang tak beres, menanti, pikirnya was-was.
Mayumi datang berlari-lari menghampiri mereka. “Taksinya sudah menanti di seberang,” katanya terengah-engah.
Ia sudah janji untuk mengantar Nakajima ke bandara. Wajahnya yang putih tampak memerah segar. Begitu sudah ada di hadapan mereka, ia membungkuk cepat. Roknya yang pendek berkibar diterpa angin nakal musim semi.
Mayumi prototipe gadis Jepang modern, selalu tergila-gila akan segala sesuatu berbau Barat dan serba modern. Perbedaan pembawaan yang sangat kontras di antara Garsini dengan Mayumi, tak membuat goyah tali persahabatan mereka. Garsini mengagumi bakti gadis itu terhadap ibunya dan seorang kakak lelakinya.
Sebaliknya Mayumi juga amat mengagumi kemandirian dan rasa percaya diri Garsini. Dan keteguhan gadis Indonesia itu dalam menjalankan syariat agamanya. Islam, sesuatu yang kadang menggugah rasa ingin tahunya. Tapi baru sebatas ingin tahu lain tidak.
”Oyaho gozaimasu, Mayumi-san…” nadanya terdengar menegur, hingga Mayumi tersipu-sipu, jengah. Seharusnya ia yang lebih dahulu menyapanya bukan sebaliknya.
“Sumimasen… maafkan terlambat, tadi saya harus meyakinkan Okusan agar pergi ke dokter,” Mayumi berusaha tersenyum riang.
“Bagaimana keadaan Okusan?” tanya Pak Nakajima kali ini terdengar khawatir. “Belum baik jugakah?”
“Okusan keras kepala, tapi tadi sudah janji akan menemui dokter Ikeda di klinik perusahaannya.” Ada kemuraman membersit di wajah porselinnya.
“Masih batuk-batuk juga, ya Mayumi?” Garsini pernah mampir beberapa kali ke rumah sahabatnya. Menemukan Mayuko-san sering batuk hingga tampak kewalahan.
“Yah,” sahutnya agak muram, tapi ditatapnya Garsini dengan hangat. “Terima kasih, ya, mau merangkap tugasku dan tugas Pak Nakajima. Baikbaikkah?”
“Semuanya baik-baik saja, silakan kalian berangkat,” ujar Garsini.
“Nanti aku mampir tengah hari. Kita akan punya waktu leluasa mereguk ilmu pengetahuan sepuasnya di sini, oke?!” janji Mayumi.
Gadis itu bersikeras ingin mengantar Pak Nakajima sampai bandara Narita. Janjinya telah dibuktikan dengan bangun di pagi buta, gegas meninggalkan rumahnya di Tokyo, lalu seperti Garsini harus menempuh perjalanan dengan taksi dan boat.
Nakajima sekali lagi memberi petunjuk singkat kepada Garsini, mengenai teknik pelaksanaan sebagai relawan di museum kesayangannya. Jarang sekali museumnya menerima relawan berusia muda, kebanyakan para pensiunan dari berbagai instansi. Kali ini memang pengecualian. Musim libur dan mereka sangat kekurangan relawan.
Garsini agak merasa bersalah, kenapa bukan kemarin ia mendatanginya, agar lebih leluasa berkeliling museum didampingi Nakajima-san. Tentu akan berbeda rasanya bila dilakukan lain orang. Nakajima-san pakar di bidangnya, pengetahuannya sangat luas sebagai insinyur teknik mesin.
Mayumi sudah mewantinya sejak dua minggu lalu. Tapi sepanjang hari kemarin ia menjadi guide Peter. Mereka berkeliling museum kepolisian, gedung kekaisaran, taman Ueno dan berakhir di restoran Indonesia, milik seorang artis Indonesia yang menikah dengan pebisnis Amerika.
“Haik, sudah siap berangkat sekarang, anak-anak?” tanya Nakajima.
“Sayonara, ja mata… Selamat jalan, sampai jumpa lagi,” Garsini membalas penghormatan keduanya.
Garsini menangkap mata indah Mayumi mengerling ke arahnya sambil tersenyum lucu. Mungkin Pak Nakajima tak bisa melihatnya, karena daya penglihatannya telah berkurang.
Mayumi kerap mengeluh soal tradisi yang dikatakannya hanya basa-basi tak berguna belaka. Kontras sekali, pikir Garsini, mengingat di rumahnya Mayumi begitu santun dan kasih kepada ibu serta kakak lelakinya. Begitu ada kesempatan mengekpresikannya di luar rumah, ia bagai terbang melayanglayang, merengkuh semua yang mampu diraihnya. Mayumi mengenakan topeng untuk satu alasan, hanya dirinya yang mengetahuinya.
Garsini jadi teringat akan dirinya semasa di Indonesia. Ia pun sempat mengenakan topeng kepura-puraan, tapi masih dalam bingkai positif. Akhirnya Garsini melepas kepergian dua sosok dari lain generasi itu, sambil tetap merasa ada sesuatu yang tak beres. Entahlah, untuk mengenyahkan dari kalbunya pun serasa tak mungkin. Sebab ia sendiri tak bisa merinci apa ketakberesan itu. Maka, diam-diam dengan ikhlas ia mengucap doa selamat untuk Pak Nakajima.
***
Di Jepang ada sekitar hampir lima ribu museum, menurut data statistik terakhir yang diketahui Garsini. Bangsa ini agaknya sangat apik dan telaten dalam menata dan merekam alur peradabannya. Semangat masyarakat Jepang untuk merawat secuil rekaman peradaban sangat tinggi. Makanya, tak heran bila setiap aspek kehidupan di negeri Ninja, istilah sepupunya, ada museumnya.
Garsini jadi teringat akan penatalaksanaan rekaman peradaban di tanah airnya. Sangat payah, hingga banyak mata rantai sejarah yang terputus. Contoh terakhir yang paling diingat dan amat disesalkannya, terutama ketika sering diskusi sejarah dengan kakeknya dulu; naskah asli Supersemar.
Entah di mana naskah aslinya itu, tak ketahuan rimbanya. Jangankan untuk generasi mendatang, baru sampai generasi para pelaku sejarahnya pun sudah raib.
Kemarin siang ia bersama Peter menyelusuri gedung Tokyo Metropolitan Police Departemen, di 5-1, Koyabashi 2-chome, Chuoku, berseberangan dengan gerbang selatan kekaisaran. Kini untuk beberapa waktu ia khusus memusatkan perhatiannya berkeliling MeSci. Beberapa lama Pak Tom Noda, bawahan Pak Nakajima dengan senang hati mendampinginya. Ia bicara terus-menerus dalam bahasa Jepang, menerangkan ini-itu, tak peduli pendengarnya bisa memahaminya atau tidak.
“Sekarang lebih baik kubiarkan kamu mengamatinya sendirian. Kamu terlalu cerdas untukku,” katanya sebelum meninggalkan Garsini leluasa berkeliling, mengamati segala sesuatunya dengan seksama. Mereguk tak habishabisnya segala pengetahuan di sekitarnya dan menyerapnya sepuasnya.
“Haah!” ejek seorang rekan Tom Noda yang menyongsongnya di ujung koridor. “Kewalahan juga kau dengan rasa penasaran gadis aneh itu, ya? Apa dia menggigitmu, Noda-san?” sambungnya sambil mengekeh.
“Jangan melecehkan, ya! Dia sama sekali tak aneh. Menurut Nakajimasan tadi saat diperkenalkannya kepadaku, begitulah pakaian wanita Islam. Sudah, jangan ganggu anak jenius kita itu!” tegurnya dalam nada keras.
“Anak jenius apa jenius…” kakek itu masih juga terkekeh-kekeh.
Garsini tersenyum kecil menguping percakapan kakek-kakek itu. Ia merasa sangat beruntung mendapat kesempatan menjadi relawan di museum ini. Merangkap, seharusnya banyak tugas, nyatanya masih santai-santai saja. Bahkan ia bisa menambah wawasannya di tengah peradaban teknologi Jepang dari masa ke masa ini. Ditambah uang saku pula, alhamdulillah…
Ia menyentuh saku gamisnya, amplop pemberian Nakajima-san cukup tebal. Selain berisi daftar tugas ada juga sejumlah uang. Begitu murah hati Pak Nakajima, pikirnya. Bila ditambahkan dengan sisa uang saku bulan ini, ia bisa bepergian ke beberapa lokasi wisata di luar Tokyo.
Tapi tidak akan, gumamnya, setidaknya sampai Pak Nakajima kembali. Lagi pula Garsini tak termasuk orang yang suka bepergian. Ia orang rumah, tukang cuci, masak, bersih-bersih, jaga adik-adik dan hanya pergi ke sekolah. Selama di Negeri Sakura pun ia lebih banyak hilir-mudik “asrama, daigaku dan perpustakaan”.
Ada saat-saat menjadi “liar” di luar, tinggal di rumah singgah, gaul dengan Asep, Bang Tompel, Pok Rinah. Al-Munawaroh, hasil baksos binaan Selly dan kawan-kawan, mengamen di KRL, itulah saat-saat tak terlupakan yang mewarnai masa remajanya.
Semuanya masih nyata tercetak di memori otaknya. Adakalanya muncul sebagai mimpi indah, ketika dirinya sangat lelah dari serbuan aktivitas perkuliahan. Ia menikmatinya beberapa jenak sebagai penghiburan agar tidak terjebak hilang asa.
Namun, kemudian ia tahu itu lebih baik tersimpan apik di sudut kalbunya, sebagai bagian sejarah kehidupannya. Akhirnya ia pun menyadarinya, itu takkan pernah kembali seperti hari-harinya yang tertinggal jauh di belakang.
“Cepat, sekarang sudah banyak pengunjungnya!” seru Pak Tom Noda membuyarkan seluruh angan Garsini.
“Nah, buktikan kemampuanmu, gakusei-san!” kakek yang satu itu, entah siapa namanya, menyindirnya tajam. Tapi gadis berjilbab biru laut itu sama sekali tak memperlihatkan dirinya tersinggung. Garsini cepat mengingatkan dirinya agar meluangkan waktu khusus, untuk melakukan pendekatan dengan Tuan Nyinyir.
Ia merasa kakek itu hanya caper, karena belum sempat ditegur sapa secara pribadi oleh dirinya.
“Baik,” sahut Garsini membungkuk sopan dan bergegas ke depan, menyambut rombongan demi rombongan yang mengalir bak air bah. Agaknya mereka lebih suka datang setelah makan siang. Mungkin juga setelah berkeliling museum lain di sekitar Tokyo, menjadikan MeSci sebagai persinggahan terakhir wisata museum mereka. Karena letaknya lumayan terpencil di pulau kecil Teluk Tokyo, Odaiba.
Dari asramanya ia harus menempuh perjalanan selama beberapa jam dengan kereta api. Tapi pagi sekali, Peter sudah menyambanginya ke asrama yang lengang ditinggal hampir semua penghuni. Akhirnya ia ditraktir taksi oleh Peter yang urung melancong bersamanya. Disambung dengan boat yang memang sudah tersedia untuk para pengunjung MeSci.
***
Awalnya Garsini hanya ingin membuktikan bahwa gadis muslimah pun mampu meraih banyak prestasi. Di lingkungannya di Indonesia, hal itu serasa merupakan sesuatu yang musykil. Sebab ada banyak contoh nyata, hanya para gadis nonmuslim yang menduduki jabatan terhormat dan prestasi menakjubkan itu. Terpampang indah pula di novel-novel karya penulis perempuan nonmuslim, Marga T dan Marianne Katopo.
Kini ia dengan lincah dan cekatan memandu para pengunjung MeSci. Ia bicara dalam bahasa Inggris yang baik, diseling bahasa Jepang yang cukup lancar dan mudah dipahami. Suaranya yang jernih dan lantang seolah menggema ke seluruh penjuru ruang demi ruang museum itu.
Para pengunjung tampak senang dan puas, tapi ada juga yang usil menggodanya. Atau terang-terangan mengaguminya, secara to the point menyatakan keheranan dengan busana Muslimah yang dikenakannya.Tapi Garsini cepat merespon dengan cerdas serta percaya diri tinggi, untuk mengalihkan perhatian para pengagumnya. Sehingga mereka menjadi jengah sendiri, kemudian menghargai kerja keras, semakin mengagumi dan menghormatinya.
“Kakak sudah lama kerja di sini, ya? Bahasa Inggris dan Jepang Kakak bagus sekali,” cetus seorang ABG putra, mengenakan kaos merek yang tak asing lagi bagi Garsini. Bahasa Inggrisnya lumayan juga. Mungkin anak orang kaya yang lagi libur, khusus untuk practising English. Garsini meliriknya sekilas, dagadu nih. Apa di Indonesia sekarang musim liburan juga, ya? Ucok bilang via email-nya, sekarang sekolahnya memakai sistem semesteran. Kalau begitu saat ini mereka sedang midtest.
“Apa pedulinya libur tak libur untuk anak orang kaya? Bahkan lulus atau tak lulus pun sekolahnya, toh perusahaan dan bisnis warisan sudah menanti,” demikian Haliza pernah melampiaskan uneg-uneg hatinya. Haliza, belum mengabarinya sejak kepergiannya tiga hari yang lalu.
“Kakak…” tegur anak ABG itu lagi, seperti memprotesnya.
“Oh, ya!” Garsini tertawa. “Hanya relawan, menggantikan seorang teman,” sahutnya riang sambil menunjukkan sudut teknologi mutakhir Jepang.
“Baiklah, Saudara-saudara… Produk-produk digital memang sangat mendominasi koleksi museum ini. Anda sekalian bisa lihat di sekitar kita ini, tampilan mesin deteksi kode genetik, robot penghibur, penginderaan jarak jauh, kendaraan imajiner. Menjadi wakil peradaban di masa depan melalui miniaturnya yang ditampilkan di museum ini…” Garsini berhenti karena ditempel terus oleh si ABG yang pakai kaos dagadu itu.
“Kakak pasti orang Indonesia, ya kan? Aslinya dari mana siiih?” tanyanya berbisik penasaran, dibarengi dua rekannya.
“Iya, kami lagi taruhan nih, Kak,” sambar rekannya.
“Pasti dari Jakarta! Soalnya kelihatan sangat modern, tapi…” cetus teman satunya pula, malu-malu dalam bahasa Inggris parah yang pernah Garsini dengar. Matanya seolah-olah ingin melanjutkan, “Kenapa sih mesti pake baju dan jilbab kayak gitu? Noraaak!”
“Gamping Kidul,” Garsini menahan geli kala melihat mata ketiganya membelalak tak percaya. Pasti itu desa orang tuamu, ya Dik? Ia jadi ingat seorang teman sastrawan ibunya, Joni Ariadinata.
Belum lama Mama menceritakan melalui email, katanya tampil bareng Joni Ariadinata, Putu Wijaya dan Sutarji Calzoum Bachri di sebuah SMU berasrama. Agaknya kini Mama sudah diizinkan beraktivitas penuh sebagai penulis oleh Papa. Alhamdulillah…
***
“Apa katamu tadi, hemm?” Peter, entah dari mana kok sudah muncul di belakangnya.”Rasanya berbau Yogyakarta tuh…” Ketiga anak baru gede itu seketika menyingkir, jeri juga rupanya melihat Peter yang tegap dan kekar bak bodyguard. Kini menjejeri Garsini dengan gagahnya bak Gatotkaca tanding laga.
“Bukan apa-apa,” Garsini kembali memusatkan pikiran untuk kepuasan para pengunjung. Bagaimana dia bisa sampai di sini, ya, pikirnya keheranan.
“Museum ini dirintis oleh astronout kebangsaan Jepang, Mamoru Mohri. Kami senantiasa terbuka untuk memamerkan inovasi-inovasi mutakhir dari masyarakat Jepang…”
“Kalau dari negara kami, boleh juga kan?” ada yang nyeletuk lantang. Seorang gadis muda kulit putih berambut pirang, bermata hijau bak mata si Empus. Itu tuh kucing Butet, adik bungsu Garsini di Depok.
“Tentu saja boleh, hanya masalahnya…” Garsini mengambangkan suaranya yang lembut, tapi jelas sekali terdengar oleh semua anggota rombongan itu. Mereka mendadak berhenti memperhatikannya.
“What’s wrong, what’s problem?!” cecar Nona Mata Hijau penasaran, sikapnya sinis bahkan cenderung melecehkan.
Kebanyakan orang Barat cenderung mudah curiga terhadap warga Muslim, di mana pun berada. Syukurlah, di Jepang ia tak merasakan kesulitan kaitan dengan status dan busananya. Karena kami juga tak begitu suka Amerika, mereka yang mempelopori membom kami dulu, kata Mayumi.
“Urang Amerika sigana mah, sombong kitu, euy!”17 gerutu Peter perlahan.
“What do you say?” sergah gadis bule itu memelototi Peter. “Dasar kampungan! Kamu tak bisa bicara bahasa orang-orang beradab, heh…?!”
Peter naik pitam dengan wajah merah padam, langsung membalasnya memaki dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol bahkan Sunda, tapi sama sekali tak mencomot istilah bahasa Inggris sepatah kata pun. Beberapa detik suasananya terasa mendadak tegang dan gerah. Kedua anak muda itu tahu-tahu sudah berhadapan secara frontal. Garsini cepat menyelinap di antara sepupunya dengan bule yang semakin sarat amarah.
Kelihatannya orang-orang sudah bisa merasakan, si pirang telah dipermalukan secara telak oleh pemuda berwajah Japanesse tapi mahir berbahasa dunia itu. Buktinya gadis bule terlongong kaget dengan mulut menganga lebar. Tak sanggup membalas makian Peter, apalagi dalam bahasa dunia yang ditawarkannya.
“Makanya jadi orang jangan arogan begitu. Kalau begini jadi terbalik, siapa yang kampungan dan tak beradab itu, bukan?” ejek seorang lelaki paro baya dalam bahasa Inggris yang betul-betul bagus, menyemprot si pirang.
“Iya, mentang-mentang dari negeri adidaya…”
“Hmm, sok menjadi hakim dunia saja!”
“Dikiranya cuma dia sendiri yang pintar!”
“Peace, peace, please, yeah?” seru Garsini menghimbau semua orang.
“Yeaaah! Peace! Peace…!” sambut orang-orang sambil tertawa dan kembali menikmati suasana sekitarnya. Kemudian mereka kembali bergerak mengamati ruangan demi ruangan, sudut demi sudut yang memang banyak barang teknologi inovasinya.
Diam-diam si pirang masih geram sendiri. Tak jelas lagi kepada siapa amuknya ingin diarahkan, pemuda yang merepet bicara dalam mega bahasa dunia? Atau gadis belia nan jelita berbusana Muslimah yang selalu tampak sabar, sarat percaya diri dan sangat cerdas menjawab setiap pertanyaan itu?
17 “Orang Amerika kayaknya sih, sombong banget, oi!”
Mungkin dia marah kepada dirinya sendiri. Sebagai gadis Amerika yang bersikeras melancong ke Asia, meskipun sudah diwanti-wanti keluarga dan teman-temannya, agar dia mengurungkan niatnya melancong tahun ini. Asia, ada banyak teroris!
“Apa masalahnya?” cecar si pirang masih merasa penasaran, mengejar Garsini.
“Masalahnya sepele saja,” sahut Garsini kalem. “Apa Anda sekarang membawa contoh teknologi inovatif untuk dipajang di sini?”
Gerrr, seketika rombongan kembali tertawa riang. Mungkin amat simpati melihat usaha keras Garsini dalam mencairkan ketegangan, yang memang semakin terasa memanas.
Si pirang akhirnya bungkam seribu basa dan diam-diam menyisihkan diri dari rombongan. Sampai selesai memandu, Garsini tak pernah melihat sosok pirang itu kembali.
***
“You look so… great!” lelaki paro baya kulit putih itu mengangguk hormat kepada Garsini saat akan berpisah. “Kalau di negeriku kamu sudah pasti akan mendapatkan banyak fasilitas pendidikan, Miss…” Garsini hanya tersenyum samar, tak terjebak untuk meladeni tawaran kencan siapapun. Bahkan tawaran untuk mengetahui namanya.
“Dia Miss Indonesia!” seru Peter terdengar nyungkun dari kejauhan. Lelaki itu tak mempedulikannya, tetap tersenyum hangat kepada Garsini.
“Terima kasih banyak, ya, sampai jumpa di negeri kami,” pria sebaya ayahnya itu segera bersikap bijak, kebapakan. Ia memaksa agar Garsini menerima tips dan kartunamanya.
“Insya Allah, terima kasih… tapi maaf, ini bukan hak saya,” balas Garsini cepat dikembalikannya tipsnya dengan santun. Sehingga orang itu tak tersinggung, malah tertawa simpati.
“Kamu memang mengagumkan,” pujinya tulus memberi penghormatan terakhir sebelum berlalu. Ia berhasil menyelipkan kartunamanya ke tangan Garsini dengan sangat santun.
“Kalau-kalau suatu hari kamu membutuhkan bantuan negaraku, Miss Indonesse…” ujarnya dengan tatapan semakin mengagumi.
Sekilas mata Garsini membaca kartunama bagus di tangannya. Profesor Charles del Pierro, guru besar sejarah dan filsafat dari Universitas Sorbone, Perancis. Saya sedang menjadi dosen luar biasa selama satu semester di Universitas Keio, tulisnya di belakang kartunama itu.
Apa peduliku, pikir Garsini dan apa maksudnya ini? Tapi entah mengapa ia kemudian menyimpan benda itu di saku gamisnya. ***
Bab 4

“Kamu… ugh, terlalu baik hati!” gerutu Peter dengan mimik tidak senang. ”Kamu tahu, mereka orang Barat dan Amerika!”
“Apa salahnya dengan orang Barat dan Amerika?” Garsini agak tak enak mendengar sikap Peter yang terasa sinis. Ha, apa dia pikir dirinya bukan orang Eropa, ya? Padahal belasan tahun mukim di Holland bahkan kini sudah menjadi warganegara Belanda.
“Mereka sungguh arogan, memuakkan!” sungutnya geram dan ia balik menatap Garsini. “He, kenapa kamu memiliki hati bak pualam begitu, adikku?”
“Mau tahu jawabannya?” Garsini melangkah kembali ke dalam, menuju lantai dua. Jadwal tugasnya hampir usai, seharusnya Mayumi segera kembali sesuai janjinya. Tapi gadis Jepang itu seperti sudah terbiasa suka terlambat setiap kali mereka janjian.
“Apa itu?” Peter mengejarnya.
“Iman dalam Islamku menghalangi diri ini agar tidak membenci siapapun.”
“Ah!” sungutnya geleng kepala. “Nonsens, apa itu iman, apa itu agama?”
Astaghfirulahal adziiim, gumam Garsini sambil menatap wajah sepupunya dengan amat iba dan prihatin. Apa yang telah kau dapatkan selama hidup di Eropa, Broer? Apa kabar Tante Arnie?
Seketika Garsini merasa Peter bukan sekadar berlibur datang ke Negeri Sakura ini. Ada sesuatu yang ingin dicari oleh anak muda itu. Entah apa!
Bayangan Mayumi berkelebat dari lantai bawah, langsung menghampiri Garsini dan meminta maaf. “Sumimasen, ada sedikit masalah. Nakajima-san urung naik pesawat, tak kebagian tiket…” lapornya tersengal-sengal.
“Jadi?” Garsini menatapnya khawatir. Terbayang wajah Nakajima-san yang begitu merindukan keluarganya.
“Terpaksa pakai kereta di Tokyo Eki… Nah, baiklah kau bisa istirahat sekarang,” sahut Mayumi dengan wajah merah bak buah tomat. Garsini belum sempat memperkenalkan sepupunya kepada gadis itu. Sebab Mayumi keburu tertegun dengan mata terbelalak, surprise.
“Kamu… Kenapa sendirian di sini?” desisnya memandangi wajah Peter lekat-lekat. “Pantas mereka histeris begitu…” Garsini mengerutkan kening tak paham maksud sahabatnya. Tiba-tiba sayup kupingnya mendengar keributan dari bawah. Mereka tengah berada di lantai dua terhalangi oleh kaca pembatas balkon. Rombongan turis sudah bubar di luar, diantarkan oleh beberapa staf museum mengucapkan rasa terima kasih dan salam perpisahan.
Garsini penasaran dan melongok ke balkon melalui kaca jendela. Dibarengi oleh Peter yang mendadak seperti gelisah, tak paham dan bingung.
“Ada apa sih di bawah sana?” gumamnya bingung. Ia merandek urung mengamati suasana di bawah, tertarik untuk memperhatikan sepupunya. “Kamu ini kenapa mendadak aneh begitu?”
“Ugh, anak-anak Nippon itu sudah sinting!” Peter tiba-tiba bagai baru teringat kembali, setengah berseru dan mengeluh menepuk jidatnya.
“Psst… kalo ngomong hati-hati dong! Ini kita lagi di Jepang, Broer!” tegur Garsini mengingatkan. Peter tampak masih menahan kesal, bersembunyi di belakang punggung sepupunya. Ia tak mempedulikan tatapan takjub dari Mayumi. Garsini balik heran dengan gerak-gerik Mayumi yang juga aneh, terusmenerus memandang kagum ke arah sepupunya.
“Hei, ada apa denganmu, Mayumi-san?” sergahnya.
“Sejak kapan kamu kenal selebritis?” balik Mayumi bertanya.
Garsini geleng kepala kian penasaran, matanya kini dilayangkan keluar jendela balkon. Ups, apa yang terjadi di bawah sana? Dari mana datangnya rombongan kawula muda itu? Para remaja dan pelajar telah berkerumun dan menjerit-jerit histeris. Mereka mengacung-acungkan pamflet, spanduk sambil terus meneriakkan yel-yel.
“Kami mau Takeshiii! Mau Takeshiii!”
“Takeshiiii, come oooon, joint us!”
“Jangan biarkan mereka menggantungku, Garsini, please…” Suara Peter setengah memohon. Kepala Garsini mulai pening. Dipandanginya Mayumi yang masih mengamati sepupunya dengan begitu cermat. Hingga tiba-tiba bibirnya menyunggingkan senyum simpul.
“Siapa kamu?” tudingnya tiba-tiba kepada Peter mendadak berubah ketus dan galak. ”Kamu penyusup, ya? Kamu peniru bintang idola kami, Takeshi Kaneshiro…!” cerocosnya pula dalam bahasa leluhurnya yang kental.
“Nei, nei! He, ngomong apa cewek ini, Garsini? Kenapa dia begitu aneh kelakuannya? Bantu aku, Garsini!” seru Peter dengan wajah merah padam.
“Sebentar, sebentar… kamu sudah salah paham, Mayumi-san!”
“Bagaimana sudah salah paham? Aku tahu persis lelaki macam begini. Bergaya bintang film untuk menipu gadis-gadis lugu, para mahasiswi asing seperti kamu!” cerocos Mayumi semakin sengit.
Peter membelalak, ia mulai memahami duduk persoalannya berkat tudingan Mayumi dalam bahasa Inggris. Cepat-cepat dijelaskannya kepada Garsini, mulai dari pengalamannya sebelum sampai di tempat itu. Ia terpisah dari rombongan turis Belanda yang diikutinya.
Ketika celingukan itulah, mendadak ada serombongan remaja yang mengejar-ngejarnya sambil meneriakkan yel-yel. Rombongan itu kian bertambah dari saat ke saat hingga ia nyasar ke museum MeSci. Beberapa saat Garsini terpingkal geli, membayangkan Peter dikejar-kejar dan merasa dirinya seperti maling di negeri asing. Tentara Kerajaan Belanda berpangkat Sersan, aha!
“Bukannya menolongku malah menertawakan… Ugh, nggak ada yang lucu, tahu!” gerutu Peter sambil menggaruk-garuk kepalanya yang cepak. Peter baru saja melepas topinya, hingga Mayumi kini semakin jelas bahwa dia bukan orang yang dimaksud.
***
“Sorry, I’m verry verry sorry…” ucap Mayumi sambil membungkukkan badan berkali-kali.
“Euleuh-euleuh, boro-boro hayang seuri siah!”18 sungut Peter lucu membuat Garsini kembali terpingkal geli. Sekaligus senang, ternyata Tante Arnie
18 “Aduh-aduh, boro-boro kepingin ketawa lo!”
tak lupa mengajari putranya bahasa karuhun19 mereka. Ah, tapi kenapa Tante Arnie lupa mengajarinya agama?
Keributan di luar akhirnya bisa diselesaikan dengan baik. Para staf menjelaskan kepada kawula muda itu, bahwa yang mereka lihat bukan orang yang dimaksud. Dalam hitungan menit kerumunan di bawah pun bubar bertemperasan.
Apalagi ketika terdengar suara sirine mobil kepolisian yang sempat dipanggil pihak keamanan museum. Dalam sekejap sudah tak tampak lagi orang berkerumun di areal yang sama. Di Jepang orang masih sangat menghargai arti keamanan, ketertiban dan disiplin untuk mematuhi peraturan, undang-undang. Satu pelajaran berharga yang bisa segera dipetik Garsini begitu sampai di Negeri Sakura ini.
“Huuu… memangnya siapa sih si Takeshi itu?” berungut Peter.
“Bintang film Jepang yang lagi diidolakan para remaja,” jelas Mayumi.
“Kok kamu nggak tahu itu, Garsini?” tanya Peter menatap sepupunya keheranan.
“Karena aku bukan anak gaul,” sahut gadis itu singkat. Hari itu mereka kembali ke Tokyo bertiga. Mayumi memaksa untuk mentraktir makan malam sebagai ucapan rasa terima kasih dan penyesalannya.
“Kamu bisa menginap di rumah kami selama liburan, Garsini,” kata Mayumi. “Aku sudah bicarakan ini dengan ibuku dan dia setuju.” “Bagus!” sambut Peter senang. “Di asrama kamu cuma sendirian, nanti ada orang jahat menyerobot, lho!” ***
“Kalau begini, aku betul-betul akan pensiun dua kali,” keluh Matsua-san, kakek ceriwis itu, sementara rekan-rekannya tak henti melontarkan pengaguman dan pujian kepada Garsini.
Mereka sedang istirahat setelah menyelesaikan tugas hari itu. berkemaskemas untuk pulang. Ini hari kelima Garsini bekerja sebagai relawan
19 leluhur
menggantikan Nakajima-san. Ternyata Mayumi hanya pada hari pertama saja bisa menemaninya. Selebihnya Garsini berjalan sendiri menunaikan tugastugasnya di museum ini.
“Saya akan kembali hari Senin. Setidaknya sampai Nakajima-san pulang dari Saporo,” ujar Garsini kepada mereka sebelum berpisah. Tinggal dua orang stafnya, Tom Noda-san dan Matsua-san. Lainnya sudah bubar sejak beberapa menit berselang. Kedua kakek ini tinggal di kawasan museum sedang lainnya harus menyeberang dengan boat ke kota.
“Dia tidak akan pulang besok. Kudengar ada taifun di Selatan,” kata Tom Noda sambil berjalan ke luar. “Apa kamu tidak baca koran hari ini, Garsini-san?”
“Hah! Mana sempat dia baca koran? Kerjanya cuma mengotak-atik teknologi inovasi di ruang milik Nakajima-san itu. Jangan-jangan sebentar lagi si Robocop bakal lenyap dari MeSci,” celetuk Matsua-san, seperti biasanya nyinyir dan sinis.
Tubuh kecil Matsua berusaha mengimbangi kesigapan jalan rekannya. Garsini membiarkan kedua sepuh itu berjalan di depannya. Si Lidah tak bertulang yang tak punya kerja lain kecuali menikam anak-anak muda, kata Mayumi bila sudah jengkel sekali dengan perkataan tajamnya.
Tom Noda-san memelototinya.”Jangan begitu!” tegurnya dan tersenyum minta maaf kepada Garsini.”Sudah, biarkan saja, jangan dengarkan dia ya, Nak…”
Garsini tersenyum lembut dan ikhlas.”Tidak apa-apa,” katanya kalem.”Pak Matsua sungguh benar. Saya sangat tertarik dengan penemuan-penemuan baru di ruangan itu. Terutama Robocop-nya, kalau tak ingat itu kesayangan Pak Matsua, tentu sudah lama saya gondol ke negeri saya…”
“Di mana negerimu yang aneh itu?” Matsua-san kali ini tertarik.
“Indonesia, termasuk wilayah Asia Tenggara. Kalian pernah menjajah kami selama tiga setengah tahun, ingat?”
“Oooh…!” Ada yang terbanting dari atas kepala bulat yang sering terangkat angkuh itu. Garsini sudah tahu sedikit ikhwal Matsua dari Tom Noda. Matsua mantan veteran perang yang telah banyak kehilangan. Keluarganya tak tersisa lagi satu pun, akibat keganasan bom yang dijatuhkan Sekutu di kampungnya Hiroshima. Padahal ketika itu Matsua sedang berjuang keras mempertahankan jajahannya di negeri seberang. Ironis memang!
“Sumimasen… aku tidak tahu kau gadis Indonesia,” suaranya sesaat terdengar rapuh dan sarat permintaan maaf, kenangan dan kepedihan.
Detik itulah ada ikatan yang menghubungkan mereka, Garsini dengan Matsua-san. Awal persahabatan yang terjalin dengan cara unik. Sebab mengaitkan sejarah kelam kedua bangsa; bekas penjajah dan bekas jajahannya.
Di atas semua kepedihan dan sejarah kelam itu, di kemudian hari ternyata masih ada yang tersisa dan tumbuh dengan baiknya, persahabatan nan indah. ***
“Aku harus cari tambahan uang saku untuk bantu keluarga,” kata Mayumi.
“Aku kan tak bisa mendapatkan beasiswa seperti dirimu…” “Jadi kamu sekarang bekerja, ya?” “Begitulah.” “Di mana?” “Blue Diamond.” “Di mana, dan tempat apa itu?” cecarnya ingin tahu. “Klab malam para eksekutif di kawasan Ginza.” “Apaa?!” Garsini kaget. “Jangan bilang ini kepada ibuku, please…” pintanya memohon. “Tapi kenapa mesti kerja di tempat seperti itu, Mayumi?” gugat Garsini. “Kamu takkan mengerti kesulitanku, sudahlah, kumohon jangan bicarakan
ini lagi, please, please…” Kerap ada nada getir di sana. Garsini bahkan sempat menangkap rasa iri gadis itu akan keberuntungannya sebagai mahasiswa asing, yang datang atas beasiswa pemerintah Jepang. Bukan salahmu, hiburnya sendiri, kalau mampu tentu Mayumi juga bisa mendapatkan beasiswa itu.
“Tidak bisa. Sebenarnya aku enggan melanjutkan kuliah. Tapi demi ibuku yang mengharapkanku jadi sarjana, yah, kujalani juga dengan susah payah.” “Kurasa kamu terlalu rendah hati…”
Mayumi dengan murung menggeleng. “Aku tidak sepandai kamu, Garsinisan. Makanya jurusan yang kuambil pun hanya sastra, itu tak dihargai mereka. Ya, seandainya saja aku memiliki otak sejenius kamu…”
Kalau sudah sampai di situ percakapan mereka, terasa ada jurang yang dalam di tengah keduanya. Untuk beberapa saat kebekuan menyelip dan itu sungguh tak mengenakkan. Akira, kakak semata wayangnya pulang kemarin. Mahasiswa ekonomi sebuah universitas swasta itu menyambut keberadaan Garsini dengan mulut tajam.
“Buat apa kau bawa gadis asing, perampok hak kita ke rumah ini, Mayumi?” sergahnya begitu mengetahui status Garsini di daigaku Tokyo.
Garsini sampai gemetar mendengar keketusannya, terutama sorot matanya yang bak mata elang itu. Seolah-olah sarat nafsu dan hasrat, mengancamnya, siap menerkamnya kapan saja.
“Tidak, kakakku bukan orang seperti itu. Dia hanya lagi kumat iridengkinya saja, tenanglah. Kau tetap tidur bersamaku, Garsini,” hibur Mayumi.
Namun, sejak kedatangan Akira ke rumah keluarga kecil itu, Garsini merasa tidak nyaman. Ia mulai mencari akal agar bisa keluar dari rumah sahabatnya dengan baik-baik, tanpa menyinggung nyonya rumah.
Sebaliknya Mayuko-san, perempuan sebaya ibu Garsini, menerima kehadirannya dengan senang hati. Ia bahkan lebih menganggap Garsini sebagai teman curah hati daripada sekadar tamu putrinya. Mengingat perilaku Garsini yang bijak dan tegar, serta mau bersabar menjadi pendengar yang baik. Mayumi memang selalu santun dan menghormatinya. Namun, belakangan ia semakin sulit diajak berbicara.
“Mayumi, entah apa yang dikerjakannya di luar sana. Selalu repot saja rasanya,” keluh Mayuko pagi itu ketika sarapan. Mayumi telah berlalu dan tak mempedulikan gerutuan ibunya lagi.
“Mungkin ada tugas penting, Okusan,” penghiburan yang disampaikan dengan lembut dan tulus itu membuatnya tersenyum kembali. Aduh, betapa tak enak mendustai seorang ibu yang amat mempercayai kedua anaknya secara meyakinkan ini.
“Sarapan apa kali ini, Okusan?” Akira baru muncul dari kamar, belum cuci muka dan gosok gigi langsung bergabung untuk sarapan. Hingga Garsini bisa membaui hawa tak sedap meruap dari tubuhnya yang tinggi kurus.
Sebelum dijawab Akira mengamati hidangan di depannya. “Huuu, selalu ini ke ini saja. Apa tidak ada makanan lainnya?” tanyanya ketus tanpa sopan santun sama sekali.
“Tenang, ada sesuatu yang spesial kusiapkan untukmu, Nak…” Okusan tergopoh-gopoh mengambil makanan lain untuk putranya tercinta. Putra yang selalu dibangga-banggakannya kepada siapapun, termasuk kepada Garsini bila mereka berbincang. Hingga kerap Garsini merasa tak enak hati, di mana nama putrinya tersimpan di hati Mayuko?
Pilih kasih yang selalu mengingatkan Garsini akan traumatisnya sendiri di masa kecil hidupnya. Bahkan hingga saat-saat terakhir keberangkatannya ke Jepang. Masih ada gamang di hatinya, sungguh telah tuluskah Papa mengasihi diriku?
“Kapan kamu pergi dari rumah kami, hemm?” tanya pemuda itu tiba-tiba.
Garsini tersedak dengan wajah pucat pasi. “Sumimasen… Apa Kakak mengusirku?” tanyanya sesaat secara kilat mereguk minumannya, reflek pula menyingkirkan mangkok makanannya.
“Oh, jangan bicara begitu, Anakku,” Okusan kembali bergabung dan meletakkan sepinggan makanan kesukaan putranya. “Kami senang Garsini-san tinggal di rumah ini…” Naaah kan, di mana penganan itu disembunyikan saat Mayumi hendak makan tadi? Pantaslah Mayumi kian suka bepergian, secepatnya meninggalkan rumah sejak kedatangan kakaknya.
“Apa Okusan sudah bosan dengan kami berdua?” tukas Akira ketus sekali dan terasa sangat menusuk hati. “Mentang-mentang dari universitas terkenal tuh, maunya jadi anak Okusan juga,” ejeknya diarahkan kepada Garsini.
“Akira,” tegur Mayuko lembut sambil tersenyum minta pengertian Garsini.”Jangan bicara begitu di depan tamu kita, Anakku…”
“Sudah, jangan ganggu, aku mau makan sendirian di sini!” usir Akira tanpa perasaan.
Okusan sesaat merasa bingung, malu dan iba kepada Garsini. Tapi ia sungguh tak berdaya, bahkan sekadar membela gadis itu. Garsini yang paham suasananya, cepat menyingkir tanpa bicara sepatah kata pun.
“Maafkan dia, ya Nak, sejak datang uring-uringan terus. Mungkin karena kami belum bisa membekalinya sejumlah uang yang diminta,” kata Okusan ketika mengantar Garsini berangkat. Garsini mengangguk maklum, kemudian disentuhnya pergelangan tangan Okusan.
”Nanti malam saya ada acara dengan sepupu. Jadi kemungkinan tak pulang ke sini, Okusan, boleh ya?” katanya santun. Ia menyelipkan sejumlah uang ke tangan wanita itu. Okusan kali ini tidak menolaknya, tak seperti saat pertama kali Garsini melakukan serupa.
“Baiklah, ini untuk belanja besok,” ujarnya malu-malu dan cepat menyembunyikan uang itu ke saku gaun rumahnya. Diantarnya Garsini sampai teras.
“Nah, ini Tokyo, Nak, selalu waspada, ya?” kata perempuan yang pernah bekerja menjadi geisha di masa mudanya itu. Kini ia buruh sebuah pabrik elektronik di luar kota.
Detik ini betapa ingin Garsini memeluknya erat. Wajah Okusan yang bingung, tak berdaya dan tampak ringkih itu, aduuuh, sungguh! Mengingatkan Garsini kepada Mamanya sendiri. Di mana sesungguhnya pria yang seharusnya bertanggung jawab akan segala kesulitan keluarga itu?
“Dia seorang pejabat tinggi, tapi Okusan tak pernah mau bilang di mana keberadaannya kini. Aku hanya mengenalnya dari potretnya. Dia lelaki tak bertanggung jawab, hanya menginginkan Okusan ketika masih cantik dan segar,” gerutu Mayumi suatu kali.
“Kalian tak pernah bertemu?”
“Aku masih bayi ketika dia pergi. Kak Akira lumayan sudah tujuh tahun, jadi masih ingat wajahnya… Bahkan suatu saat dia bertekad untuk menyambanginya ke istananya!” Lelaki itu sudah memiliki istri dan anak ketika bertemu dengan Mayuko. Kisah selingkuhan begini selalu mendatangkan banyak kerugian di berbagai pihak. Terutama anak-anak dan… argh!
Tiba-tiba Garsini teringat kembali affair ayahnya dengan Sintia. Tubuhnya seketika terasa dingin. Bagaimana seandainya hubungan itu berbuah dan Sintia mesti menanggung aib itu, seorang diri? Pikiran itu membuatnya gelisah dan ia cepat menghentikan sebuah taksi yang melintas di depannya.
“Sendai made itte kudasai…”20 katanya sambil menghenyakkan tubuhnya yang letih di jok belakang. ***
20 “Tolong antar saya ke Sendai…”
Bab 5

Malam mengapung di musim semi Negeri Sakura, terasa senyap. Taksi berhenti di depan asrama putri daigaku Tokyo. Sopirnya seorang lelaki tua dan mengerling khawatir ke arah Garsini. Gadis ini telah memintanya diantar ke Sendai, berhenti sebentar di suatu tempat, kembali mencarternya dan minta diantarkan ke lain arah. Suatu pemborosan sia-sia hanya dilakukan orang yang sedang bingung.
“Sungguh mau turun di sini, Nona?” tanyanya seperti meragukan permintaannya.
“Iya, di sinilah saya tinggal, Pak. Tolong, berapa harus saya bayar?” Terdorong rasa iba agaknya, sopir itu menyebutkan separuh harga dari tarif resmi. Garsini menyodorkan ongkosnya dan mengucapkan terima kasih.
“Tapi gakusei-san…!” serunya masih menanti kalau-kalau gadis berbusana aneh itu mengubah keputusan. “Apa tidak takut sendirian di situ? Bagaimana kalau ada orang jahat menyerobot ke dalam kamarmu?”
Garsini melambai mengisyaratkan agar tidak perlu mengkhawatirkannya. Ini bukan kali pertama dirinya tinggal di asrama sendirian. Meskipun rekanrekannya sudah sering kali mengingatkannya tentang kemungkinan itu. Kenekatan para kriminal yang menyasar ke kawasan asramanya.
Bukankah ada satpam, Ojira-san yang baik hati di sini?
“Tidak, sampai hari Senin Ojira-san takkan bertugas jaga malam di sini,” kata seorang rekannya, menyambut Garsini dan membukakan pintu untuknya. Beberapa detik jantung Garsini seakan berdegup kencang. Ia melihat ke sekitarnya, uuuh, begitu senyap dan lengang. Hanya dirinya dan lelaki muda itu yang tinggal di sini.
“Jangan khawatir, saya ada bersama seorang teman gantikan tugas Ojirasan,” katanya seperti bisa membaca pikirannya.
“Dan kami tahu, Nona mahir sekali taekwondo…” tiba-tiba seorang rekannya muncul, entah dari mana. Degh!
Garsini ingat kepada lelaki bertubuh kerempeng ini. Dia kan lelaki yang suatu hari pernah mencoba melecehkan Haliza dengan mencolek pipinya. Garsini yang berada di samping gadis Malaysia itu, langsung menggebraknya dengan satu jurus taekwondo andalannya. Sejak saat itu seluruh penghuni asrama mengetahui, dirinya seorang taekwondoin handal dari Indonesia.
“Sungguh, percayalah kepada kami,” kata pemuda yang pertama muncul. “Kami selalu hormat kepada gadis yang mahir ilmu beladiri. Begitu kan, Yoshirosan?”
“Yentu saja begitu, Sagura-san. Baiklah, konbanwa Miss Indonesu…” Garsini hanya tersenyum samar, membalas salam selamat malam keduanya dengan santun, meskipun dalam hati mendadak ada bimbang. Bagaimana kalau kedua lelaki ini mengcincarnya, karena merasa dipermalukan dan ingin balas dendam? Seharusnya ia lebih berbaik hati, ah, tapi… sudahlah!
Telanjur, sosok tegap bertato di lengan yang tampak kekar itu telah lenyap di kegelapan. Berdua berpelukan sambil terkekeh-kekeh, terdengar misterius di telinga Garsini. Begitu pula taksi yang mengantarnya tadi, entah sudah sampai di mana saat ini.
Garsini seketika merasa telah terjebak di dunia asing. Seorang diri, oh, tidak, pekiknya dalam hati. Allah, Allah, senantiasa ada cahaya Ilahi di mana pun dirinya berada. Demikian selalu kata Mama dan ia sangat meyakininya.
Benar saja. Satu malam pun telah berlalu dengan sempurna. Tak ada kejadian apa-apa selain sekitar dua jam ia tak bisa memejamkan mata, tapi akhirnya tertidur juga setelah melakoni shalat lail.
***
Garsini terbangun oleh dering weker yang distel tepat waktunya untuk shalat subuh. Alhamdulillah, sungguh Maha Pengasih Engkau, bisiknya kala bersujud mencium sejadahnya. Begitu banyak nikmat-Mu yang telah Engkau curahkan kepada hamba.
Air matanya berlinangan menyambut awal pagi yang baru, masih di musim semi yang memberi banyak semangat dan harapan kepada dirinya.
Nikmat-Nya mana lagi yang tak tercurahkan kepada dirinya? Bahkan baru saja Sagura-san mampir, menanyakan keadaannya dan mengantar titipan penganan dari istri Ojira-san untuknya.
Ini sungguh membuat Garsini tertegun dan semakin mensyukuri nikmat Allah. Inikah buah iman sebab shalat duha yang telah kulakoni beberapa menit lalu, Ya Robb?
Kriiing…! Garsini tergopoh-gopoh menghampiri telepon di ruang depan. Ia tidak memiliki HP sampai saat itu. Meskipun seluruh temannya hampir tak ada yang tidak memegang HP. Ia bisa saja membeli benda itu kalau mau, tapi begitu hemat dirinya. Hanya karena ingin mengirim sedikit dari sisa uang saku per bulannya untuk kedua adiknya di tanah air.
“Lagi apa kamu dan ada di mana?!” seru suara cemas di telepon.
“Baru sarapan di kamarku di asrama…” Garsini menelan sisa bubur ayam lezat bikinan istri Ojira-san di mulutnya. Ia harus mampir ke rumah keluarga yang baik hati itu nanti.
“Aduuh! Sendirian ya? Kamu ini sungguh menantang bahaya!” umpat Mayumi.
“Be calm please, aku masih segar bugar, alhamdulillah…”
“Apa itu, hei? Kamu tahu, sepanjang malam sepupumu menelepon ke sini, menanyakan dirimu. Aku tak sempat berpikir kalau kamu berani tidur di asrama malam tadi. Kupikir kamu jadi menginap di rumah, siapa itu temanmu gadis Arab?”
Ayyesha yang dimaksud Mayumi, bukan gadis Arab melainkan Muslimah Palestina. Garsini baru mengenalnya beberapa hari yang lalu. Mereka langsung menjadi akrab berkat simpul kasih Islam. Ayyesha mengajaknya bergabung dengan kelompok kajiannya, untuk lebih menguatkan lagi ukhuwah mereka.
Garsini merasa surprise dan senang sekali bisa memiliki kelompok kajian, seperti komunitas Rohisnya di F-Mipa UI dulu. Sayang sekali ia terpaksa harus menangguhkan kunjungannya, sebab belum punya waktu untuk mampir ke apartemennya.
Kemarin petang Garsini datang terlambat satu jam. Ayyesha sudah berangkat lebih dulu bersama kelompok kajiannya ke Okinawa. Mereka hendak melakukan baksos di suatu tempat di Okinawa, menyambut kedatangan rombongan para pengungsi Palestina.
“Peter, di mana dia sekarang?” Garsini baru teringat lagi akan sepupunya yang melancong bersama rombongan turis Belanda. Mereka keliling Jepang dengan kereta peluru
“Katanya terpisah dari rombongan turisnya, baik sebentar kusambungkan kalian. Sorry, ya Garsini-san, kurasa sepupumu itu aneh. Eeh, kedengarannya dia ada kesulitan dan butuh bantuanmu, hmm, sebentar…”
Garsini menanti dengan berdebar. “Moshi-moshi…”21
Peter, rasanya kamu jadi kebiasaan terpisah dari rombongan, ya? Sejurus kemudian terdengar suara Peter yang gugup, bingung dan takut. Sehingga hati Garsini tercekat dan jantungnya berdebur keras. Bagaimana kalau terjadi sesuatu atas diri sepupunya itu? Putra semata wayang Tante Arnie, menurut Mama adalah pelita hati wanita super enerjik di suatu hal, tapi rapuh di beberapa hal lainnya itu.
“Datanglah ke sini, Garsini, please…” pintanya memohon.
“Iya, tapi tenang, tolong ceritakan apa yang terjadi denganmu?”
“Aduuh, Garsini, aku merasa demam tinggi. Parah sekali, rasanya aku mau mati saja… cepatlah ke mari, Garsini, please, please… Demi Tuhanmu Yang Maha Pengasih, dan katamu selalu mencurahimu berkah dan hidayah-Nya itu!” erang Peter bergetar bak tengah terserang gigilan hebat.
“Baik, insya Allah aku akan berusaha membantumu. Kumohon kamu harus tenang, tabah, ya Broer,” bujuk Garsini jadi ikut gentar. Peter menyebutkan sebuah alamat hotel kecil di Hiroshima.
***
Setelah sepanjang siang itu bersama Mayumi berusaha keras mendapatkan kartu pas kereta peluru, Garsini hampir menyerah. Rencananya ia
21 “Hallo, hallo…”
akan menuju Hiroshima dengan kereta peluru itu agar cepat sampai. Kalau pakai pesawat uangnya tak mencukupi.
Jadi, ia menemani Mayumi untuk menemui beberapa orang penting. Mereka kenalan Okusan dulu, kata Mayumi, tapi ternyata tak ada seorang pun yang mau mempercayai ucapannya. Beberapa malah sempat melecehkan kedua gadis itu, melalui ucapan yang miris di kalbu.
“Sudah, jangan teruskan!” kesah Garsini begitu keluar dari pintu terakhir yang mereka singgahi. “Lelaki-lelaki di dalam itu… aduuuh! Beraninya kamu mengajakku ke situ, Mayumi!”
“Sumimasen… Aku juga tak mengira begitu kejadiannya. Brengsek sekali tua bangka itu, ya!” Mayumi menyatakan rasa penyesalannya yang dalam.
Mentari musim semi terasa tak hangat lagi. Gerah, menggigit ubun-ubun. Arakan kapas di langit masih berwarna putih, tapi sudah bersemu kelabu. Garsini masih melihat ekor mata sahabatnya menatap geram ke belakang.
Itukah rumah geisha, tempat dulu Mayuko-san bergelimang nista?
“Ayo, pulang saja!” Garsini menarik lengan Mayumi menuju stasiun terdekat. Ia tak ingin Mayumi larut dalam rasa malu mengingat aib masa lalu ibunya.
Mayumi seperti bisa menebak pikirannya, tertawa sarkastis kemudian berkata tajam, “Ibuku pasti senang kalau lihat kemunculan kita yang tiba-tiba macam tadi. Kenapa tidak sekalian ditawarkan saja kepada para lelaki hidung belang itu…?”
“Mayumiii! Itu sama sekali tak lucu!” sergah Garsini dengan wajah mengeras. Teringat ibu Mayumi, saat-saat begini tentu saja sedang bekerja keras di pabrik. Polusi apakah yang ada di pabrik itu, hingga Mayuko-san semakin parah batuknya?
Kedua gadis itu sudah menaiki kereta kembali ke Tokyo Eki, karena tanpa mereka sadari telah berjalan amat jauh. Sehingga baru mereka sadari lagi kala sudah berada di luar kota. Untuk beberapa lama tak ada yang bicara. Secuil pengalaman tak nyaman itu, betapapun telah membekaskan luka di hati keduanya. Luka hati mereka mengenang para wanita, kaumnya yang pernah terjebak di rumah geisha itu.
Keduanya masih terbilang remaja belia, Garsini belum delapan belas sedang Mayumi sembilanbelas. Mereka masih amatlah lugu dalam hal perikehidupan. Sekalipun Mayumi selalu gembar-gembor tentang kebebasan yang ingin diraihnya, tapi baru sebatas di mulut.
Otak Garsini mendadak dipenuhi macam-macam pikiran. Namun, seribu pikiran segera raib tersilih oleh satu titik persoalan. Kartu pas itu, keluhnya, rasanya hanya benda itu yang bisa membawanya ke sisi sepupunya. Secepatnya.
Ia baru mengetahui sekarang, betapa sulit mendapatkan kartu pas agar bisa naik kereta peluru. Ternyata kartu pas itu hanya diberikan kepada para tamu penting, turis asing dan diperoleh dari negara asal mereka.
“Kenapa kamu baru tahu sekarang?” Mayumi buka suara kembali. Garsini menangkap rasa jengkel dalam nada suara sahabatnya. Namun, ia tak melihat apa-apa selain gurat kecewa di wajah bak porselin itu.
“Yah, entahlah…” Garsini angkat bahu mulai jenuh dan lelah.
***
Suasana di kereta sedang jam-jam sibuk. Padat sekali oleh penumpang. Apa bedanya dengan saat menaiki KRL Depok-Kota, pikirnya. Rasanya sama saja kalau urusan padat pepatnya. Kalaupun ada perbedaan mencolok adalah perihal perilaku kebanyakan para penumpangnya. Di mana-mana orang Jepang memegang koran, buku, majalah, pendeknya bacaan. Itulah yang jarang dilihat Garsini di KRL Depok-Kota.
“Apa tak ada yang beri informasi kepadamu dulu?” cecar Mayumi.
Garsini menggeleng. Ia bahkan hampir tak ingat lagi hal-hal tetek bengek saat keberangkatannya. Terlalu banyak masalah melibat hari-hari terakhirnya di Indonesia. Keluarga, Sintia, Papa, Mama, Selly. Gilang… semuanya di luar kepentingan pribadinya. Dan begitulah agaknya dirinya tercipta!
“Bagaimana dengan orang Jepang sendiri untuk mendapatkannya?” tanya Garsini jadi penasaran juga dengan kartu pas itu.
“Hanya orang-orang tertentu yang memilikinya, para pejabat tinggi, eksekutif, pebisnis… Orang awam macam kami ini, yaaah!”
“Ooh…” Bibir Garsini membentuk bulatan. Mayumi mengangkat bahu. Garsini tetap tak paham dengan sistem begini. Adakah hal begini di negerinya? Selain KKN, megakorup yang telah dicapkan kepada Indonesia oleh pers dunia?
Suasana di dalam kereta baru terasakan nikmatnya ketika sudah agak lowong. Ini kereta full AC yang amat bersih dan terawat. Mirip kereta eksekutif jurusan Kota-Bogor. Garsini menghirup kenikmatan itu sepuas-puasnya, seolah ingin mengisi seluruh ruang pepat dan jenuh di paru-parunya.
Seketika ada keharuan yang menyungkupi hatinya. Ia sangat terharu bisa menikmati anugerah-Nya ini, menikmati segala macam kecanggihan dan fasilitas teknologi tinggi yang dimiliki Negeri Sakura. Hampir semuanya serba gratis… Subhanallah!
“Ada apa?” Mayumi menanyainya heran.
“Kereta kalian, maksudku yang kalian hibahkan kepada Indonesia, hampir tak pernah kunikmati,” ucap Garsini asal bicara.
“Kereta apa? Hibah apa? Aha, otakmu mulai tak beres agaknya ya?” Mayumi cekikikan.
“Psst… siapa bilang?” Garsini berlagak marah dengan membelalakkan matanya yang bagus. “Malah kamu yang tak peduli, berapa banyak jumlah kereta yang dihibahkan pemerintah Jepang kepada Indonesia. Ayoooo, kalau tahu bilang ya!”
Mayumi semakin tergelak geli. Beberapa penumpang pria menoleh ke arah keduanya. Paras Garsini memerah dadu, ia menundukkan wajahnya tersipu malu. Keberadaan mereka, perilaku mereka telah memikat perhatian beberapa orang. Dalam hati, cepat-cepat ia mengucap istigfar, mohon ampunan-Nya.
“Segala kereta kamu pedulikan… hihihi!”
“Sudahlah, aku telah menduganya. Kamu memang tak pernah peduli halhal seperti itu,” Garsini menukas sambil memperbaiki posisi duduknya, menyandar santai lalu menutup wajahnya dengan ujung jilbabnya. Sungguh lelah. Mayumi terdiam, mengira kelakuannya telah menyinggung hati sahabatnya. Maka, diam-diam ia memejamkan matanya. Kereta pun tiba di Tokyo Eki. Mereka keluar stasiun berjalan tanpa arah dan tujuan, semakin lelah dan bosan.
“Sumimasen, aku harus berangkat kerja sekarang,” Mayumi terpaksa mengucapkan salam perpisahan. “Tapi aku janji nanti akan kuusahakan lagi. Mungkin di tempat kerjaku tahu-tahu ada yang memiliki benda menggemaskan itu, ya Garsini?” Gadis Sakura itu tertawa, janjinya terdengar tulus sekali.
Garsini amat terharu mendengarnya. “Kamu sahabatku yang terbaik, Mayumi-san,” bisiknya tersekat di tenggorokan. Ia menyesali tudingannya di atas kereta kepada gadis itu.
Tentu saja Mayumi seorang gadis yang memiliki empati tinggi, kepedulian yang mengagumkan. Setidaknya terhadap keluarga dan para sahabatnya. Buktinya ia bahkan menanyakan alasan, mengapa Garsini tak bisa menaiki kereta hibahan Jepang itu.
“Kereta-kereta itu sangat bagus, jadi dinyatakan sebagai kelas eksekutif dengan harga yang tak terjangkau oleh saku kempesku,” jelas Garsini tertawa sumbang.
“Kasihan kamu,” Mayumi prihatin.”Tentu bukan itulah tujuan pemerintah kami…”
“Tentu saja,” sahut Garsini cepat-cepat. “Sudahlah, lupakan itu! Tak seharusnya hal seperti itu kupikirkan lagi. Karena selama di sini aku bisa sepuasnya naik kereta macam itu. Bahkan kalau mungkin kereta peluru!”
Kali ini Garsini sambil tertawa riang seolah ingin menghapus segala ironi perikehidupan di masyarakatnya, rakyat miskin kota yang pernah digaulinya di Jabotabek dulu. Juga rasa kangen yang seketika menerjang kisi kalbunya. Kangennya terhadap Oneng, Ucik, Asep dan para penghuni rumah singgah pinggir kereta itu melebihi rasa kangennya terhadap keluarganya.
Menurut pikirannya kala itu, mereka lebih tak mungkin untuk meraih kesempatan yang dimilikinya saat ini. Bukannya bermaksud menduakan kehendak Ilahi, tapi ia hanya melihat kenyatan di depan mata. Orang-orang yang terpinggirkan itu, Allah… lindungi mereka!
Mata Garsini seketika memanas. Detik inilah ia diingatkan kembali untuk mensyukuri nikmat-Nya. Hingga dirinya kini bisa menikmati segala fasilitas super modern, melalui anugerah Ilahi dalam bentuk beasiswa itu. Oh, Allah, ampuni khilafku, jeritnya dalam hati.
Mayumi malah mengira Garsini menangis karena kecewa atas kegagalan mereka mendapatkan kartu pas. Sehingga ia tak bisa secepatnya mendampingi sepupunya, membantunya.
“Allahmu akan selalu memberi kejutan untukmu, kan begitu Garsini-san?” hibur Mayumi sambil menyentuh ujung jilbab Garsini.
“Bagaimana?” Garsini terheran-heran menatapnya dan cepat menghapus air matanya.
“Aku hampir meyakini bahwa kamu adalah gadis suci, gadis pilihan Tuhan…”
“Pssst… Terlalu berlebihan, ah!” Wajah Garsini seketika bersemu merah.
“Jadi, kamu tidak apa!” Mayumi tertawa kembali dan tampak lega.
“Sudahlah, kukira sebaiknya Peter harus bertahan menunggu sampai hari Senin. Karena baru besok aku bisa naik bus jurusan Hiroshima… kereta api bawah tanah dan bus umum kan?” sahutnya pula pasrah.
Sementara Mayumi menuju tempat kerjanya di kawasan Ginza. Garsini pulang ke asrama sambil terus mencari akal, jalan keluar untuk memenuhi janjinya kepada Peter.
***
Garsini tak bisa melenyapkan kekhawatiran perihal Peter dari bilik kalbunya. Ke mana pun dirinya melangkah, apapun yang dikerjakannya, otaknya terus-menerus mengait kepada sepupunya itu. Ada yang sungguh membuatnya prihatin dan cemas. Getar suara sarat kesepian dan ketakutan di telepon itu, addduuuh!
Nuansa ketakutan, kesepian serupa itulah yang sering melanda rekanrekan generasinya di Jepang. Seorang rekannya pernah bercerita tentang adiknya yang melakukan harakiri, penyebabnya hanya karena merasa ketakutan dan kesepian hidup di Tokyo. Tragedi macam itu bukan hanya sekali-dua didengarnya, tetapi sering dan itu sungguh amat menakutkannya.
Tidak, saudaraku tak boleh dibiarkan sendirian bahkan untuk beberapa jam sekalipun, pekiknya dalam hati. Kamu sumber harapan hidup ibumu. Tante Arnie, apa yang sanggup dilakukannya tanpa dirimu? Bingung dara itu menghentikan semua pekerjaannya, program inovatifnya yang teranyar. Ia meninggalkan laptop pinjaman dari Haliza. Beberapa saat mondar-mandir di sekitar kamarnya yang senyap.
Ia membuka tirai jendela kamarnya di lantai dua. Matanya menyergap nuansa malam musim semi menjelang musim panas. Arakan mega putih bak hamparan kapas lembut, pucat, lugas dan sungguh polos. Ia seolah menantang untuk dilukis. Ya, dilukis, kreasi, harapan dan impian… masa depan!
Ugh, aku tak melihat apa-apa selain wajahmu, Peter, erangnya. Gadis itu meninggalkan nuansa malam di luar asrama, berbalik menuju pintu hendak mengambil tambahan aqua dari koridor. Mereka selalu menyediakan galon aqua di sudut-sudut koridor setiap lantai. Lengang dan senyap saat matanya mengapung ke sekitar koridor.
Bulu romanya mendadak meremang. Membayangkan film-film horor dalam nuansa sama. Seorang gadis sendirian disergap kriminal, diperkosa dan dibunuh… Astagfirullahal adziim!
Begitu berhasil mengisi botolnya, tergopoh-gopoh ia berbalik menuju kamarnya, cepat pula dikuncinya rapat-rapat pintunya. Di sudut kamarnya dekat kantong sampah, seketika matanya bersirobok dengan kantung plastik besar khusus untuk menampung baju-baju kotor.
Oh, ia bahkan baru teringat lagi belum sempat membawanya ke tempat cuci umum. Suatu hal yang hampir tak pernah dilakukannya, meskipun ia sedang sesibuk apapun. Kebersihan kan sebagian dari iman. Ia sudah terdisiplin memelihara kesehatan dan kebersihan sejak kecil.
Kakinya seketika tergerak iseng mengutak-atik kantung itu hingga terbuka. Matanya berhenti di ujung gamis biru muda yang pernah dikenakannya pada hari pertama kerja di museum. Ia teringat sesuatu dan membungkuk untuk merogo-rogo saku gamisnya.
“Naaah, ini mungkin bisa menolong kita, Broer!” pekiknya girang sekali. Dalam hitungan menit ia telah berada di luar asrama, menanti dengan tak sabar taksi yang dipanggilnya via telepon.
“Imperial Palace made itte kudasai,”22 katanya kepada sopir taksi. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya yang baru terasa sangat letih. Kapan terakhir kali ia bisa makan lengkap? Mungkin saat makan roti bersama Mayumi di luar kota siang itu.
Semangat yang menyala-nyala dalam dadanya seolah mengirimkan suatu kekuatan baru ke sekujur tubuhnya. Seluruh kengerian dan ketakutan yang sempat menyergap di sepanjang koridor, seolah raib entah ke mana.
“Betul gakusei-san ingin pergi ke tempat seperti itu?” Suara itu! Garsini mengenalnya dan segera mengamati sopir di depannya melalui kaca spion. Ya, ternyata sopir tua yang kemarin dicarternya sejak di perbatasan Odaiba menuju Sendai hingga ke asramanya.
“Ah, Pak Mitszui!” sapanya santun. Lelaki paro baya itu menoleh ke jok belakang, merasa senang karena Garsini masih mengenalinya bahkan ingat akan namanya. Ia menghargai kesantunan dan penghormatan generasi muda. Gadis ini jelas bukan gadis sembarangan, pikirnya sejak pertama kali melihatnya dalam busana eklusif.
“Menemui seseorang?” tanyanya menyelidik.
“Ya, Pak, seorang guru besar Perancis yang baik hati…” Semoga demikian adanya, jeritnya mendoakan dalam hati. Garsini hanya ingin menghilangkan kesan curiga yang kentara jelas di wajah Mitszui-san.
“Hati-hati, ya gakusei-san. Kalau ada apa-apa cepat panggil saya!” pesannya ketika mereka berpisah di depan Imperial Palace. ***
22 “Tolong antar ke hotel Imperial Palace.”
Bab 6

Mungkin ada banyak kriminal berkeliaran di sekitarnya, tetapi beruntunglah dirinya. Karena sampai saat itu, ternyata masih ada lebih banyak orang yang baik dan tulus di sekitar dirinya. Demikian yang terekam di kalbu Garsini begitu meninggalkan Imperial Palace. Dalam keadaan selamat tentu saja, tetap segar bugar. Tanpa tergores secuil pun. Gadis itu sungguh keluar dari sana bak porselin cantik yang masih utuh dan indah, cemerlang.
Profesor Charles del Pierro tampaknya amat terkesan dengan perilaku Garsini. Terutama atas semangat dan ketulusannya dalam membantu saudaranya yang terjebak di Hiroshima, entah dalam situasi segawat apa. Semua kejujuran itu terpancar jelas melalui sorot matanya yang bening.
“Sungguh? Orang asing itu mau membantumu begitu saja?” Mitszui-san yang tak mau beranjak di pelataran parkir, setia menanti Garsini muncul selamat dari Imperial Palace, bertanya agak sangsi.
Garsini tersenyum riang. “Bapak bisa lihat sendiri kan, saya masih Garsini, gakusei Indonesia…” ucapnya tanpa bermaksud riya.
“Haik, saya percayalah!” sambut Mitszui terbawa emosinya ikut sukacita. Secuil sangsi telah raib bersama kekalahan para iblis dari dasar neraka.
“Seorang Muslimah yang tetap terpelihara kehormatan dirinya.” Sedetik Garsini segera menyadari dirinya bisa terjerumus riya. Maka segera terucapkan istigfar dalam hatinya.
“Ya, ya… saya kira Nona memang begitulah adanya, lugu dan murni,” puji Mitszui-san terdengar tulus. Garsini merasakan wajahnya memanas. Ia seketika menundukkan kepalanya dalam-dalam, beberapa saat terdiam. Hingga sopir paro baya itu menoleh lagi ke belakang.
“Nona tidak apa-apa kan?” tanyanya agak cemas.
“Sumimasen, saya tidak apa-apa, Pak,” keluh gadis berkerudung itu bagai meralat. “Tentu saja, semua ini berkat kemurahan Allah semata yang senantiasa memelihara kesucian, kehormatan dan iman Islam saya…”
“Amiiiin!” sambut lelaki paro baya itu mengaminkan penjelasan yang dianggapnya sebagai doa panjang nan indah. Lain kali kalau ada kesempatan lebih baik dari saat ini, ia akan menanyakan apa arti “iman Islam” yang dimaksud.
Garsini merasa bahagia sekali malam itu. Ia langsung mensyukuri nikmat-Nya dengan membilang tasbih dalam hatinya. Mayumi tentu takkan percaya jika ia menceritakan pengalaman “viveri veri coloso” malam ini. Bagaimana guru besar Perancis itu bersedia membantunya, memberikan kartu pas kereta peluru miliknya kepada Garsini tanpa imbalan apapun.
“Kebetulan, saya malah bingung mau diapakan benda ini. Sekarang saya jadi senang sekali sebab mengetahui ini sangat bermanfaat buatmu… Hei, gadis Muslimah dari Indonesia, ini ambillah dan jangan pernah dikembalikan!” katanya sambil tertawa riang. Ketulusan dan keikhlasan terpancar dari suaranya.
Giliran Garsini yang merasa tahu diri. “Ngng… mungkin ada yang bisa saya kerjakan selama Anda menetap di Tokyo? Yah, umpamanya menambahkan referensi Anda, sejarah bangsa-bangsa Asia kan?”
Profesor Charles del Pierro geleng-geleng kepala, diantarnya gadis itu sampai lobi dengan gayanya yang amat kebapakan dan bijak. Tentu ia tak ingin memberi kesan negatif atas keberadaan Garsini di tempatnya saat itu.
“Baiklah, menurutmu apa yang bisa kamu lakukan, hei kandidat pakar teknik informatika?” candanya.
“Sudah saya bilang, saya seorang yang haus ilmu. Nilai sejarah saya juga selalu bagus lho, Prof…”
“Tapi saya akan keliling Jepang selama musim panas nanti. Jadwal saya sungguh padat, luar biasa… Bahkan mulai besok saya sudah tak ada di Tokyo lagi.”
“Oh, lalu kartu pas ini?” Garsini kian tak enak hati, bimbang.
“Sudah kubilang, tak ada gunanya buatku. Mereka sudah menyediakan berbagai fasilitas mewah. Itu termasuk tiket pesawat eksekutif ke mana-mana, berikut hotel bintang lima, suite-room… Sudah, untukmu sajalah, jangan pikir apa-apa lagi. Okey?”
Ini sungguh rezeki dari Allah yang dikirimkan melalui tangan sang Profesor, seru Garsini dalam hati. Memang tak perlu jadi tak enak hati lagi, patutnya disyukuri saja.
“Mungkin kamu mau menemani Charlotte… Dia itu putriku semata wayang yang akan datang akhir bulan ini. Kamu bisa mengajaknya jalan-jalan ke Ginza… atau ke mana saja kalian suka?” katanya di akhir pertemuan mereka.
“Oh, ya, tentu saja saya bersedia!” janji Garsini dengan amat lega. Sebab ia tak pernah menginginkan belas kasihan orang. Ada jasa selalu ada imbalan, begitu menurut ayahnya. Meskipun pernah ditentangnya, tapi dalam beberapa hal terkadang menegakkan harga dirinya.
Dan apapun yang pernah terjadi, kepedihan yang disebabkan oleh ketak harmonis antara dirinya dengan ayahnya, Garsini telah melupakannya. Ia selalu menghormati ayahnya sebagaimana seharusnya.
***
Pemilik hotel kecil di luar kota Hiroshima itu mengeluh tentang kelakuan Peter yang dianggapnya terlalu berisik, terlalu memancing perhatian orang-orang di sekitarnya. Sehingga ia mendapat sejumlah komplain dari para tamunya, dan itu hanya menambah rasa marahnya terhadap pemuda bernama Peter van Moorsel.
Mungkin lagi patah hati dan sebentar lagi dipastikan bakal harakiri, sungutnya pula kian sebal dan uring-uringan. Kadang ia menumpahkannya kepada istrinya yang berusaha menenangkannya. Ia telah sering menemukan hal begini dalam sepuluh tahun terakhir. Itu sungguh membuat hatinya angkara sekaligus kecewa berat.
“Apa dunia ini sudah mau kiamat? Apa mereka… teman-temanmu itu, sudah tak punya rasa hormat lagi sedikit pun untuk perjuangan para leluhur? Mereka yang telah berjuang keras membangun negeri Jepang, dari keterpurukan akibat kekalahan memalukan pada perang dunia silang, hingga seperti sekarang…”
Garsini hampir tak mendengar penjelasannya yang tampak sekali masih akan berlarat-larat, mengungkap keburukan sepupunya. Hatinya menjadi kebatkebit dan jantungnya berdebur keras.
“Tolong, tunjukkan saja kamar saudaraku itu, kumohoon…” Sepasang mata pria Jepang paro baya itu membelalak lebar seolah akan menelannya hidup-hidup. Ugh, makhluk apa gerangan si jelita bertampang pucat ini?
“Aku tidak tahu siapa dirimu,” dengusnya. “Kamu kelihatannya sangat… aneh!” diserahkannya juga kunci duplikat kamar Peter kepada gadis itu.
“Terima kasih…” Garsini menyambar kunci itu dari tangannya.
“Ya, bukalah sendiri,” katanya kemudian masih meneriaki Garsini di belakangnya.
***
Garsini terpaksa menahan rasa kesal atas sambutan sinisnya itu. Hanya satu yang segera ingi diketahuinya saat ini, bagaimana keadaan Peter? Di koridor menuju kamar Peter, ia berpapasan dengan seorang perempuan berwajah manis dan ramah menyapanya. Agaknya ia istri pemilik hotel.
“Boleh kutanya, baju apa yang kamu kenakan itu, Nona? Adakah itu tren mode mutakhir? Rasanya sangat baik, serba tertutup dan amat apik…“ ia menatap wajah Garsini lekat-lekat dalam sikap santun, keibuan.
Garsini merandek, berusaha tersenyum manis dan menjawab santun pula.”Ini busana Muslimah, Nyonya…”
“Muslimah… apa itu?”
“Oh!” bibir Garsini tulus menyungging senyum. “Pakaian untuk wanita pemeluk Islam…” Nah, bukankah ini juga secuil syiar?
“Oooh, indah sekali, sungguh saya suka melihatnya,” kata wanita itu tersenyum hormat.
“Terima kasih, Nyonya, domo arigato gozaimasu…”
“Kudengar Nona hendak ke kamar ujung itu, ya?”
“Ya, boleh kan Nyonya?”
“Hati-hatilah, semalam dia mengamuk, Nona,” katanya mengingatkan.
“Saya adiknya, percayalah, semuanya tak seburuk yang Anda kira. Saya mengenal dia dengan cukup baik kok…”
“Mau-maunya gadis itu dipanggil…” seorang tamu melongok dari sebuah kamar yang dilewati Garsini.
“Iya, bagaimana kalau dia dihabisi di dalam sana,” cetus rekannya. Garsini merandek sesaat, betapa ingin ia menepis segala prasangka dan fitnah yang mungkin telah menyebar di seluruh hotel kecil itu. Tapi hanya itu yang masih bisa terucapkan dari bibirnya. Lidahnya mulai kelu.
“Baiklah, kamu memang kulihat sangat enerjik dan eksentrik,” komentar istri pemilik hotel pula tentang jawaban Garsini, kala ia menanyakan asal kedatangannya.
***
Tokyo, tentu saja anak-anak metropolitan yang sangat ekspresif dan serba modern. Lelaki paro baya itu masih berpikir-pikir tentang Garsini dan Peter. Namun, ketika dalam bilangan tak lebih dari limabelas menit anak muda itu telah minta rekening kepadanya dengan wajah sumringah, dia merasa sangat surprise.
“Diakah kekasihmu yang sudah membuatmu nyaris harakiri, heemmm?”
Peter kontan naik pitam dan hendak meninju wajah lelaki sebaya ayahnya itu. Mujur, Garsini berhasil menyejukkan suasana tepat pada waktunya. Seperti kemunculannya yang tiba-tiba bagai kilat pada pagi buta, ia pun segera lenyap dalam tempo relatif singkat.
“Makanya, Pak, jangan gampang naik pitam dan selalu sinis terhadap generasi putra kita,” tegur istrinya. “Lihatlah, gadis itu lain sekali… Kau tahu, rombongan turis yang baru masuk ke hotel kita tadi? Mereka mengatakan satu kereta dengan gadis itu. Mereka sangat mengaguminya dan menghormatinya…”
“Kau ingin bilang, anak itu sudah membawa berkah ke sini?”
“Bahkan lebih dari itu!” sergah istrinya kesal. “Aku merasa bisa memetik pelajaran yang sangat berharga hari ini…”
“Jangan berlarat-larat, to teh point saja apa yang ingin kamu katakan?”
“Sudah saatnya kamu mengubah penilaian serba negatif terhadap generasi putramu. Buktinya gadis itu sangat mandiri, berani. Dia kan hanya anak perempuan, sementara putramu itu…”
“Alaah, aku tahu sekarang!” tukas pemilik hotel. “Ujung-ujungnya kamu mau kita segera memanggil putra kita dari Korea, bukan? Bertele-tele segala…” Perempuan itu terdiam. Ia merasa tak keliru kini, menangkap sorot rindu menyembul dari sepasang mata tua di depannya. Putra mereka semata wayang telah bertahun-tahun pergi ke Korea. Membawa serta istri dan anak-anaknya, hanya karena pernikahannya tak direstui mereka.
Di Jepang begitu banyak manusia terjebak dalam dunianya yang senyap, menakutkan, hingga mendorongnya melakukan perbuatan nekad. Penyebabnya konon karena modernisasi yang terlalu melejit nyaris tak seimbang dengan peradaban lama, yang keukeuh ingin dipertahankan oleh generasi sebelumnya.
Di antara tarik ulur itulah generasi muda Jepang terlahir, hidup dan berkembang tanpa arah yang pasti. Agama lama yang masih dipegang pun bahkan tak bisa menjawab kebingungan mereka. Contoh kecilnya adalah perseteruan yang seharusnya tak ada antara pemilik hotel kecil di Hiroshima itu dengan putranya semata wayang. Ada riak-riak rindu yang membinar di mata lelaki paro baya saat memandangi punggung Peter, yang berjalan tegak di samping gadis berbusana eklusif itu.
Hmm, mungkin juga anak-anak muda itu membawa berkah, pikirnya membenarkan penilaian istrinya. Terutama semangat dan keyakinan yang dimiliki gadis berbusana eklusif itu. Ia mendengar rombongan turis Belanda yang baru tiba di penginapannya, terus-menerus mempercakapkannya. Ketulusan, kebaikan dan keanggunan masih dipadu dengan kemandirian dan kesalehan.
Aha, siapapun gadis itu sesungguhnya, ia tak perlu membahasnya lagi. Namun, satu hal yang pasti kemunculannya telah menggetarkan simpul ikatan kasih yang sejak lama terputus. Ternyata generasi putraku tak separah seperti yang kubayangkan selama ini, katanya memutuskan. Ya, itu buktinya, pasangan anak muda itu. Demi menolong sepupunya, anak itu berani melakukan perjalanan seorang diri dari Tokyo. Di matanya yang kolot itu adalah suatu hal yang sangat luar biasa.
“Okusaaan! Berapa nomer telepon putraku itu? Biar aku telepon dia sekarang juga, supaya secepatnya bawa menantu dan cucu-cucu kita pulang ke sini…”
***
Apakah itu berkah atau kebetulan-kebetulan yang menguntungkan saja, rasanya tak usah dibahas, elak Garsini setiap Peter ingin mengetahui asal-usul kepemilikan kartu pasnya. Begitu pula perihal secara kebetulan Garsini bertemu rombongan turis Belanda, lalu bersama mereka menumpang kereta peluru sepanjang malam itu.
Padahal, sebelumnya Peter sudah lelah melacak jejak mereka. Hingga ia nekad berangkat sendiri, kemudian terdampar di Hiroshima. Di tengah perjalanan seketika ia merasa dirinya mulai sakit. Jadi, ia terpaksa menghentikan perjalanannya, turun entah di mana, naik taksi… Tahu-tahu mendapatkan dirinya di hotel kecil itu!
“Wuiih, petualangan yang mencekam tuh!” katanya mulai bisa tertawa lagi, bisa fokus dan berpikir jernih kembali. Mereka memesan roti segar dan kuekue basah khas Jepang yang lezat di sebuah kedai yang bersih. Peter menyantap penganan yang terhidang dengan sangat lahap. Seolah-olah ia tak pernah makan dalam dua hari itu.
“Itu benar, hanya air yang bisa masuk ke tenggorokanku, bergalon-galon aqua kupesan,” aku Peter.
“Karena itu pemilik hotel mengira kamu orang nyentrik,” tebak Garsini.
“Bukan cuma mengira nyentrik… Dia memergokiku lagi menceracau, jadi ditudingnya aku sinting. Malah sempat dipanggilkannya seorang dokter. Dalam demam tinggi itu, rasanya aku melempari mereka dengan galon-galon aqua yang sudah kosong…”
Kini Peter mulai bisa mengenang tiga malamnya yang terburuk itu dari sudut pandang orang sehat. Wajahnya berseri-seri sehat dan bugar. Selera makannya sungguh telah kembali. Malah membuat Garsini yang menyaksikan kelakuannya jadi khawatir sekali.
“Apa kamu nggak takut seperti kejadian di Tokyo tempo hari?” tanya Garsini mengingatkan.
“Aha… ini soal lain, Non. Orang Sunda bilang mah mamayu!”
“Mamayu itu kan kalau sakitnya lama, begitu sembuh langsung doyan makan apapun,” sahut Garsini sekenanya.
“Iiih, pokoknya mamayu we naha?” Peter keukeuh. Giliran Garsini yang tampak pucat kurang tidur. Perjalanan naik kereta peluru beserta upaya dalam mendapatkan kartu pasnya, sungguh suatu tualang melelahkan.
Jadi Garsini membiarkan Peter bicara dengan mata yang berat oleh kantuk. Kepalanya berayun-ayun, ditingkahi angin musim semi yang menerobos melalui tirai jendela kedai dari arah pegunungan. Otaknya bagai berhenti seketika, bahkan ia tak peduli akan keunikan cuaca di antara musim semi dengan musim panas yang terjadi di kawasan Jepang.
Samar-samar kupingnya masih menangkap dua orang lelaki di sebelahnya bicara perihal cuaca buruk, taifun yang melanda beberapa bagian Negeri Sakura. Sesungguhnya Garsini baru menyadari kebiasaan orang Jepang yang amat menyukai bicara perihal cuaca. Sepanjang perjalanan ia menemukan orang-orang di mana-mana bicara perihal cuaca.
Ini satu pengetahuaan baru lagi. Ia ingin mengabarkannya kepada Mayumi. Tentu Mayumi akan senang bila sahabatnya ini terus bertambah wawasannya mengenai masyarakat Jepang. Namun, apa pedulinya saat ini?
“Kau sudah dengar, transportasi ke arah selatan Hokkaido mengalami macet total…”
“Dilanda taifun dahsyat, ya?”
“Ya, mengerikan sekali!”
“Untung aku tak punya kenalan atau famili di kawasan sana.” Tapi aku punya kenalan yang sedang melakukan perjalanan ke arah Hokkaido, Saporo, Nakajima-san, bisik hati Garsini.
Namun, kepalanya sungguh bagai mengalami kemacetan total. Memori otaknya tak mampu menggerakkan isyarat untuk melakukan ini dan itu. Bahkan sekadar untuk mengatakan keadaannya itu pun kepada Peter, ia sungguh tak sanggup lagi. Akhirnya Garsini merasa tak tahan lagi, terkalahkan oleh jurig tunduh. Bruuukk…!
“Hei, ada apa Garsini? Kamu… yaah, kok malah tidur di sini sih?” Dua lelaki yang duduk di sebelah mereka tersentak dan bangkit menghampiri pasangan muda itu.
“Apa yang terjadi dengan nona ini?” tanya seorang di antara mereka.
“Apa dia sakit?” cecar rekannya mencemaskan.
“Tidak, dia hanya ketiduran saja kurasa…” Peter tertawa. Sedetik Peter masih mengira Garsini hanya ketiduran, malah mungkin hanya ingin menggodanya saja. Tapi manakala orang-orang mengerumuni mereka, bahkan ada yang mengkhawatirkan keadaan Garsini… Ia mulai panik.
“Waah, kenapa gadis ini, ya?”
“Wajahnya pucat pasi seperti mayat…”
“Jangan-jangan dia terserang penyakit… epilepsi?” Dan kebetulan yang terakhir bicara itu justru orang bule dalam bahasa internasional, hingga Peter memahaminya. Meskipun ia tak yakin bila sepupunya punya indikasi epilepsi, tapi mana tahu kan? Lagi pula ia masih trauma dengan demam malaria yang baru saja menyerbu dirinya sendiri.
“Taksi, takesu, yaap, takesu kudasaaaai, haaaiik!” seru Peter dengan panik sekali. “Help, please, heeelp…!” serunya pula kepada si bule yang pertama dilihatnya di kedai itu. Beruntunglah, kali ini Peter sukses menerangkan keinginannya melalui bahasa tarzan dan isyarat. Sehingga dalam bilangan menit sebuah taksi tiba di kedai itu.
***
Garsini telah menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan sang De Broer. Ia tak ingat segalanya sampai beberapa jam lamanya. Hanya ingatan yang timbul tenggelam, bayangan-bayangan asing yang sibuk di sekitar dirinya, wajah sepupunya yang mencemaskannya….
Seorang wanita paro baya baru selesai mengelapkan handuk kecil ke wajahnya, air hangat masih terasa membekas. Oh, siapa orang ini? Garsini berusaha bangkit, tapi sekujur tubuhnya masih letih bahkan kaku untuk digerakkan. Ia hanya memandangi wajah di depannya, manis dan lembut mengingatkannya kepada ibu Mayumi. Wanita Jepang itu menyadari keheranannya, maka ia menghampirinya lebih dekat lagi dan tersenyum ramah.
“Hai… Nona sudah betul-betul bangun ya kan?” sapanya.
“Ngng… di mana ini, siapa Ibu?” tanya Garsini. Ibu itu duduk di sebelahnya dan menyentuh tangan Garsini.
“Kamu berada di hotel terbaik di kota ini,” sahut Okusan sambil tersenyum hangat. “Seperti kata dokter Sumitsu-san di depan sana, kamu hanya kelelahan saja, tidak apa-apa…” Kuping Garsini sayup-sayup mendengar orang bercakapcakap, matanya juga menangkap bayangan-bayangan di depan pintu kamarnya. Peter bercakap-cakap dengan seorang pria kulit putih.
“Thank’s, ya Smith, kamu baik sekali mau meluangkan waktu mampir…”
“Yeah, setidaknya hanya itu yang bisa kulakukan sebelum ikut rombongan melanjutkan perjalanan. Jadi, bagaimana keadaan adikmu itu sekarang?” tanyanya seperti penasaran sekali.
“Sekarang sudah baik, di dalam lagi ditemani Okusan,” sahut Peter.
“Siapa?” orang itu terdengar tertawa.
“Istri pemilik kedai di seberang…”
“Kau sudah mirip sekali dengan orang Jepang, Peter,” sindir suara wanita.
Beberapa saat terdengar tawa riang. “Sayang sekali, kalian harus istirahat dulu di sini, ya?” entah siapa tapi itu suara seorang wanita yang berbeda.
“Yah, selamat mendaki gununglah,” kata Peter terdengar ikhlas.
“Kalau kalian ikut tentu akan lebih semarak. Adikmu itu baik sekali… eeh, kakiku yang terkilir di kereta sudah sembuh berkat dia. Sampaikan rasa terima kasihku kepadanya, ya Peter…” suara wanita yang tak asing lagi.
“Ya, ya, tentu saja akan kusampaikan…”
“Kalau begitu kami pamit saja, daaag Peter!”
“Daaag…” balas Peter mengantar dua pasang anak muda itu dari depan pintu kamar. Garsini ingat lagi, gadis Belanda itu tentu saja Beatrice. Gadis yang tiba-tiba terkilir saat dia pamer kemahirannya bersalsa, hingga rekan-rekannya mendadak heboh. Segala canda ria berhenti total, merubung-rubungi si Beatrice yang mengerang-erang kesakitan.
Garsini yang duduk di gerbong sama dan semula agak terganggu dengan keributan rombongan bule itu, seketika tergerak untuk mengulurkan bantuan. Mula-mula reaksi mereka adalah memandanginya dengan terheran-heran. Sebelumnya pun mereka sempat melecehkan caranya berpakaian, mencurigai gerak-geriknya yang dianggap aneh…
Padahal, Garsini tengah berusaha keras untuk khusuk shalat isya malam itu. Memejamkan matanya dan membilang zikir dengan jari-jemarinya. Sedang para bule itu terus-menerus berisik, tanpa peduli terhadap orang-orang di sekitar mereka. Anehnya, tak seorang pun berani komplain terhadap keributan yang ditimbulkan mereka.
“Biarkan saya membantu Nona ini, please…” kata Garsini. Ketika Garsini berhasil memberikan sebagian ilmu yang diperolehnya dari dojo, dalam hal urutmengurut, betapa terheran-herannya mereka. Dari rasa heran campur malu, akhirnya mereka sama mengakui keunikan dan kehebatan gadis berbusana eklusif itu.
Sejak itu mereka menaruh hormat dan kekaguman tersendiri kepada Garsini. Meskipun Garsini menyambutnya biasa saja, bahkan cenderung tak menggubris tingkah laku mereka selama sisa perjalanan malam itu. Sebagaimana sikapnya sebelum peristiwa itu terjadi.
Smith, pasangan Beatrice ternyata seorang dokter. Ia memberikan pertolongan yang amat diperlukan Peter, saat menghadapi sepupunya yang mendadak colaps. Kalau begitu, impaslah sudah!
***
Bab 7

“Bagaimana malariamu sekarang?” Peter tak segera menyahut, malah menatapnya lekat-lekat dengan rasa kagum dan sayang seorang saudara sedarah. Garsini masih belum paham sepenuhnya. Sekilas diliriknya wajah De Broer-nya, sama sekali tak memperlihatkan pertanda orang baru sembuh dari sakit parah. Sebaliknya penampilannya tentu amat menyedihkan. Menurut Okusan tadi, tampangnya masih pucat pasi, kisruh… Di mana jilbabnya selama ini disampirkan?
Dengan gugup dan jengah, Garsini berusaha menutupi mahkota indahnya dari pandangan sepupunya. Meskipun itu sia-sia, karena toh ia tak tahu apa yang terjadi selama sehari semalam itu. Peter seperti memahami keinginannya, disambarnya kerudung Garsini yang tersampir di kapstok dan diberikannya kepada gadis itu. Garsini menerimanya tanpa bicara, cepat-cepat menutupi rambutnya yang tergerai panjang.
“Biasanya juga hanya dua-tiga hari menyerang. Itu sudah lewat, ugh, mimpi-mimpi buruk… mengerikan sekali! Apa aku seperti sosok psikopat yang siap membunuh, seorang schizoprenia akut di mata pemilik hotel itu, ya?”
Peter tertawa sumbang, seketika Garsini bisa menangkap kepedihan yang dalam di mata anak muda itu. Kepedihan di masa silam, saat kanak-kanak di awal kedatangannya berdua ibunya di negeri Kincir Angin belasan tahun lalu. Kepedihan mengental itu telah menyilih kebingungan yang semula menyelimuti hati Garsini. Tidak mengapa, tak terjadi hal buruk, pikirnya. Garsini percaya, Peter telah merawatnya dengan sangat baik sekali, tak kurang suatu apapun…
Garsini baru mengetahuinya kini, seketika ikut merasa gemetar dan menggigil sepanjang menyimak kisah yang dituturkan Peter. Mereka sempat disekap oleh seorang lelaki Belanda, interniran militer, yang dikenal Arnie melalui biro jodoh di dunia cyber.
“Aku masih kecil, lima tahun ketika itu tapi masih kuingat saat-saat mengerikan itu… Orang itu memukuliku, menyekapku di kloset. Sedang di luar kudengar suara Mami mengerang, memohon-mohon agar si Monster itu membebaskanku… Mami rela berbuat apapun demi kebebasanku, oooh, sungguh mengerikan! Entah apa saja yang telah diperbuat si jahanam itu terhadap Mami, hiks, hiks…”
Peter menangis tersedu-sedu di hadapan Garsini yang ikut memburaikan air mata. Pengalaman itu sangat membekas dalam ingatan Peter kecil. Bahkan menjadi mimpi-mimpi buruknya untuk beberapa lama. Sehingga ia sempat menjadi pasien psikiater sepanjang tahun, menjadi paranoid dan kleptomania!
Semua itu konon sebagai dampak traumatis jiwanya di masa kecil.
“Musim dingin, salju pertama yang kami lihat di negeri Kincir Angin ketika itu…” Peter melanjutkan kepedihan masa silam yang tak pernah terungkap hingga bertemu Garsini.
Akhirnya, suatu siang yang penuh salju kesempatan itu datang. Tante Arnie nekad turun dari lantai tiga apartemen si George, susah payah menurunkan putranya, hingga kakinya terkilir. Mereka kemudian menyusuri salju tak tentu arah dalam baju tipis, nyaris mati kelaparan dan kedinginan.
Sebuah bangunan yang ternyata adalah kapel tampak oleh mata mereka. Ke situlah akhirnya Tante Arnie berlabuh, menggapai kasih sayang mereka dan memperoleh perlindungan serta kehangatan. Pendetanya sangat baik, Van Moorsel, memiliki seorang putra yang masih lajang. Asalnya mungkin hanya sekadar balas budi, Tante Arnie kemudian menerima lamaran Paul van Moorsel.
“Kukira sekarang Mami sudah bisa mencintai ayah tiriku yang baik hati itu. Papi sangat mendukungnya, bahkan menyemangati Mami agar melanjutkan sekolahnya. Bertahun-tahun Mami sekolah di mana-mana malah sampai London segala…”
Sekarang Tante Arnie telah menjadi seorang perancang busana yang sukses. Memiliki rumah mode sendiri di Huizen. Peter memutuskan bergabung dengan militer Kerajaan Belanda, sebab tak ingin lebih banyak menyusahkan orang tua dalam hal finansial. Meskipun ayah tirinya tak pernah mengeluh perihal biaya pendidikannya. Agaknya Peter amat tahu diri akan hal itu.
Siapa mengira elegi kelam itu pernah mereka alami? Di dalam keluarga ibunya, Garsini lebih sering mendengar pujian dan kekaguman terlontar atas keberhasilan Tante Arnie di negeri orang. Mereka tak pernah tahu arti di balik kabar sukses itu, curahan transfer uang dan bingkisan dari Tante Arnie untuk saudara-saudara di Cimahi… Oma Aliet, pasti akan kumat jantungnya kalau mendengar kisah ini!
Tiba-tiba Peter meraih kedua tangan sepupunya dan menggenggamnya erat. Dipandanginya wajah Garsini lekat-lekat.
“Tolong, demi kasih sayang sebagai saudara sedarah,” bisiknya serius sekali.”Ini hanya menjadi rahasia kita, ya… Jangan pernah ungkapkan kepada siapapun, please…?” Ada untaian kristal gemerlap di sudut-sudut mata itu. Maka Garsini pun mengangguk ikhlas.
“Ya, tentu saja ini hanya kisahmu, masa lalu yang tak perlu kita ungkap… Tak perlu kita kenang lagi,” janji Garsini.
Garsini berpikir, sejak saat itu sikapnya terhadap Peter akan berubah total. Lebih erat, semakin mengasihi dan menghormatinya. Meskipun ada sebersit niat yang dibawanya sejak keberangkatannya dulu, yakni untuk mempengaruhi sepupunya dalam hal keyakinan…
Tapi hidayah itu bukankah sesuatu yang hanya timbul dari kedalaman kalbu seseorang? Ia hanya bisa mempengaruhi, sebagai pemicunya, toh segalanya terpulang kepada takdir-Nya.
***
Peter meminta kesediaan Garsini agar menemaninya melanjutkan perjalanan wisatanya. Garsini agak bimbang. Maka ia meminjam handphone Peter, supaya bisa menghubungi Tokyo. Ia meminta pertimbangan dan kabar baru mengenai Nakajima-san kepada Mayumi. Setelah sabar menanti sinyal selama setengah hari, akhirnya ia berhasil juga mengontak sahabatnya itu.
“Moshi-moshi, apa kabar Tokyo…?” sapa Garsini riang. Dari kejauhan Peter mengawasi gerak-geriknya sambil mesem-mesem. Kadang dia mirip sekali
dengan bocah! Pas diberi kesempatan pegang benda itu, dia langsung mengotak-atiknya. Lucuuu deh kaamuu!
“Jangan pernah lewatkan kesempatan emasmu itu, Garsini-san!” seru Mayumi penuh semangat seperti biasa. “Tak perlu pertimbangkan apa-apa lagi, di sini semuanya sehat dan serahkan saja soal MeSci itu kepada yang berhak…”
“Ada kabar dari Pak Nakajima?” tukas Garsini penasaran. Kalau tak diingatkan, Mayumi suka celoteh ke mana-mana. “Ini sambungan jauh, Non, cepatlah… lagi pula ada taifun di mana-mana!”
Terdengar tawa renyah dari seberang.“Kamu suka dikejar-kejar setan begitu selamanya, ya?” sindirnya. “Pak Nakajima sudah telepon, katanya lagi bersenang-ria bersama keluarganya di Saporo. Terpaksa pulangnya ditunda sampai akhir bulan…”
“Waaah, jadi bagaimana tugas para sesepuh di museum itu?”
“Tenanglah, aku sudah berhasil merekrut beberapa adik kelas yang mau kerja sambilan di MeSci. Sudah kubilang, tak ada masalah apa-apa di Tokyo yang perlu kamu khawatirkan. Sudahlah, selamat bersenang-ria, Garsini-san. Oya, sampaikan salamku buat abangmu, siapapun namanya dia… okey?!”
Kliiik! Telepon betul-betul diputus oleh Mayumi, bukan sebagai dampak taifun yang melanda seluruh negeri Jepang saat itu. Ini cuaca yang sangat unik, pikir Garsini lesu mengembalikan handphone ke tempatnya semula di atas meja. Sementara di satu sisi sedang musim semi menuju musim panas, terjadi hujan dan taifun khas Jepang di sisi lainnya. Rangkaian angin badai atau taifun itu, diberitakan frekuensinya lebih besar daripada taifun di bagian dunia manapun.
“Ibarat sang Monster, sifatnya mirip dengan angin-angin topan yang kerap memporak-porandakan pantai timur Amerika Serikat. Keduanya merupakan hasil hubungan umum yang sama antara daratan dengan air pada garis-garis lintang yang sama pula…” Peter membaca pelan koran lokal di tangannya.
Garsini menyimaknya dengan seksama dan penuh perhatian. Sebagaimana Peter membaca korannya dengan mimik serius, takjub sekaligus keheranan.
“Namun, sang Monster ini menggasak Jepang begitu hebatnya hingga menimbulkan kehancuran, ribuan korban jiwa dan harta yang tak terhingga. Sementara bagian terbesar penduduk Jepang terpusat di pantai-pantai laut sebelah barat daya, justru di situlah tempat taifun pertama-tama mendarat…”
Garsini hampir tak tahan lagi membayangkan ribuan korban jiwa yang tak berdosa berjatuhan. Digasak sang Monster!
“Tak bisa terbayangkan akan berapa juta lagi korban jiwa yang bakal berjatuhan. Mereka, penduduk yang tak berdosa, mungkin sudah miskin sekali, tak memiliki rumah yang layak huni. Anak-anak, wanita hamil, kakek, nenek lanjut usia…” lanjut Peter masih asyik membaca.
“Ya Allah, bagaimana kehancuran dan kepedihan yang maha ini, sanggup Engkau timpakan begitu saja kepada makhluk, yang konon paling mulia di antara seluruh makhluk ciptaan-Mu itu…?” suara pilu Garsini tersekat di tenggorokan.
Ia merasakan tubuhnya seketika dingin. Persis seperti saat ia menyadari dirinya berada di Hiroshima. Sebuah kota yang pernah dijatuhi bom atom oleh sekutu di masa perang dunia.
Penderitaan, kehancuran anak manusia. Hiroshima, taifun, sang Monster… Seolah-olah satu kesatuan jahat yang siap menghancurkan seluruh rakyat Jepang. Mengapa harus negeri ini? Mengapa tidak negeri lainnya? Mengapa, Tuhanku, mengapaaa?
“Apa yang kamu katakan barusan, Garsini?” tanya Peter membahana di antara gumpalan awan yang berarak dari arah selatan pegunungan. Itu cukup berhasil, mengejutkan Garsini pada kenyataan kembali.
“Ya, mengapa, Peter?” ujar Garsini menatapnya pilu, tapi berhasil menarik pulang sebagian jiwanya yang sempat mengapung dalam samudera kepedihan anak manusia. “Tadi aku sempat mempertanyakan kepada Sang Khalik. Mengapa, mengapa taifun itu selalu datang dan menghancurkan Jepang…?”
“Ditambah bencana gempa secara berkala dan setiap saat,” tukas Peter tanpa ampun menohok ulu hati gadis itu.
Wajah pilu itu kini memucat. “Ya, aku pernah mengalaminya. Mengejutkan saat pertama kali, tapi kemudian aku mulai terbiasa. Apakah itu akan selalu terjadi, kapan, di mana dan seberapa parahkah?”
“Setiap saat, kapan saja, di mana pun kamu berada di seluruh pelosok negeri ini…”
“Ya Allah!” seru Garsini menutup wajahnya ngeri. Terbayang bagaimana dirinya suatu saat bakal menjadi salah satu korban bencana itu. Terasing, seorang diri, jauh dari orang tua, sanak saudara. Entah terkubur begitu saja, atau masih sempat ditemukan oleh regu penyelamat. Sang Maut, kematian itu merenggutnya dengan telak. Apakah kala itu masih dalam iman Islam atau sebaliknya, sebagai penggugat-Nya? Mati dalam kekufuran nikmat-Nya, begitukah?
Peter malah terus saja membacakan sekilas ulasan bencana yang pernah melanda Jepang di masa silam. Tahun 1783, Asama, menghancurkan ratusan mil persegi kawasan Honshu bagian tengah. Tahun 1923, 1 September gempagempa dahsyat berulang kali menghantam Tokyo dan kota pelabuhan Yokohama. Semuanya disamaratakan dengan tanah, mengamuk pada tengah hari bolong...
“Wooow, bayangkan saja, Garsini!” serunya masih belum melepaskan korannya. “Korbannya konon lebih dari 130 ribuan tewas seketika. Ini tragedi kemanusiaan yang tak terampunkan. Mengerikan, demi Tuhan, Garsini… Ini sungguh mengerikaaan!” serunya histeris.
Peter melemparkan koran di tangannya begitu saja. Napasnya tersengalsengal, sesak sekali. Untuk beberapa jenak tak ada yang bicara lagi. Keduanya duduk terpaku di atas tatami. Pintu yang terbuka meniupkan hawa segar angin musim semi dari pegunungan di belakang penginapan itu.
Hening mengapung di sekitar mereka bak mata pisau yang menikam telak jantung masing-masing. Susah payah Garsini menembus samudera ketakutan itu, menyelaminya, merenanginya, menyeberanginya… Ups!
“Astaghfirullahal adziiim,” gumamnya lirih. Garsini tersadar dalam sepenggal nostalgi bersama ibunya, suatu hari ketika ibunya baru saja babak belur dipukuli suami. Mengapa Mama diam saja, tidak balik melawan Papa, geramnya menggugat. Jadilah manusia yang istiqomah terhadap Allah, anakku, kata wanita tegar itu.
Peter pun menoleh ke sebelahnya, seolah baru kembali dari kembara yang amat menyedihkan itu. “Apa artinya itu?” Begitu pula tanyanya kala itu. tepatnya, istiqomah itu apa, Ma?
Mama pun berkata lugas, “Orang yang istiqomah terhadap Allah memiliki empat sifat gunung,” diraihnya tubuh Garsini kecil dan mendekapnya ke dalam dadanya. “Tidak lebur oleh terik mentari. Tidak beku oleh cuaca dingin. Tidak goyah oleh hempasan angin. Tidak bergeser oleh arus air…”
Peter menyimak perkataan gadis itu dengan seksama, penuh perhatian dan pengaguman diam-diam. Saat itulah ia baru menyadari akan kemandirian sepupunya. Garsini tak sama dengan para remaja bule yang pernah dikenalnya di Holland. Bayangannya tak ada di antara para pemuja dunia gemerlap, selebriti dan hal-hal bersifat semu, kenikmatan sesaat… Dia begitu unik, langka!
“Ayo, kita jalan-jalan mumpung cuacanya cerah!” ajak Peter ingin menghilangkan rasa ngeri yang sempat membelenggu hati mereka.
“Baiklah, tapi kapan kita akan kembali ke Tokyo?”
“Sore juga bisa, naik taksi ke kota dari sana dilanjutkan dengan kereta. Asyik kan bisa naik kereta malam-malam lagi?” Peter tertawa riang.
Kelihatannya rencana yang bagus dan takkan ada hambatan apa-apa, pikir Garsini. Ia sama sekali tak pernah mengira bahwa cuaca cerah di Jepang bisa mendadak berubah… mengerikan!
***
Sepanjang hari itu mereka menghabiskan waktu untuk keluyuran di kota yang pernah dibom atom sekutu. Sesungguhnya Garsini merasa agak tak enak hati juga, mengingat mereka jalan bareng dan selalu tampil berduaan.
Bagaimana dengan prasangka dan fitnah? Adakah mereka percaya kalau keduanya bukan pasangan roman, pasangan bebas? Seperti pasangan lain, para turis asing yang berseliweran di sekitar mereka itu…
“Kita kembali saja ke hotel, Peter,” ajak Garsini tak tahan lagi dengan tatapan selidik, tak mengenakkan hati itu.
“Tapi kita belum ke mana-mana,” protes Peter. Saat bersitegang itulah mereka bertemu kembali dengan rombongan Smith yang urung naik gunung Fujiyama. Beatrice berseru memanggil Garsini dengan suaranya yang lantang. Garsini tersenyum menyambut empat muda warganegara Belanda itu.
Mereka mampir di kafe yang agak sepi di sudut kota untuk makan siang.
“Cuacanya sangat buruk. Kami disarankan untuk membatalkan perjalanan tamasya ke arah sana,” keluh dokter muda itu dengan raut kecewa sekali.
“Mana yang lainnya?” tanya Peter.
“Para manusia nekad itu memaksa pergi juga dengan pemandu yang tak kalah nekadnya. Menyewa mereka dengan harga lipat-lipat,” jelas Hendrick yang selalu digelendoti manja oleh gadis bernama Marlene van de Kaplan. Dialah satu-satunya yang memperkenalkan diri kepada Garsini dengan nama lengkap. Konon, karena dia seorang turunan aristokrat Kerajaan Oranye.
“Aku malah bersyukur, sebab tak begitu suka hiking. Lagi pula, kalau kalian pergi aku terpaksa harus tinggal di sini sendirian atau balik ke Tokyo juga sendirian.” celetuk Beatrice tertawa riang.
“Karena kakimu belum begitu sehat, Sayang,” bujuk Smith menatap mesra dan mengecup sekilas pipinya. Garsini melengos dan berpikir, gadis yang satu ini mudah sekali merespon segala sesuatu dengan tawanya yang riang.
“Tidak juga, ah,” elak gadis Belanda itu menanggapi komentar Garsini selang kemudian. “Waktu terkilir tempo hari di kereta peluru itu…”
“Dia sama sekali tak tertawa malah menjerit histeris kesakitan,” ejek Smith.”Bikin semuanya panik dan ketakutan…”
“Kamu tidak berguna sebagai seorang kandidat Doktor!” ejek Marlene van de Kaplan yang wajahnya mengingatkan Garsini kepada Sophia Latjuba.
“Jangan kejam begitu, Marlene van de Kaplan,” tukas Beatrice masih juga tertawa riang. “Tentu saja, itu bukan salahnya. Sepenuhnya kesalahanku, terlalu genit memamerkan salsaku dan… Begitulah akibatnya!”
“Beruntunglah ada Angel, sang Penyelamat, Miss Indonesia ini. Sekali lagi, kami haturkan beribu terima kasih atas pertolonganmu waktu itu,” Smith bersopan-sopan secara demonstratif,
Garsini merasa tak enak hati dan sesaat hanya menunduk dengan wajah merona.Tiba-tiba Hendrick berkata seraya memandangi Peter dengan agak mengiri, “Berbahagialah kamu, Broer, menggaet gadis secantik dan sepandai dia…” Marlene menambahkan dengan nada sok tahu.
“Kapan kalian meresmikannya?” Garsini tersentak bagai tersengat listrik. Ia melirik ke arah Peter dengan mata memelas. Peter maklum akan ketaknyamanan hatinya.
“Kami ini bersaudara, dia sepupuku dari Indonesia yang sedang belajar di Jepang sini,” jelas Peter tegas.
“Waah, kalau begitu kamu anak orang kaya, hemm?” Marlene menatap Garsini dalam sorot mengiri.
“Tidak juga,” sahut Garsini semakin tak nyaman berada di tengah orang yang bukan golongannya. “Saya bisa kuliah di Universitas Tokyo itu dengan beasiswa dari pemerintah Jepang…”
Suasana yang sempat kaku itu segera dicairkan oleh ajakan riang Beatrice. “Sudahlah, kalian ini… Mari kita bersulang untuk persahabatan antar warga dunia, okeeey?”
Ketika tangan-tangan para muda itu terulur dengan mengacungkan gelasgelas kristal, Garsini semakin mengkerut hatinya. Mereka sungguh bukan golonganku, aku sama sekali tak pantas berada di sini!
Namun, ternyata kemudian betapa sulit Garsini melepaskan diri dari rombongan itu, teman-teman barunya yang beraneka ragam karakter dan kelakuannya itu. Kalaupun ada yang agak melegakan Garsini adalah mereka tidak tinggal satu hotel. Rombongan Smith masih menginap di hotel kecil tempat mereka sebelumnya. Garsini tak dapat membayangkan seandainya mereka satu hotel. Apakah ia dan Peter bisa menolak ajakan mereka untuk bergabung? Dan akan beberapa kali lagi mereka harus bersulang? Toast, toast…!
Dan bunyi gelas beradu pun berdentingan, membarengi tawa genit, suara lantang dan perilaku yang mbarat sekaaalee… Budaya Barat telah merebak di sekitarmu, Garsini!
***

Bab 8

“Hari ini juga kita kembali ke Tokyo!” cetus Garsini keesokan harinya menegaskan tanpa bisa ditawar-tawar lagi. Sepanjang malam ia merasa sangat tersiksa dengan situasi yang mereka hadapi, dan sama sekali tak pernah dibayangkannya. Peter tidur di atas tatami, bergelung kedinginan dan bisa dipastikan sulit tidur juga.
Beberapa kali Garsini memergoki Peter terbangun, kemudian bangkit untuk minum teh, gelisah jalan mondar-mandir. Mujur, dia bukan seorang perokok. Tapi melihatnya gelisah begitu, Garsini jadi lebih gelisah lagi.
“Tapi angin badai begitu dahsyat di luar. Kita tak bisa ke mana-mana…”
“Baik,” kata Garsini sesaat wajahnya tampak serius sekali.
“Ada apa denganmu?” Peter bertanya cemas. Garsini menggeleng, tapi ia sudah memutuskan sikap.
“Kalau begitu, pesankan kamar satu untukku. Jangan khawatir, kamar itu nanti akan kubayar sendiri.”
Peter terperangah. “Kamu ini mulai aneh-aneh saja,” sungutnya. Garsini mengangkat bahu dengan tampang disetel serius sekali. Terpaksa Peter keluar untuk menuruti permintaannya, mendatangi pemilik hotel. Beberapa saat kemudian Peter kembali dengan tangan hampa, sebab hotel telah dipadati tamu yang terjebak angin badai di kawasan itu. Garsini ternyata telah siap mengantisipasi kemungkinan macam ini.
“Siapa dia?” Peter terheran-heran menatap seorang gadis asing di kamar mereka. Usianya sekitar dua-tiga tahun lebih muda dari Garsini.
“Ini Kagume, putri pemilik kedai seberang itu,” jelas Garsini. Kagume membungkuk takzim ke arah Peter, ekor matanya mengerling kagum. Garsini harus mengakui, penampilan sepupunya itu memang selalu memikat. Charming, gentle dan berwibawa. Dia sama sekali tak mirip selebriti yang arogan, siapa namanya itu yang suka dikejar-kejar para fansnya?
“Maksudku, apa urusannya dia di sini?” Peter menggiring Garsini agak menjauhi Kagume yang berlagak sibuk menyiapkan teh untuk mereka.
“Sejak saat ini sampai kita bisa melanjutkan perjalanan, Kagume akan menemaniku,” jelas Garsini. ”Ibunya tadi mampir, menanyakan keadaanku. Kami ngobrol sebentar dan ia mengeluh perihal putrinya semata wayang. Agaknya dia lagi pusing dengan tingkah Kagume… Yaah, dinilainya suka mengundang perhatian turis asing di kedainya…”
“Jadi, kau meminta ibunya untuk membawa putrinya ke sini?”
“Bukan begitu, Ibu Kagume hanya meminta kesediaanku agar menemani putrinya beberapa hari. Tak ada gadis sebayanya lagi di sekitar sini, katanya…”
“Apa urusan kita dengan semuanya itu?”
“Ini hanya kebetuan yang amat baik buat banyak pihak. Buat kita juga buat ibu dan anak yang sudah tak punya ayah itu.”
“Aduuh, kenapa kamu jadi sok pahlawan begitu sih, Garsini?”
“Bukankah itu lebih baik buat kita berdua? Supaya tak ada prasangka orang lagi?” Garsini bersikeras.
“Aku tak mau berdebat lagi… bagus menurutmu, ya Garsini?” suara Peter melunak.
“Yaah, setidaknya kita sudah berusaha untuk menunjukkan kepada mereka. Bahwa kita bukan pasangan roman, bisa ditanyakan kepada seorang saksi mata…” cerocos Garsini antusias. Peter manggut-manggut dan memahami tujuannya.
“Baiklah kalau itu bagus menurutmu. Aku setuju-setuju saja. Jangan pikirkan lagi untuk bayar macam-macam perihal tamasya ini. Oke?” suara Peter kini terdengar tulus dan sarat pengertian. Tak ada tanda-tanda lagi kesal, gelisah apalagi kecewa di wajah gantengnya.
“Oceee, Bosss…!” Keduanya sesaat tertawa riang. Kagume tersipu malumalu sambil mencuri pandang ke arah mereka.
“Baiklah, kembali ke pekerjaan masing-masing,” ajak Garsini yang segera diiyakan oleh Peter. Ini kegiatan kecilnya bersama Kagume. Beruntunglah, Kagume bisa bahasa Inggris. Jadi komunikasi mereka bisa berjalan lancar.
Sementara Peter diam-diam kembali ke sudutnya, mengotak-atik laptopnya yang mendadak macet. Garsini menjelaskan tentang beberapa hal yang dipertanyakan remaja putri itu.
Dalam beberapa menit saja, Garsini sudah bisa menebak kegelisahan Kagume. Agaknya Kagume sedang mengalami masa-masa transisi, sebuah peralihan dari seorang kanak-kanak ke masa remaja. Ia ingin mempertanyakan beberapa hal yang tak dipahaminya, seperti menstruasi, perubahan bentuk tubuh dan kegelisahan yang melanda hatinya secara tiba-tiba.
Garsini jadi terkenang lagi saat-saat dirinya pada posisi serupa. Mama, meskipun dilanda begitu banyak kemelut rumah tangga, selalu berusaha memuaskan kepenasaran putri sulungnya. Hingga Garsini tak pernah sungkan untuk menumpahkan kegelisahannya, curah hatinya kepada wanita itu.
“Terima kasih, Kakak, saya lega sekarang. Artinya, saya normal kan? Tidak gila, ya Kak?” seru Kagume sampai juga ke telinga Peter yang belum berhasil memperbaiki laptop-nya.
“Apa yang kalian bicarakan?” teriak Peter dari sudut favoritnya.
“Tidak, ini urusan perempuan. Ya kan begitu, Kagume-san?”
“Ya, ya, memang ini soal perempuan!” sambut Kagume dan tertawa kecil.
Peter baru saja memutuskan, laptop-nya akan diberikan kepada sepupunya. Eee, malah mendadak macet. Padahal, ia belum lama membelinya di Amsterdam. Tahu begini, buat apa jauh-jauh dibawa dari rumah keluarganya di Blaricum, Holland. Mending beli saja di Jepang, tak perlu pusing-pusing.
“Ya, sudah, tinggalkan saja benda rongsok itu,” saran Garsini tersenyum.
“Buat Kagume saja, ya Broer Peter?” pinta Kagume mulai terbiasa dengan keduanya. Bahkan bisa bersikap terbuka dan manja.
“Uugh, enak saja!” gerutu Peter. “Ini jauh-jauh kubawa buat Garsini… Ah, apa sebaiknya kubelikan saja untukmu nanti di Tokyo, ya?”
“Jangan repot-repot begitu, Broer…”
“Ya, sebaiknya ini buat Kagume sajalah,” Peter malah seperti tertantang. Garsini angkat bahu, percuma bersitegang dengan sepupunya perihal kebendaan. Peter dinilai begitu boros. Tapi itu haknya karena memang ia telah menyiapkan liburan ini sedemikian rupa sejak lama.
Peter bercerita tentang perjuangannya sebagai loper koran. Menyusuri salju dengan kereta luncur, melempar-lemparkan koran ke rumah para langganannya, di tengah udara dingin yang menggigit tulang sumsum. Perjuangan keras yang hanya saggup dilakukan oleh seorang anak berpribadi mandiri. Bukan anak korban traumatis jiwa. Peter tentu saja telah berhasil melewati kritis kejiwaannya itu dengan baik sekali. Dan itu tanpa agama, hanya karena aku berhasil menutup memori itu, luka itu dalam-dalam, katanya dalam nada bangga. Apa itu agama, bulshit, nonsens!
Kalau sudah sampai ke arah pembicaraan spiritual, Peter selalu berhasil menepis segala upaya Garsini dalam mempengaruhi pikirannya. Mereka akan terlibat dalam perdebatan seru, berlarat-larat dan sangat melelahkan.
Ini hampir dua minggu kebersamaan mereka, tapi rasanya tak ada pengaruh apapun, pikir Garsini. Ia bahkan nyaris membiarkan takdir-Nya bicara langsung atas diri sepupunya. Tak perlu ada ikut campur siapapun termasuk dirinya. Bila Allah menghendaki… kun fa ya kun! Jihad itu, syiar dakwah itu ternyata sangat-sangat-sangat sulit!
“He, cuaca di luar mulai cerah,” kata Kagume. “Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Kalian belum sempat tamasya ke Miyajima, bukan?”
Peter menoleh kepada remaja itu dengan penuh minat “Apa itu?” Garsini jengah dan membuang pandangnya ke luar jendela. Sesaat ia berpikir keras, bagaimana caranya yang bijak agar ia bisa berdiri pada posisi penengah. Gerakgerik Kagume, keluguan dan kemurnian remajanya kadang terasa berlebihan.
“Kita pergi saja ke sana, nanti baru bisa terasa indah tamasyanya. Setuju?” ajak Kagume sudah terdengar seperti memaksa.
Sia-sia Garsini berusaha menghindar, apalagi karena sepupunya telah bersemangat sekali menyambutnya.
“Baik, ayo, kita pergi berdua saja kalau Garsini enggan…”
“Tentu saja aku akan iku!” tukas Garsini cepat.
***
Awan berarak-arak menghiasi langit Sakura. Tampak putih dan seolah menantang untuk dilukis oleh tangan-tangan terampil yang memiliki citarasa tinggi dan luhur.
Di mata Garsini, gerombolan awan itu selalu mirip arakan kapas nan lembut menjanjikan selaksa keindahan dan kenyamanan. Simbul sejuta harapan selaksa impian, masa depan cemerlang yang menanti dan melambai-lambai kepadanya untuk segera dijumput. Sebab di balik arakan kapas itu ada ribuan bintang gemintang, menantinya pula untuk dipetik oleh jari-jemarinya.
Tentu saja dia akan terbang melayang, menggapai awan hingga lapisan langit ke tujuh sana. Kemudian ia akan menjumputnya, meraihnya dan mendekapnya erat-erat ke dadanya. Sebab ia tak ingin menjadi orang yang kalah, pecundang atau pengecut yang tak sanggup mengambil keputusan.
Ia akan menggambari lapis demi lapis langit nun di sana, dengan macam ragam lukisan nan indah dan bermakna. Sehingga ia berhasil menembus selaksa tantangan itu, dan dihadiahi bintang-gemintang yang akan disematkan ke dadanya.
Manakala kembali ke Indonesia, dia akan menghaturkan bintang paling cemerlang dan indah berikut selaksa lukisan nan bermakna itu; kepada Mama, Papa, adik-adik dan keluarga besar mereka. Baik yang ada di Cimahi maupun di Tapanuli dan Jakarta…. Tanah air dan agamanya!
Garsini menikmati khayalnya terindah itu hingga matanya terasa membasah. Apakah ia akan sanggup mewujudkan selaksa mimpi dan angannya kelak? Hanya waktu yang mampu menjawabnya dan kemurahan Allah, yang kepada Dia selalu dirinya menghadap setiap kali merasa disergap rindu dendam, resah pasah.
Ya, jeritnya merambah langit. Monster mengerikan itu sesungguhnya bernama rindu. Garsini terbetot kembali dari alam khayalnya, angannya dan bayang-bayang masa depannya. Bila boleh memilih, sesungguhnya ia lebih suka kembali ke pangkuan orang-orang yang dikasihinya… bahkan walau tanpa sebutir bintang sekalipun!
“Hai, apa kabar, saudariku yang enerjik? Kenapa mendadak pendiam?” tegur Peter di antara keriangannya menikmati nuansa indah di sekitar mereka.
Garsini tak berkata-kata. Ia tepekur menikmati pemandangan yang… subhanallaaah!
Inilah Nihon sankei, Miyajima pulau kuil di Inland Sea tamasya terindah dan terdekat dari Hisroshima. Kagume penuh semangat dan suaranya renyah memikat, berusaha memuaskan kedua turis yang dipandunya dengan uraian penjelasan yang lugas.
“Di Jepang selain Fujiyama yang tiada bandingannya,” ujar Kagume berulang kali mengagungkan keindahan alam gunung yang memang sangat terkenal itu. “Sesungguhnya ada tiga tamasya Jepang yang masyhur antara lain Miyajima, inilah yang sedang kita kunjungi dan nikmati pemandangannya…”
“Dua lagi apa?” tanya Peter dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Garsini merasa harus membentangkan tirai itu di antara sepupunya dengan Kagume. Apalagi mengingat ibu Kagume telah amat mempercayainya. Sehingga meminta Garsini agar mengajari putrinya semata wayang, beberapa hal yang dirasakannya tak sanggup dia berikan sendiri.
Padahal, apalah dirinya? Sehingga ia mendapat kehormatan dan kepercayaan yang begitu tinggi dari seorang ibu lugu, janda malang yang sudah lama ditinggal kawin lagi oleh suami. Namun, demikianlah adanya, penghargaan tak ternilai itu begitu saja disandangkan ibu Kagume ke bahu-bahu Garsini.
Hanya karena perempuan sebaya Mama itu telanjur jatuh hati, terpikat oleh kemurniannya dalam bertutur kata, bersikap dan berperilaku. Itulah karunia Ilahi untuk Garsini, mengingat kebersamaanya dengan ibu Kagume baru tiga hari.
“Boleh aku yang menjawabkannya, Kagume-san?” ujarnya lembut.
Garsini berusaha dengan bijak tanpa menyinggung hati Kagume, menawarkan jasanya. Ia cemas akan kedekatan mereka. Terutama perilaku manja Kagume terhadap sepupunya, sungguh membuat hatinya kebat-kebit. Ia bisa memahami ketunaan gadis belia itu, toh Kagume bukan seorang Muslimah. Apa artinya muhrim dan non muhrim buat gadis belia itu, bukan?
“Memangnya Kakak tahu?” tantang Kagume tertawa kecil. Garsini menyelipkan tubuhnya di antara kedua makhluk itu. “Biar pun baru kubaca referensinya dari buku, aku merasa bisa menjelaskannya,” sahutnya.
“Wah, wah, nggak mau kalah jadi pemandu wisata nih?” sindir Peter.
Garsini tak mempedulikan sindirannya. “Ama-no-hashidate…”
Kagume berseru takjub tanpa merasa tersisihkan. “Waah, Kakak sungguh fasih menyebutnya!”
Garsini tersenyum hangat. “Artinya Jembatan Nirwana, ya kan Kagume?”
“Ya, tepat sekali!” Kagume kian mengagumi pengetahuannya.
“Itu adalah tanjung pasir yang ditumbuhi cemara di pantai Laut Jepang sebelah utara Kyoto,” kata Garsini lagi. “Dan Matsushima, yaitu sekelompok pulau indah yang diliputi pohon cemara di sebuah teluk dekat kota Sendai di bagian utara Jepang… Ugh, tolong bantu aku melanjutkannya, Kagume-san!”
Dengan senang hati remaja itu menyambutnya.”Baiklah,” katanya kini hampir tak mempedulikan keberadaan Peter, tapi lebih memusatkan pikiran untuk mengutarakan betapa indah dan agungnya negerinya tercinta.
“Kebanyakan tempat di Jepang memiliki tiga atau delapan tamasyanya sendiri, terdapat ribuan tempat indah yang lain juga tempat peristirahatan dengan sumber air panas. Demikian pula tak terbilang tempat-tempat indah yang kurang terkenal, itu tetap memikat para turis mancanegara…”
“Berbeda dengan kehebatan Barat gaya Amerika,” sambung Garsini manakala Kagume terdiam, seperti mulai kehabisan kata-kata. ”Ukuran keindahan alam Jepang sebagian besar mungil dan mesra. Orang Jepang berusaha keras untuk mengabadikan dan melindungi alamnya…”
“Hanya sayang sekali,” tukas Kagume prihatin.”Sudah sejak generasi kakekku, dari hari ke hari semakin banyak pencemaran dilakukan orang-orang tak bertanggung jawab. Bukit-bukit hijau nan indah dibabat habis untuk membangun pabrik-pabrik, pemukiman penduduk. Menimbuni daratan yang diambil dari laut, demi jalan-jalan lintas udara dan subway, demi menampung turis-turis kota…”
“Dan gunung-gunung nan indah telah lenyap di belakang kabut asap industri. Penyakit kota pun kian gencar menggerayangi banyak kawasan pedalaman, pertanian…”
“Ironis sekali, bukan?” keluh Kagume terdengar mengerang sakit.
“Ya, ironis sekali,” keluh Peter bareng Garsini, ikut mengerang pilu. Untuk beberapa jenak ketiga anak muda itu terdiam dalam alam cemasnya masingmasing. Bayu dari arah kumpulan kuil semilir hampa menerpa wajah ketiganya. Sampai Garsini kembali memberi harapan dan pencerahan.
“Tapi yakinlah, Allah takkan pernah diam!” cetusnya. ”Seperti Allah telah membuktikan hal itu atas kehancuran-kehancuran yang terjadi di masa lampau. Dan untuk Jepang khususnya, seberapa parah pun orang berusaha merusak alamnya, kalian akan tetap memiliki keunikan tersendiri. Pesona indah nan agung…”
“Begitukah?” Kagume terdengar agak meragukannya.
“Ya, seperti berkat guncangan gempa dan bencana alam maha dahsyat yang acapkali melanda negerimu. Semuanya itu ada hikmahnya. Buktinya, kalian terkenal sebagai bangsa kuat, paling ulet, tahan bantingan di mana pun kalian berada…” Garsini berhenti dan merasa lelah bicara seorang diri. Padahal, ia baru saja menemukan jawaban atas sejuta tanya ikhwal bencana taifun, yang pernah didiskusikannya bersama Peter tadi malam.
“Banzaaaai!” Peter tiba-tiba usil menjatuhkan bom simpanannya. Suaranya yang lantang seolah menggema ke pelosok Inland Sea. Kagume dan Garsini tersentak kaget sekali. Keduanya sesaat berpandangan lalu perlahan sama tersenyum maklum. Garsini sekonyong menggaet tangan sepupunya di sebelah kanan dan meraih tangan Kagume di sebelah lainnya.
Kemudian seketika itu pula, ia mengangkat tangannya ke udara sambil berseru lantang; “Banzaaaai!”
“Banzaaaai!” sahut Kagume dan Peter kompak.
Diam-diam jauh di lubuk hatinya, Garsini membarengi pula dengan selarik takbir.”Allahu Akbaaar…!”
Ia tak pernah mengira bahwa kebersamaan itu telah mengikatkan tali ukhuwah. Suatu persahabatan yang terikat oleh simpul kasih Islamiyah nan indah dan agung. Bahwa sebagian dampak dari persahabatan itu kemudian membuahkan banyak hikmah dan berkah.
Sesuatu yang tak pernah terlintas di benak Garsini. Terutama terhadap Kagume, remaja imut-imut yang kala pertama ditemuinya sedang dalam pencarian jatidiri. Segala gerak-gerik, perilaku dan perkataan Garsini kala itu ternyata telah amat membekas terhadap perkembangan jiwa Kagume selanjutnya.
Di luar rasa kagum dan hormat, sebab ada satu hal lain yang lebih utama, lebih mulia pula maknanya. Hidayah itu agaknya mulai bersemayam di hati Kagume. Memang baru persemaian, hanya sekadar pemicu, tapi kelak itu akan menjadi tonggak pertamanya yang tangguh bagi kelahiran jiwa islam seorang insan, Kagume Itsuwa…
***
Petang itu mereka kembali ke hotel dengan penuh keriangan.
“Apa yang Kakak lakukan barusan?” tanya Kagume tatkala melihat Garsini usai mendirikan shalat isya. Sebelumnya Kagume meluangkan waktu pulang dulu ke rumahnya, membawa peralatan kerajinan tangan yang ingin diajarkannya kepada Garsini.
“Shalat, itu sembahyangnya pemeluk Islam, Kagume…” Kemudian Garsini menjelaskan beberapa hal perihal Islam, seperti yang dituntut oleh gadis belia itu. Rukun Islam, rukun Iman, perihal tata cara ibadahnya bahkan pandangan keyakinan yang dipeluknya itu tentang pacaran.
Kagume tampak sekali terkesan dengan berbagai uraiannya. “Agama yang sungguh baru bagiku,” katanya. “Sebab di lingkungan kami hampir tak ada pemeluk Islam. Kota ini begitu terpencil, jauh ke mana-mana, maklumlah…”
“Aku mengerti,” kata Garsini. “Tapi di Tokyo pemeluk Islamnya cukup banyak. Bahkan menurut data statistik dari saat ke saat perkembangannya semakin meningkat pesat.”
“Pasti bukan untuk anak muda sepertimu, ya kan?”
Garsini menggeleng. “Islam di Jepang justru kebanyakan memikat hati generasi kita…”
“Oooh…?” Kagume terkesan takjub. Sekilas Garsini cerita juga tentang persahabatannya dengan Ayesha, gadis Palestina yang telah berulang kali mengajaknya bergabung dengan komunitas kajian Islamnya itu.
“Aku memang pernah mendengarnya dari koran dan televisi, tentang Islam. Tapi kenapa mereka suka menyangkutkannya dengan teroris?”
Garsini dengan sabar dan bijak terus berusaha menjelaskan perihal kesalahkaprahan itu. Ketakutan Barat terhadap kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia. Tentang perjuangan, jihad para mujahid di berbagai belahan dunia. Mereka yang terpojokkan, terjajah dan didzalimi…
“Tentang perjuangan bangsa Palestina yang selalu diteror zionis Israel itu,” akhirnya Garsini melihat Kagume cukup puas.
Mata remaja itu tampak sayu dan kepalanya terkantuk-kantuk, bersandar ke dinding di belakangnya. Ia sendiri merasa letih setelah sepanjang siang hingga sore tamasya ke Nihon sankei, Miyajima. Disodorkannya bantal khas Jepang kepada Kagume,”Ini untukmu saja, ayo, sekarang tidurlah,” bisiknya.
Garsini berpikir, remaja ini mengingatkannya kepada adik laki-lakinya. Meskipun adakalanya sikap dan pembawaan Kagume lebih dewasa daripada usia sebenarnya. Mereka paling bertaut dua-tiga tahun saja, seperti usia dirinya dengan Kagume. Dan Ucok akan banyak bertanyakah, perihal jatidirinya saat ini? Kepada siapa adik lelaki itu melabuhkan curah hatinya? Seketika terbit rasa rindunya yang mendalam kepada si Ucok, si Butet juga Mama dan Papa…
Kalian, keluargaku nun di sana, rindukah juga kepadaku? Garsini cepat mengenyahkan rasa pilu yang hendak menyergap kalbunya, dipandanginya wajah Kagume. Ah, tentu saja dia takkan mendengar apapun lagi. Sebab remaja itu memang telah tertidur tanpa disadarinya. Garsini menghela napas dalamdalam. Diperbaikinya dengan lembut dan apik selimut yang menutupi tubuh sohib kecilnya itu.
***
Bab 9

Peter di sudutnya, masih belibet dengan laptop-nya. Garsini gelenggeleng kepala menyadari akan sikap keras kepala sepupunya itu. Entah ada apa dengan laptop itu, gumamnya membatin dalam ketakmengertian. Beberapa kali mereka sempat mendiskusikan khusus perihal keberadaannya.
Kadang Peter pasrah, ingin meninggalkannya begitu saja di Hiroshima, bahkan membuangnya ke tong sampah. Namun, kali berikutnya ia bersikeras memperbaikinya, memperjuangkannya sedemikian rupa agar benda itu bisa dimanfaatkan kembali. Kalau bisa akan dibawanya kembali ke Holland… Iiih, aneh-aneh saja anak kitu!
“Belum menyerah juga, ya Broer?” Garsini bangkit dan menghampirinya.
“Ini benda elektronik pertama yang sanggup kubeli dengan jerih payahku sendiri,” sahut Peter terdengar penuh nostalgi. “Kamu tahu, sejak duduk di kelas dua aku sudah berjuang cari nafkah sendiri. Uangnya sebagian kuserahkan kepada Mami, sebagian lagi kutabung untuk memenuhi kebutuhanku sendiri…”
“Baik, jadi kapan sesungguhnya kamu beli laptop kesayanganmu itu?”
“Hmm, sekitar lima-enam tahun yang lalu,” sesaat Peter menghentikan kesibukannya, menerawang ke langit-langit kamar.”Kukira saat aku kelas tujuh, Itu setara dengan kelas tiga SMP kalian, Non. Ha, kenapa kamu mesem-mesem begitu? Jangan mengejekku, ya…?”
Garsini tak menyahut, cepat-cepat berlagak sibuk dengan Al-Quran mungilnya. Dalam hati ia sempat bertanya-tanya, adakah Peter menyadari bahwa benda itu sesungguhnya telah usang, rongsokan? Dan itu justru ingin dihadiahkannya kepada sepupu kesayangan, katanya? Bahkan untuk Kagume saja, Garsini akan menyesalinya. Baginya, memberikan sesuatu kepada orang haruslah yang terbaik yang kita miliki. Ah, tapi mana paham Peter, seorang yang tak mempercayai agama perihal ini?
Melihat Garsini tak bereaksi, bahkan asyik membaca kitab sucinya, Peter jadi ge-er. Tiba-tiba ia sungguh menghentikan kegiatannya.
“Baiklah, aku akan membuang benda rongsokan ini, Garsini!” sentaknya mengagetkan gadis yang begitu teguh mengenakan kerudungnya itu. Garsini meliriknya sekilas dengan gerakan acuh tak acuh dan seulas senyum bijak di sudut bibirnya. Kepalanya mengangguk perlahan, kemudian ia kembali dengan mushaf pemberian Oom Ady itu.
Peter memandanginya dengan gemas. “Mungkin kamu berpikir, alangkah pelitnya aku, mirip Yahudi saja, ya begitu kan?” cetusnya.
“Hmm…”
“Dengar, aku tak sepelit yang kamu duga! Ini hanya soal benda kesayanganku yang pernah susah payah kubeli dari jerih payahku sendiri…”
“Sudah kudengar ratusan kali tuh!” usil bibir Garsini meningkahi.”Jadi, ini soal benda yang menyimpan banyak kenangan untukmu, ya kan?”
“Dengar, Garsini,” suara Peter seketika mengeras dan dingin. “Kamu takkan pernah memahami bagaimana perjuanganku di masa kanak-kanak. Bahkan hingga saat ini, statusku, penampilanku yang ngeslank di mata orangorang Belanda. diskriminasi, dipinggirkan. Bahkan oleh ayah kandungku sendiri, dengar itu Garsini, kamu dengaaaar…?!”
Garsini meletakkan mushafnya dengan sangat menyesal dan kecewa. Ia tak ingin mendengar keluh kesahnya lagi. Karena otaknya sudah pepat oleh segala keluh-kesah sepanjang kebersamaan mereka. Seberapapun dia menghiburnya, rasanya Peter tetap takkan pernah puas untuk selalu mengeluh.
Masa kanak-kanak yang pedih! Mengapa itu saja yang selalu dijadikan tamengnya? Seakan-akan hanya dirinya yang paling menderita di jagat raya ini.
Betapa ingin Garsini meneriaki kuping sepupunya itu. Tentang penderitaan orang lain, derita anak-anak para pengsungsi di Aceh, Ambon, Sampit. Anak-anak para TKW yang tak pernah mengetahui siapa ayahnya. Bahkan tentang derita dirinya, sempat tak diakui ayah dan diragukan eksistensinya.
“Kamu egois, Broer, kamu selalu merasa hanya dirimu yang pernah punya masa kelam saat kanak-kanak. Sadarlah, Broer, eliiing!” Garsini merasa sesak dadanya. “Cobalah meningkatkan empatimu terhadap orang-orang di sekitarmu, jangan hanya menengadah ke langit-langit. Tengoklah juga ke bawah, aduuuh, bagaimana kujelaskan semuanya ini kepadamu?” Beberapa detik keduanya berhadapan secara frontal, saling menatap. Ada amarah dan geram di mata Peter. Ada kecewa mendalam di mata Garsini.
“Intinya, bukan hanya kamu yang pernah menderita, memiliki traumatis jiwa, Peter. Ada banyak derita anak-anak di dunia ini, ribuan, jutaan, tak terhingga…”
Garsini bangkit karena merasa tak tahan lagi Dadanya kian sesak dan kepalanya mulai berdenyar-denyar. Ia tak mempedulikan sorot amarah yang masih tersisa di mata sepupunya. Ia pun mengabaikan akan kemungkinan percakapan mereka bisa saja membangunkan Kagume.
“Astaghfirullah adziim, ampunilah hamba-Mu yang daif ini, Allah,” gumamnya sambil terhuyung-huyung menggapai kamar mandi.
Lama ia hanya diam seribu basa di dalam kamar mandi itu. Mengherani kelakuan sepupunya yang ternyata amat kompleks dan sulit ditebak. Kadang tampak riang, mandiri dan mudah ketawa-ketiwi. Namun, adakalanya muram, banyak ketakpuasan, keluh-kesah dan menyimpan kepedihan masa silam.
Ia tersentak kembali manakala mengingat tujuan keberadaan Kagume di kamar mereka. Ketika dengan tergopoh-gopoh Garsini keluar, didapatinya Kagume tetap tertidur lelap. Sementara sepupunya entah pergi ke mana. Mungkin mencari hawa segar di luar. Baru disadari Garsini, hal itu mulai menjadi kebiasaan Peter, terutama bila dirinya gelisah dan sulit tidur.
Itulah malam terakhir kebersamaan mereka di sebuah kamar hotel terbaik di Hiroshima. Esok paginya ketika cuaca mendadak cerah, Peter berhasil mendapatkan transportasi eklusif bersama rombongan turis Belanda. Mereka pun terbang dengan pesawat carteran kembali ke Tokyo.
***
Begitu sampai di asrama, Garsini mendapat kabar tentang Nakajima dari seorang rekannya. Anjeli, gadis India yang menggantikan posisinya sebagai relawan di museum, menyodorkan sebuah koran hari itu.
“Pesawat yang membawa penumpang menuju Korea meledak…” berkata Anjeli dengan mengeja. Tapi Aa Haekal bukan terbang ke Korea melainkan sebaliknya, seharusnya sudah kembali ke Tokyo.
“Ada orang yang kau kenal?” Garsini menatap wajah gadis Hindustan itu.
“Bahkan kamu pun mengenalnya!” seru Anjeli separuh mengisak. “Anakmenantu, cucu Pak Nakajima…”
Ya Allah… innalilahi wa inna ilaihi rojiuun, jerit Garsini dalam hati. Seketika ia merasakan kesedihan tak terkira. Apalagi ketika selang kemudian Mayumi sengaja menjemputnya untuk urusan ini.
“Sekarang Pak Nakajima mungkin sudah mengetahui berita ini di apartemennya,” kata Mayumi.
“Kasihan sekali dia,” Garsini kini berderaian air mata. Ketiganya memutuskan untuk pergi ke rumah lelaki tua yang malang itu. Namun, apartemennya tertutup rapat. Bahkan beberapa tetangga dan kenalan Nakajima yang sudah berdatangan sebelum mereka, tak dapat masuk, berseliweran di depan pintu apartemennya.
“Nakajima-san! Nakajima-san, bukalah pintunyaaa!”
“Iya, Pak Nakajima, kami ada bersamamuuu!”
“Tolong, bukalah pintunya, Paaak, Paaak…!”
Tak ada sahutan, tak ada reaksi. Hingga beberapa jam lamanya demikian, orang-orang mulai bosan dan putus asa. Mereka terpaksa bubar, meninggalkan tempat itu tanpa bisa mengetahui keadaan Pak Nakajima. Anjeli dan Mayumi pun harus bekerja. Mereka tak bisa mencegah Garsini yang masih ingin bertahan.
Menjelang sore Mayumi dan Anjeli kembali ke tempat itu, menemukan Garsini seorang diri masih tinggal di depan pintu apartemen Nakajima. Wajahnya sama sekali tak memperlihatkan gurat-gurat kelelahan. Kelihatannya sedikit pucat, mungkin basah oleh bekas air mata campur keringat, tebak Anjeli iba.
“Ya ampuun, kamu masih di sini, Garsini-san?” seru Mayumi terheranheran.
“Kenapa dengan wajahmu… basah sekali?” Anjeli penasaran agaknya.
“Aku baru ambil wudhu mau shalat maghrib sebentar lagi. Tenanglah, kalian tak usah mengkhawatirkan Pak Nakajima lagi,” tergagap Garsini berusaha menyembunyikan perasaan pilu dan harunya sepanjang siang itu.
“Ada siapa di dalam sana?” tanya Anjeli pula ingin tahu.
“Beberapa kenalan Pak Nakajima… kenapa dengan kakimu itu, Anjeli?”
Anjeli menjinjit-jinjitkan kakinya, padahal perawakannya yang tinggi langsing dengan mudah bisa melihat segalanya di depannya. Mayumi terkikik melihat kelakuan Anjeli, sekaligus geli akan keluguan Garsini. Teras itu agak tinggi menghalangi apartemen seberang yang dibatasi jalan raya.
“Pssst… jangan tertawa genit begitu. Maluu!” sergah Anjeli menegurnya.
“Habiiis… Matamu jelalatan! Pasti lagi cari tahu kabar si Sarukh Khan yang tinggal di apartemen seberang sana, ya kan?” sindir Mayumi.
Anjeli tersipu dan meninju perut Mayumi perlahan.
”Kamu juga kaaan, si Sarukh Khan itu memang macho nian…!”
***
Sementara kedua gadis itu ngerumpi-ria soal cowok-cowok penghuni apartemen seberang, Garsini diam-diam menyingkir dengan hati kecewa. Ia sempat berpikir, mereka ke sini bukan semata ingin mengetahui keadaan Nakajima-san. Melainkan untuk mengintip aktivitas para pemuda India, tetangga yang sejak tadi secara atraktif menyiulinya, menggodanya. Ugh!
Astagfirullah… kenapa mesti berprasangka, pikirnya kemudian. Dan ia segera meleburkan diri dalam rakaat-rakaatnya yang khusuk di sudut balkon itu. Kematian, kesakitan, penderitaan masihkah belum cukup untuk mengingatkan manusia akan kepapaannya?
Garsini semakin tak mengerti sekaligus kecewa, manakala sejurus kemudian Mayumi dan Anjeli sudah tak ada lagi. Sayup-sayup terdengar tawa genit keduanya dari arah seberang. Mereka sudah bergabung dengan para penghuni apartemen itu, entah bagaimana kronologis ceritanya.
Pesona si Sarukh Khan dan kawan-kawan agaknya sudah mencuri empati kedua gadis itu terhadap sesamanya. Belakangan Garsini semakin kecewa lagi dengan perilaku kedua sahabatnya itu. Ia baru menyadari bahwa keduanya termasuk penganut aliran gaul bebas. Untuk beberapa waktu lamanya, ia sering menghindari Mayumi sebagai ungapan rasa ketaksetujuannya.
Sampai Mayumi suatu hari mendatanginya dengan wajah kusut masai.
“Anjeli itu keterlaluan sekali!” adu Mayumi.”Masak aku dimintanya menjalin hubungan lebih serius lagi dengan si Jay Bachan, Garsini…”
“Bukankah itu lebih baik bagimu daripada keluyuran ke sana ke mari tanpa ikatan apapun, Mayumi?” jengek Garsini mulai sebal mendengar keluhkesahnya perihal cowok.
“Menikah maksudmu? Aha, itu sama sekali tak masuk agendaku, Nona…” Mayumi tertawa sumbang.
“Begitu, ya? Menikah tak mau, tapi jalan bareng dan macam-macam sudah sering?” sindir Garsini kian sebal dan kecewa.
Mayumi terdiam sambil sibuk menyalakan rokoknya. Sejak kapan dia pandai merokok, desah Garsini membatin. Rasanya baru beberapa bulan lalu mereka jalan bareng, mencari-cari kartu pas kereta peluru itu. Kala itu Mayumi masih tampak sebagai gadis polos, ketakutan dan malu persis seperti Garsini, kala mereka berlari keluar rumah geisha di sudut kota itu.
Namun, kini Mayumi sudah melesat meninggalkan Garsini. Kemodernan, kebebasan beserta segala janji kenikmatan yang melambai-lambai kepadanya telah digapainya. Tapi semakin berhasil digapai, segala nikmat semu itu semakin tak terpuaskan pemenuhannya.
Dunia semu, nikmat semu, Garsini baru menyadarinya kini. Hal itu betapa takkan pernah memuaskan bagi orang yang mengejarnya, Sebab semakin dikejar, maka semakin bertambah pula kesenangan duniawi, nikmat semu itu yang melambai-lambai. Menuntut untuk dikejar, diraih, kemudian dimiliki dan saat berhasil meraih, memilikinya… Ketakpuasan justru kian menikam lebih dari saat-saat sebelumnya!
“Jadi, sekarang kamu tidak tinggal bersama Okusan lagi?”
Mayumi menggeleng.”Biarlah ibuku tenang dengan dunia khayalnya,” desisnya sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Garsini cepat-cepat membuka jendela apartemen agar asap rokok tidak menyesaki kamarnya. Haliza dengan penciumannya yang luar biasa itu, pasti akan mengetahui kalau kamar mereka sempat terkontaminasi polusi rokok. Sudah pernah terjadi sebelumnya kala Garsini kedatangan Anjeli. Garsini tak bisa mengelak lagi. Haliza menemukan puntung rokok dan sisa-sisa bau asap yang masih menempel di sudut kamar mereka.
“Kalau begitu, jangan bersahabat lagi dengan Miss India itu!” kata Haliza tegas.”Gadis yang suka merokok sungguh tak baik. Mereka membawa pengaruh buruk kepada kita,” sungutnya yang akan dilanjutkan dengan wejangan berlaratlarat.
Garsini tersenyum kecil mengingat kebiasaan dara dari negeri jiran itu. Kebiasaan yang baik, memberi wejangan gratis kepada orang-orang sekitarnya. Sayang, tak semua orang bisa menerima apalagi menyukai hal itu.
Beberapa di antara mereka menjadi balik tak suka. Mengejek Haliza sebagai gadis kolot, membosankan. Meskipun demikian, buat orang-orang tertentu menganggap Haliza sebagai orang yang bisa diajak bertukar pikiran perihal spiritual. Bahkan lebih dari sekadar penasehat melainkan pengaguman berlebihan. Biasanya yang datang adalah gadis-gadis dari belahan dunia Afrika.
Jadi, di asrama putri ini Haliza dikenal sebagai penasehat spiritual. Garsini menduduki urutan kedua ikhwal ini. Di mata rekan-rekan seasramanya, Garsini dipandang lebih enerjik, moderat dan dinamis daripada Miss Malaysia itu. Meskipun dalam hal keanggunan dan kecerdasan keduanya dianggap seimbang, menonjol dibanding gadis-gadis moderat lainnya.
“Ah, itu kan reka-reka kalian saja,” kilah Garsini kini kala Mayumi menyinggung perihal ini. ”Kami merasa biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa.”
“Tidak, kalian memang istimewa, unik, pendeknya tak sama dengan kami.”
“Sudahlah, jangan terlalu menyanjung…”
Garsini bermaksud melanjutkan pekerjaan rumahnya yang tertunda. Tibatiba pintu didorong tanpa pemberitahuan, sosok berkerudung muncul diikuti tiga gadis Afrika.
Barbina, Zeena dan Gweeny, tiga gadis berkulit hitam yang amat kompak karena ke mana-mana sering tampak jalan bareng. Seolah-olah jalan bareng merupakan tradisi ketat untuk ketiganya. Orang sampai menyebutnya itu sebagai ritual gaya persahabatan mereka.
Untuk sesaat para pendatang itu terkejut melihat keberadaan Garsini dan Mayumi. Mata Haliza langsung membelalak lebar melihat Mayumi tengah asyik menyedot sigaretnya. Garsini terlonjak menghampirinya dalam rasa bersalah.
“Maaf… kukira kamu takkan pulang sore ini?” gagap Garsini.
“Tidak apa, lanjutkan saja, maaf juga kami sudah ganggu!” suara Haliza terdengar sumbang dan matanya mengerling dingin ke arah Mayumi.
“Tadi kamu bilang takkan ada siapa-siapa,” sesal Gweeny.
“Pssst… ayo, kita cari tempat lain saja!” Barbina menghela tangan kedua rekannya. Haliza tertegun tak enak dan sedikit bingung, wajahnya merona.
“Kalau kalian mau diskusi, bisa pakai kamarku saja, silakaaan!” tiba-tiba Cristal, gadis Swedia menyelamatkan suasana.
Haliza mengenal Cristal dengan baik. Beberapa kali menumpang di mobil orang yang diperkenalkan Cristal sebagai pamannya. Pria paro baya yang selalu berpenampilan keren itu suka menjemput Cristal tiap akhir pekan. Mereka akan jalan bareng menuju Kyoto. Haliza menuju rumah peristirahatan salah seorang famili Rashid. Sementara Cristal ke rumah kediaman pria macho itu.
“Baiklah, semuanya sudah aman kembali, okey?” Cristal terkikik manakala Haliza dan ketiga African-look itu sudah masuk ke kamarnya di ujung koridor lantai dua. Giliran Garsini yang masih merasa tak enak.
”Sebentar… kira-kira apa yang akan mereka lakukan di kamarmu sana, Cris?” tanyanya ingin tahu, menatap gadis Swedia yang dikenal hobi nonton film horor, dan percaya akan hal-hal berbau mistik itu.
Mayumi sambil menyambar tas tangannya menimpali.”Kalian ini memang aneh. Bersahabat sangat erat, tapi…”
“Sungguh kamu tak tahu apa yang mereka lakukan?” selidik Cristal bimbang menatapnya. Garsini mendengus dan menggeleng.
“Yaah…!” Cristal angkat bahu. Mayumi mesem-mesem penuh arti.
Garsini jadi kian penasaran.”Kalian ini bicara apa sebenarnya, hemm? Mayumi, hei, mau ke mana, tunggu…!”
“Aku sudah telat nih, teman-teman… sayonaraa!” Mayumi melenggang meninggalkan kamarnya, tanpa menoleh lagi kepada kedua gadis itu. Mayumi semakin liar saja dalam dunia gaul bebasnya. Garsini tak pernah berhasil melembutkan hatinya. Apalagi membujuknya agar pulang ke rumah keluarganya. Kasihan Mayuko-san, ada beberapa kali khusus mendatangi Garsini. Memintanya agar membujuk putrinya untuk pulang.
Sebegitu parahkah luka pilih kasih yang dibekaskan ibunya kepada Mayumi?
“Cristal, kamu bisa jelaskan?” tuntut Garsini.
Cristal menatap iba kepadanya.”Ternyata kalian bukan sahabat yang solid seperti yang kami duga,” ujar Cristal tajam.
“Cristal, please…” Garsini memohon.
“Kalau mau tahu, lihat saja sendiri ke sana. Tapi jangan bilang dariku, ya… bye!” Cristal pun melenggok bak supermodel kelas dunia.
Selang kemudian, Garsini sudah mengintip aktivitas yang terjadi di kamar Cristal. Ia tertegun di balik pintu yang terbuka sedikit, tubuhnya seketika terasa lemas sekali. Betapa tidak, sayup-sayup terdengar suara Haliza.
“… nah, jadi kalian sudah paham sekarang kan?” sergah Haliza seperti menyimpan amarah.”Obat itu memang sangat kuat hingga bisa menghancurkan janin di dalam rahim Gweeny!”
Terbawa emosi, Garsini ceroboh dan mengakibatkan bunyi berisik di depan pintu kamar itu. Seketika trio African-girls tersentak, mereka serempak bubar meninggalkan Haliza yang terbengong-bengong. Sedetik Garsini masih menangkap gurat sesal dan kecewa di wajah pucat Haliza. Namun, detik berikutnya sesal dan amarah campur kecewa itu telah menyergap kalbunya.
Prasangka buruk, suuzon pun seketika menikam ulu hati Garsini. Parahnya lagi, masalahnya tak diselesaikan seketika itu juga. Sehingga prasangka buruk terus menggayuti keduanya sampai beberapa waktu.
Merenggangkan hubungan mereka, persahabatan yang kental menjadi
renggang.
***

Mengenang saat-saat liburan musim semi yang pertama kali dialami Garsini sepanjang mukim di Negeri Sakura, acapkali menimbulkan semangat baru manakala dirinya terperangkap dalam kejenuhan rutinitas. Ya, ada semangat di sana.
Semangat libur musim semi, menurut istilah Mayumi. Apapun namanya, kenangan itu kerap mengukuhkan kembali cita-cita dan seluruh harapan dari orang-orang yang dikasihi dan mengasihi dirinya. Terutama manakala dirinya terjebak dalam rasa jenuh, kesepian yang menyengat dan mengharu biru kalbunya. Musim demi musim pun berganti. Musim semi disilih musim panas, kemudian tiba musim gugur, musim dingin. Seperti masa-masa perkuliahan yang semakin padat, sarat tantangan dan tekanan… Semuanya harus dilewati tanpa ampun!
“Selamat, ya Garsini,” kata Haliza begitu Garsini muncul di kamar mereka petang itu. “Kudengar dari Andreas, temanku yang orang Papua itu, kamu berhasil menyabet predikat the best gakusei…?”
Garsini hanya tersenyum tipis. “Terima kasih, Haliza, alhamdulillah.”
Hatinya sungguh sedang digayuti rindu dendam tak berkesudahan. Beberapa kejadian belakangan ini, dukacita yang melanda Nakajima-san, berakhir dengan ketragisan lelaki malang itu; ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa di apartemennya di pagi musim dingin yang dahsyat.
Sungguh membuat hati Garsini tertusuk hingga ke tulang sumsum. Melebihi rasa dingin, gigilan hebat yang menyergapnya dari menit ke menit pada musim dingin yang pertama kali dialaminya di Negeri Sakura.
Belum lagi usai persoalan antara dirinya dengan Mayumi, Haliza dan terakhir kecemburuan Haekal yang membuta. Semuanya saling belit-membelit, seolah takkan sanggup teruraikan. Sungguh menyakitkan!
***
Bab 10

“Apa betul dia meninggal karena serangan jantung?” tanya Garsini kepada Mayumi yang juga sempat shock dengan kepergian sobat sepuhnya secara tragis.
Mayumi mengisak perlahan di sampingnya. “Entahlah, Garsini,” sahutnya pendek. Sementara beberapa petugas sibuk mengangkut jenazah tua itu ke atas sebuah ambulans.
Seorang polisi menghampiri mereka dan menanyakan beberapa hal yang ingin diketahuinya. Termasuk seberapa dekat hubungan mereka dengan lelaki tua yang malang itu. Setelah merasa cukup puas dengan penjelasan keduanya secara bergantian, ia memberikan kartunama.
“Kalau kalian punya keterangan lain…” kata seorang petugas yang segera dihampiri rekannya yang lebih tua, baik dalam pangkat maupun usia.
“Mungkin kami yang lebih membutuhkan kalian. Sudahlah, kami berterima kasih atas kesediaan kalian datang ke TKP pagi buta begini. Sekarang sebaiknya kalian cepat pulang saja. Tak baik lama-lama di udara sedingin ini," nasihatnya sungguh bijak.
Garsini merasa belum puas, kenapa berakhir sampai di sini saja? Apakah takkan ada tindak lanjut yang lebuh melegakan hati? Apa mereka akan melakukan visum et repertum?
“Tidak, tak ada yang memintanya demikian juga tak ada indikasi kriminal di balik kematiannya,” jelas petugas yang telah memberi nasihat bijak kepada mereka itu. Sungguh, tak menjanjikan apa-apa lagi.
Mayumi menghela tangannya menjauhi kawasan apartemen Nakajima. Saat melintasi apartemen di seberang, Mayumi mendengus sebal. Ekor matanya sempat mengerling tajam ke arah sekelompok mahasiswa India. Mereka sedang sibuk berkemas, tentu akan liburan musim dingin.
“Para pengkhianat sialan itu, brengsek sekali!”
“Kamu bilang apa, Mayumi-san?” Garsini lesu, masih melangkah berat di sisinya sambil menahan tangis duka.
“Bahkan Anjeli sekarang masih bersama mereka! Juga Miss Swedia Cristal si pahit lidah itu!” umpat Mayumi kini terdengar sarat angkara, dendam dan benci. ”Katanya dia menyesalkan, ugh, dustaaa! Pendusta besaar si Anjeli itu! Orang-orang itu, semuanya saja brengseeekk!””
Garsini tak urung meliriknya, keheranan. Umpatan, caci maki terhebat yang pernah diperdengarkan oleh mulut manis Mayumi.
“Eh, ada apa denganmu?”
“Lihat si Sarukh Khan itu, dialah pengkhianat brengsek! Demi Tuhanku Yang Pengasih, biar dia mampus disambar kereta peluruuu…!” desis Mayumi.
Sekilas ekor mata Garsini pun terarah ke apartemen seberang. Ada pasangan-pasangan roman yang tengah siap berangkat. Sebuah mobil carry sudah menanti, dan suasananya sarat canda dan tawa.
“Mereka pasti akan bersenang-senang di… sungguh tak punya hati!” umpat Mayumi semakin sarat benci dan dendam.
“Kamu… aaah?!” Mulut Garsini ternganga, kedukaan dan perkabungan untuk Nakajima, sesaat mengapung di udara dingin yang menghajar tulang sumsum. Tersilih oleh rasa terkejut atas reaksi Mayumi terhadap keberadaan para pria Hindustan itu. Setahunya dalam beberapa bulan itu, Mayumi telah tersihir oleh perangkap salah seorang pria ganteng di sana.
Saat itulah Garsini baru mengetahui love-affair Mayumi-Sarukh Khan. Namanya tentu saja bukan Sarukh Khan, itu hanya julukannya di kalangan fansclub-nya. Jay Bachan memang playboy Hindustan yang sukses kembara di Jepang. Mahasiswa hukum yang terancam di-DO itu sangat banyak pengagumnya. Salah satu pengagum dan telah menjadi korbannya adalah Mayumi.
Sepanjang perjalanan menuju asrama, di atas kereta, percakapan itu kembali mengental. Persahabatan mereka yang sempat renggang, kembali terikat oleh tali simpati, kebutuhan curah hati dan entah apalagi. Sesungguhnya Garsini lebih banyak menjadi pendengar yang baik. Sedang Mayumi tak henti curtah hati dengan segenap emosi, kecewa, marah dan benci dendamnya.
“Jadi, ceritanya sudah sebulan ini kamu tak pernah lagi gaul dengan mereka…”
“Ya, itu gara-gara si bajingan Jay Bachan!”
“Sebelumnya kamu begitu mengaguminya.”
“Itu sudah berakhir, demi Tuhan, aku sungguh menyesalinya!” desis Mayumi menahan sakit. “Jay Bachan itu cuma ingin menghisap madu setiap bunga Sakura, bunga segala bangsa yang datang kepadanya…”
“Sejauh itukah? Dan kamu, sampai di mana kamu menyerah?” Garsini menggigit ujung bibirnya. Sunguh pertanyaan yang sangat kejam, desisnya ikut merasakan rasa sakit yang diderita sahabatnya.
Mayumi terdiam. Wajahnya pucat, tubuhnya seketika terasa bergetar dan bersandar pada Garsini. Tak usah dilanjutkan, pekik Garsini membatin. Ia sudah banyak melihat contohnya, kisah cinta remaja yang terjebak nafsu, nikmat sesaat, gaul bebas. Tapi ia tak pernah berpikir, jika sahabat kesayangannya sampai terjerumus ke jurang serupa itu.
“Apakah Tuhan akan memaafkan diriku yang telah terjerumus ini, Garsinisan?” suara Mayumi terdengar parau dan bergetar hebat.
“Insya Allah, jika kamu melakukan taubatan nasuha, Dia akan memaafkanmu. Allah itu Maha Pengampun…”
Mayumi beberapa saat tersedu di haribaannya. Tak mengindahkan para penumpang lain yang menatap dengan penuh rasa ingin tahu. Mereka turun di Tokyo Eki. Mayumi langsung ke tempat kerjanya di kawasan Ginza. Tapi ia berencana nanti malam akan mampir ke rumah, menengok Okusan yang telah lama tak diketahui kabar beritanya.
***
Garsini sendiri memutuskan untuk cepat kembali ke asrama. Ingin melabuhkan rasa pilu di kalbu di atas peraduannya yang hangat. Tak dinyana, ia menemukan Haliza yang sudah beberapa hari tak pulang. Karena tugas hariannya di rumah sakit yang konon semakin padat dan keras. Saat itulah Haliza mengucapkan selamat atas keberhasilannya sebagai teh best gakusei.
Suatu hal yang nyaris terlupakan oleh Garsini, karena ia keburu hanyut dalam berita dukacita yang datang kepadanya di kampus, dukacita Nakajimasan.
Sebuah prestasi gemilang kembali telah dipetiknya. Sesungguhnya ingin segera dihaturkan Garsini ke haribaan Mama, Papa, adik-adik, sanak saudara dan para sahabat tersayang di tanah air. Namun, di balik itu ada pilu yang masih menggayut di ujung kalbu Garsini. Dan pilu nestapa itu menyeret Garsini ke rasa sakit yang berkepanjangan.
Demam aneh yang sebelumnya pernah menyergapnya beberapa bulan silam. Ketika dirinya dalam puncak kelelahan setelah berburu tiket pas kereta peluru, ambruk di penginapan luar kota Hiroshima. Kini penyakit yang sama kembali dan menghajarnya tanpa ampun!
Haliza mengganti kompres di atas kening Garsini. Sepanjang malam itu ia hampir tak memejamkan matanya. Mendampingi Garsini yang mendadak terserang demam tinggi.
“Sembuhlah, ukhti sayang,” bisik Haliza sambil berlinangan air mata, sebagian butiran kristalnya itu berjatuhan dan membasahi pipi Garsini. “Besok kita mulai memasuki bulan suci Ramadhan. Bukankah kita akan memetik berkah dan nikmat shaum untuk pertama kalinya di Negeri Sakura ini, Garsini…”
Garsini tak bereaksi sama sekali. Ini sudah lewat sepuluh jam. Kalau ia tetap dalam keadaan begini, terpaksa aku harus memanggil ambulans dan mengangkutnya ke rumah sakit!
“Garsini, ukhti sayang… Ayo, sadarlah, sembuhlaaah, please…” Haliza kini sungguh merintih pilu bahna cemasnya atas keadaan sahabatnya. Tengah malam pun lewat, saatnya memasuki dua per tiga malam. Haliza meninggalkannya untuk mendirikan shalat tahajud. Ia berdoa khusus demi kesembuhan sahabatnya.
Usai shalat dihampirinya lagi Garsini. Masih belum sadar jugakah?
”Jangan membuatku ketakutan, Garsini. Duh, ke mana aku harus menghubungi saudaramu itu, siapa dia? Oh, iya… De Broer Petermu itu?” Seketika Haliza menepuk jidatnya sendiri, teringat lagi bahwa itu hal yang sangat musykil. De Broer tinggal di Holland, tak mungkin memintanya datang ke situ, hanya untuk mengurus saudarinya yang sakit. Berapa biaya transportasi yang harus dikeluarkan, perjananan antarbenua itu? Bagaimana kalau sakitnya hanya demam biasa, besok pun sembuh… Bila itu dilakukan hanya akan bikin persoalan baru!
Tapi De Broer tampaknya sangat mengasihi saudarinya ini, pikir Haliza. Ia memanjakan Garsini, buktinya membelikannya handphone dan laptop baru. Meskipun Garsini hampir tak pernah menggunakan telepon selularnya, tapi laptop itu sangat bermanfaat baginya. Ia tak perlu lagi meminjamnya dari orang.
“Jangan, jangan panggil siapapun…” erang Garsini. “Aku akan sembuh, sebentar lagi, sabarlah, tenang saja. Haliza sayang, be calm please…”
Haliza tersentak dari lamunannya. Cepat-cepat dihampirinya Garsini dan memperhatikan keadaannya dengan seksama. Apakah Garsini mengingau? Tampaknya dara itu gelisah sekali, bergerak tak menentu, matanya kadang membuka beberapa saat. Tidak, pupil matanya mengecil…
Ah, aku pasti sudah pikuuun! Kenapa aku jadi selinglung ini, ya? Haekal, ya, tentu saja dialah yang harus secepatnya dihubungi. Meskipun selama ini Garsini tak pernah secara terbuka mengakui pemuda itu sebagai something special, tapi sebagai sahabatnya seharusnya ia tahu hal ini. Di antara mereka ada hubungan khusus. Buktinya, bila mereka sedang chatting…?
“Mengapa kamu tak pernah mengajaknya kencan?” Haliza pernah menguping Mayumi bertanyakan hal itu kepada Garsini.
“Tidak, tak ada istilah kencan, pacaran dalam kamus Muslimah,” elak Garsini. Ketika itu Haliza merasa Garsini tengah menyindirnya. Sebab ia baru pulang bepergian berdua Abang Rashid.
“Kami tak lakukan apa-apa. Masih di batas kewajaran,” bantah Haliza kala itu sebagai pembenaran sikapnya.
“Kamu pernah memintaku agar kita selalu saling mengingatkan,” ujar Garsini diplomatis. Tanpa memberi nasihat berlarat-larat, tapi ketaksetujuannya akan hal itu sudah sangat jelas.
***
Haliza tergopoh-gopoh menuju meja belajar Garsini. Beberapa saat lamanya ia memeriksa buku telepon. Tidak, tak ada nama Haekal di sini, pikirnya keheranan. Mungkin di telepon selulernya. Ugh, kenapa Garsini tak mengaktifkan benda canggih itu? Bahkan laptop-nya juga di-password, hingga ia tak bisa membuka email Garsini untuk menghubungi Haekal.
Haliza kembali menghampiri Garsini dengan kecewa dan putus asa.
“Apa yang sudah kamu lakukan itu, Haliza?” suara parau Garsini terasa menikam ujung hati Haliza.
Dengan wajahnya merah padam menahan malu dan marah pada diri sendiri, Haliza hanya tercengang dan gugup. Ia merasa dipergoki telah mengacak-acak benda pribadi Garsini. Itu telah melanggar kenentuan dan tatakrama. Namun, Garsini tersenyum samar seperti telah memaafkan kelakuannya itu. Kedua tangannya terulur, mengisyaratkan Haliza untuk mendekat kepadanya.
“Kamu sudah sadar? Alhamdulillaaah…!” Haliza pun menghambur dan memeluknya, mendekapnya erat-erat. Garsini berusaha bangkit dengan susah payah, tanpa mengindahkan uluran bantuannya. Haliza geleng-geleng kepala.
“Ugh, sudah parah pun masih sombong kau ni!” sungut Haliza tertawa haru. Garsini berhasil duduk dengan tegak ditunjang oleh tumpukan bantal. Kepalanya masih pening, tapi demamnya telah jauh berkurang. Keringat membasahi sekujur tubuhnya yang lemas dan kaku-kaku.
“Obat apa saja yang sudah kamu jejalkan ke mulutku tadi, Haliza?” protes Garsini. Haliza tertawa kecil, matanya masih membasah bahna harunya. Memori Garsini telah kembali secara utuh!
“Jangan suuzon, aku hanya memberimu beberapa butir pil anti demam.” Haliza mengelus-elus jari-jemari sahabatnya. Giliran Garsini yang sangat terharu. Matanya kini membasah, tapi ia menahan tangisnya agar tak tumpah.
”Punya apa untuk makan sahur kita, Haliza?” tanyanya pula tiba-tiba. “Aku tahu, kamu tadi bilang bahwa besok kita akan mengawali bulan suci bulan Ramadhan..” Haliza tercengang takjub melihat perubahan yang sangat pesat itu.
“Tapi kamu belum bisa shaum…”
“Kata dokter Siti Haliza Tun Razak tu!” Garsini mencibir dengan meleletkan lidahnya.
“Kamu betul-betul sudah sembuh, Garsini.” Haliza tertawa senang melihat Garsini telah kembali riang dan humornya telah muncul.
“Tapi aku sampai lupa, tak sempat sediakan makanan apa-apa untuk makan sahur kita… maaf,” keluh Haliza.
“Bagaimana?” giliran Garsini membelalakkan matanya, tak percaya atas keteledorannya.
“Yaaa… kita tak sempat menitipkan daftar belanjaan ke orang dapur. Sepanjang siang tadi aku tak bisa ke mana-mana, menjagamu…”
“Ah, sudahlah, maafkan aku… Mari, kita sahur apa saja!”
“Hanya sepotong roti kismis dan teh manis, mau?” bujuk Haliza, masih berharap agar sahabatnya mengurungkan niat berpuasa esok.
Gartsini telah bulat, menyambut tawarannya dengan penuh semangat. “Ya, tentu saja mau… mannnaaa?”
“Sungguh, kamu tampak sudah pulih!”
“Yeee… lha wong dari tadi juga aku merasa sudah pulih kok!” Haliza pun menyerah. Lagi pula, siapa yang kuasa menimpakan sakit dan memberi kesembuhan selain Sang Maha Penyembuh?
***
Garsini mendorong troli belanjaannya menyusuri rak demi rak di sebuah supermal kawasan Ginza. Tanpa terasa ini sudah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan.
Gerak-gerik Garsini tampak serba ringkas dan cekatan. Tangannya menjumput ini-itu sesuai daftar belanjaan di secarik kertas genggamannya. Siapa mengira, bahkan dirinya sendiri bahwa kesehatannya berangsur membaik sedemikian pesat. Beberapa hari yang lalu, Haliza sangat mengkhawatirkan demam tinggi yang menyerangnya sepanjang malam. Sehingga gadis itu nyaris putus asa untuk memberi tahukan keluarganya.
“Ini sungguh berkah dan hikmah Ramadhan,” decak Haliza saat mereka buka bersama, tepatnya hanya berdua di kamar. “Kamu tampak segar bugar, Garsini sayang. Tak ada sisa sedikit pun kalau kemarin malam kamu sakit. Subhanallah!”
Garsini kini tersenyum-senyum kecil. Ya, kekuatan maha dahsyat itu muncul di dua per tiga malam. Ketika ia melihat sosok Haliza mendirikan shalat tahajud, menengadahkan kedua tangannya, mendoakan dirinya kepada Sang Khalik. Beberapa saat sebelumnya kupingnya pun sudah mendengar suara Haliza. Memberi tahukan bahwa besok mereka akan mengawali bulan suci bulan Ramadhan yang pertama kali di Jepang.
“Sungguh kamu tidak apa-apa, Garsini?” Haliza menanyainya dengan cemas saat tengah hari. Ia kebetulan tidak kuliah hari itu. Demikian pula Garsini yang terpaksa izin sakit dalam tiga hari itu.
“Insya Allah, aku merasa tak kurang suatu apa… Lihat saja ni!” Garsini baru mandi air hangat, hendak shalat zuhur. Sebelumnya Haliza sempat melarangnya bangkit dari tempat tidur. Apalagi untuk mandi dan bershaum.
“Allah Maha Penyembuh yang tiada tara,” decak Haliza akhirnya harus mengakui mukjizat itu telah menghampiri Garsini, dan mereka merasakan berkahnya bershaum.
“Hari pertama berhasil kita lewati dengan nikmat,” kata Haliza saat mereka berbuka puasa. Meskipun tanpa kolak dan pembuka aneka ragam seperti bila mereka berpuasa di negeri sendiri, di tengah-tengah keluarga. Lama mereka hanya berdiam diri sambil mereguk teh manis hangat, ditambah beberapa potong kue basah khas Jepang. Istri Ojira-san yang membuatnya khusus untuk kedua gadis Muslim itu.
“Aku tahu kalian sedang menjalankan puasa,” kata istri penjaga asrama itu dengan hangat, menawarkan simpul kekeluargaan. “Karena kutahu kalian Muslim, seperti gadis Turki dan Pakistan yang pernah menghuni kamar kalian tahun sebelumnya…”
Wanita baik hati itu lalu bercerita sekilas mengenai kedua Muslimah yang dimaksudkannya. Gadis Turki dan Pakistan itu menghuni kamar yang sama selama beberapa semester. Kini mereka telah lulus dan kembali ke negerinya masing-masing. Melalui kedua gadis itulah, Bu Ojira mengenal apa itu Islam.
“Maaf, kalau selama ini kami kurang silaturahim,” kata Garsini tersipu.
“Kami tampak tertutup, ya kan Bu Ojira?” Haliza turut menyampaikan penyesalannya.
“Tidak juga,” elak Bu Ojira. “Kalian sangat ramah dan tahu tatakrama. Hanya mungkin kalian terlalu sibuk hingga kalian jarang mampir ke rumah kami. Padahal, rumah kami selalu terbuka untuk para gadis asrama. Terutama gadis baik-baik dan taat beragama seperti kalian ini. Ah, sayang sekali kami tak punya anak sebaya kalian. Rumah terasa sepi sekali…”
“Kalau mau, anggap saja kami ini anak Ibu!” seru Garsini renyah.
Bu Ojira tertawa kesenangan. Tak berapa lama kemudian ia pamitan dengan air muka berseri-seri. Sambutan kedua gadis itu agaknya sungguh telah menyenangkan hatinya yang tua dan menderita kesepian. Seberkas pencerahan telah menghangatkan sepotong kalbu yang renta dimakan usia.
“Baiklah, sekarang kita sungguh telah punya keluarga di Jepang,” komentar Haliza saat Bu Ojira berlalu, meninggalkan mereka dengan sepiring penganan lezat khas Jepang.
“Tampaknya Bu Ojira itu kesepian sekali, ya?”
“Anak-anaknya lelaki semua, lima-limanya katanya tadi? Tapi tak ada satu pun yang tinggal bersamanya. Dia hanya berdua Pak Ojira di rumah tua di belakang sana…”
Sejak itu mereka jadi sering mampir ke rumah keluarga Ojira. Suami-istri tua itu selalu menyambut mereka dengan hangat. Acapkali Garsini mengingatkan Haliza, agar mereka jangan lupa membalas budi baik pasangan lansia itu. Namun, ternyata Bu Ojira malah menggerutu tak senang, bila mereka
membawakan sesuatu.
“Kami tidak sedang jual-beli, anak-anakku,” kata wanita itu serius.
“Baiklah, maafkan kami, Okusan…” kata Garsini dan Haliza terharu sekali.
Persaudaraan yang terjalin secara mendadak itu pun agaknya salah satu berkah untuk mereka di bulan Ramadhan. Mereka harus bersyukur kepada kedua gadis Muslimah penghuni lama kamar itu. Entah syiar dakwah apa, ukhuwah Islamiah yang bagaimana telah ditawarkan kedua Muslimah itu. Sehingga Bu Ojira amat terkesan perihal bulan Ramadhan. Lalu ia tergerak untuk menyapa secara lebih dekat Garsini dan Haliza.
***
Bab 11

“Ini menjadikan ibrah buat kita, ya kan Haliza?” komentar Garsini.
“Tentu saja. Sejak saat ini kita harus lebih empati, lebih peduli terhadap orang-orang di sekitar kita,” Haliza berkata dengan nada serius.
“Ya, bagaimana pun sibuk dan kerasnya jadwal perkuliahan. Kita harus tetap mengingat syiar dakwah kita di mana pun berada!” janji Garsini yang segera disanggupi pula oleh Haliza dengan lebih serius lagi.
Beberapa saat lamanya perihal itu memang menjadi perenungan mendalam bagi Garsini dan Haliza. Sejak awal Ramadhan, Garsini pun berusaha meluangkan waktu bersilaturahim dengan komunitas Ayyesha.
Meskipun untuk itu ia harus menempuh perjalanan ke Sendai dalam dingin dan badai yang sering menghajarnya amat dahsyat. Ia pun harus sering jalan sendirian, karena Haliza tak selalu bisa menemaninya mengingat jadwal perkuliahannya lebih ketat. Memang dibutuhkan pengorbanan waktu, enerji dan perhatian khusus. Tapi berkah dan nikmatnya sungguh tak terkira.
Berkat hubungan baik dengan komunitas Ayyesha, ia bisa lebih banyak menambah wawasan keislaman, meningkatkan jumlah bacaan Al-Qurannya. Seperti sering dinasihatkan oleh seniornya, Selly, di masa lalu.
“Kita akan menyelenggarakan shalat Idhul Fitri nanti di Okinawa,” kata Ayyesha suatu kali. “Aku harap, kamu bisa bergabung dengan kami, ya ukhti?”
“Insya Allah,” janji Garsini yang belum tahu bagaimana mengisi hari raya Idhul Fitri di Negeri Sakura. “Boleh tahu, kenapa harus di Okinawa dan tidak di sini saja?” tanyanya pula hati-hati.
Saat itu Garsini mulai menangkap gerakan rahasia komunitas Ayyesha.
“Ini masih top secret…” Meskipun demikian, Ayyesha sudah mempercayai Garsini. Maka, meluncurkan berbagai penjelasan mengenai perjuangan warga Filistin yang tersebar di beberapa kota besar Negeri Sakura.
Garsini ikut merasakan semangat jihad yang senantiasa berkobar-kobar di mata Ayyesha dan rekan-rekan lainnya. Ia juga bisa memahami perjuangan mereka, bangsa Palestina yang selalu didzalimi dan ditindas oleh bangsa Israel.
“Ingatlah, kamu harus selalu waspada dan hati-hati menjaga diri di tengah komunitas Ayyesha itu, Garsini,” tanggap Haliza kala menyimak laporannya.
“Apakah menurutmu komunitas itu berbahaya?”
“Ngng… entahlah,” elak Haliza enggan. “Maksudku begini, kewajiban kita di sini yang utama adalah belajar. Menyelesaikan kuliah yang dibiayai pemerintah Jepang ini dengan sebaik-baiknya, tanpa cela.”
“Hal ini tak perlu selalu kamu ingatkan, Haliza,” protes Garsini agak tak enak hati.
“Jangan salah paham. Pendeknya, hati-hatilah di mana pun kamu berada. Kudengar nama komunitas itu suka dikait-kaitkan dengan teroris…?”
“Naaah! Kamu sudah terpengaruh propaganda Amerika!” tuding Garsini.
Haliza memutuskan percakapan itu dengan menguap. Sepanjang malam ia berkutat dengan literatur berbahasa latin dan Inggris. “Apa yang ingin kamu katakan lagi?” desak Garsini. Haliza menggeleng lelah.
“Sekarang apa yang sudah kamu lakukan untuk syiar dakwah itu?” pancing Garsini ingin tahu.
“Kupikir, aku akan lebih fokus dakwah di lingkunganku, kalangan paramedis di rumah sakit,” Haliza merebahkan diri di samping Garsini dalam keadaan kisruh-misuh, tapi semangat jihadnya tetap menyala-nyala dalam dadanya.
Garsini menghela napas panjang. Agaknya baru sebeginilah yang mampu mereka perbuat saat ini. ***
Garsini selesai dengan belanjaannya. Ia bermaksud menuju ke bassemen, Mayumi akan menemuinya di situ. Seketika matanya bersirobok dengan dua pasangan yang bergandengan mesra. Cristal menggelendot manja di lengan Jay Bachan. Sedangkan Anjeli dengan kekasih sejatinya, entah siapa pula namanya. Beberapa pria lagi tampak mirip para pesolek maskulin,
penggembira belaka dalam rombongan kecil itu.
Di mata Garsini para pria itu sama saja. Tampang badak, menjijikkan!
“Nah, itu dia salah satu dari duo penyihir Melayu!” si lidah beracun, Cristal sambil terkikik menyindir Garsini, tepat di belakangnya. Wajah Garsini memerah padam. Penyihir Melayu, jadi dialah biang gosip yang menyebarkan isu picisan itu. Sehingga Garsini dan Haliza sempat menjadi bahan olok-olok rekan seasrama. Sebelumnya Cristal tak berhasil memecah persahabatan kedua gadis Melayu ini.
Belakangan Garsini mengetahui perihal kedekatan Haliza dengan trio African-girls itu. Haliza berusaha menolong Gweeny yang sedang dalam kesulitan, hamil di luar nikah. Bukan buka praktek sihir, guna-guna seperti dituduhkan Cristal kepadanya. Bahkan Garsini sempat sedikit terpengaruh karenanya.
Haliza telah mengingatkan Gweeny agar tidak mengkonsumsi pil-pil sembarangan. Tapi gadis itu masih juga mengkonsumsinya secara diam-diam. Padahal, kekasihnya sudah bersedia bertanggung jawab dan ingin menikahinya secepatnya.
“Semuanya akan hancur begitu aku hamil!” keluhnya bersikeras.
“Kamu tidak tahu, Haliza. Kami akan dikucilkan oleh keluarga kalau hal itu terjadi…” Haliza tak paham dengan pikiran ketiga gadis itu. Kalau mereka mencemaskan reaksi keluarga dan bangsanya, mengapa hal ini sama sekali tak terpikir saat akan diperbuat?
“Kita kan anak muda, sekali waktu merasa kesepian… ingin cari kesenangan…” Ah, pembenaran-pembenaran itu!
Ketika proses aborsi itu mulai berlangsung, kedua rekannya ketakutan. Mereka membawa Gweeny agar berkonsultasi dengan Haliza. Telanjur, semuanya telah terlambat. Haliza sungguh menyesalinya, ia tak dapat berbuat banyak untuk menolong Gweeny selain menyarankannya untuk secepatnya pergi ke rumah sakit.
Konon, di perjalanan itulah Gweeny mengalami pendarahan hebat. Beberapa hari kemudian, Haliza diberi tahu oleh seniornya di rumah sakit tentang berita dukacita itu. Gweeny meninggal karena kehabisan darah tanpa sempat diangkut ke rumah sakit. Kedua rekannya meninggalkannya begitu saja di apartemen mereka. Pemilik apartemen menemukan jenazah Gweeny keesokan harinya dalam keadaan sangat memilukan.
Sejak itulah, mereka tak pernah lagi melihat sosok African-girls melakukan semacam ritual jalan bareng ke mana-mana…
Audzubillahi min dzalik, adakah contoh dampak gaul bebas setragis itu belum juga menggugah nurani mereka?
“Pssst, be careful… kabarnya dia jago taekwondo tuh!” kata pasangan Anjeli, tertawa mengejek.
“Aku ingin tahu kehebatannya di tempat tidd…” Jay Bachan tak sempat melanjutkan kalimatnya. Sebab tiba-tiba ada bayangan kilat menyambar tepat di depan hidungnya.
“Jangan ganggu gadis suci ini, brengseeek! Cukuplah kamu sudah berhasil melecehkan diriku… Lelaki tak bertanggung jawab, playboy picisan. Tak tahu malu, cuiiih!” Plaaak, plaaak!
Dua tamparan telak mendarat di pipi macho yang tak menduga dapat serangan kilat itu. Hanya sedetik Jay Bachan kaget, tapi sedetik berikutnya ia siap membalas perlakuan yang dirasakannya amat mempermalukan harga dirinya.
“Ha, Mayumi-san!” ejeknya sinis sekali. “Kamu pikir dirimu itu siapa, perempuan murahan?” dengusnya pula dingin. Wajahnya gantengnya telah berubah mirip tokoh Rahwana di mata Garsini.
Mayumi sama sekali tak gentar. Ia telah berhasil melewati masa-masa kritis itu rupanya. Tragedi yang menimpa Gweeny telah sampai ke telinganya, dan ia tak sudi mengikuti jejak gadis Afrika itu. Apalagi karena ibunya dengan sangat bijak dan penuh kasih sayang, berusaha keras memahami kesulitannya dan menyemangatinya.
Yap, kini Mayumi siap menumpahkan benci dan dendamnya.
“Perempuan murahan, katamu?” dengus Mayumi sambil mendongakkan dagunya.”Baiklah, inilah perempuan murahan yang pernah kamu bujuk rayu hingga menyerah total kepadamu. Inilah perempuan murahan yang sebentar lagi bakal melahirkan anakmu, Jay Bachaaan!” Mayumi berteriak-teriak histeris.
Insiden itu tak pelak telah mengundang perhatian orang-orang di sekitar situ. Dalam sekejap mereka segera merubungi anak-anak muda yang sedang beradu mulut, bahkan sudah menjurus ke adu kekerasan itu.
Wajah Jay Bachan berubah-ubah, merah padam, pucat pasi. Lalu bak Rahwana, ia pun segera memperlihatkan kepengecutannya yang keji dan sangat memalukan. Tangannya yang kekar sudah terangkat dengan tinju terkepal. Siap dihantamkan ke wajah Mayumi.
Sedetik Garsini teringat akan penglihatannya, suatu malam Mayumi mendatanginya di kamarnya dengan wajah biru lebam. Adakah saat itu pun ia habis diperlakukan keji oleh si Rahwana? Karena ia telah bolak-balik, memaksanya agar mempertanggung jawabkan perbuatannya?
Kala itu Mayumi tak mengatakan apa-apa selain menangis perlahan. Garsini tak paham, hanya bisa mengusap-usap rambut gadis itu dengan simpati dan hati turut mengharu biru.
Kini mata Garsini terbuka lebar. Ia cepat melihat reaksi lelaki yang telah berhadapan secara frontal dengan Mayumi itu.
“Hupsss… Sopan sedikit kepada kaum wanita, Bung!”
Tangannya yang mungil, senantiasa menyimpan suatu kekuatan dahsyat dampak latihan bertahun-tahun di dojo. Bahkan sampai kini pun masih dilakukannya secara diam-diam tiap punya kesempatan. Dan entah dari mana hasrat itu muncul, tahu-tahu telah menguasai sekujur tubuhnya yang menyalurkan seluruh kekuatan melalui tangannya…
“Ini hadiah dari Mayumi, haaaik!” Garsini melepaskan kekuatan yang menguasai dirinya itu melalui jurus handalannya. Bruuuaak…!
“Aduuuhhh…!” jerit kesakitan bagai menyapu pelosok supermal itu. Tubuh tinggi tegap itu seperti melayang sesaat, sebelum kemudian berguling-guling meluncur di antara undakan tangga menuju ke luar. Kepalanya pasti bakal mengalami gegar otak ringan bila seorang petugas tak berhasil mencegah daya luncurnya.
Anehnya, petugas itu membiarkannya begitu saja. Bahkan saat Garsini masih memburunya, ia berlagak tak melihat apa-apa. Cepat-cepat ia menjauhinya. Agaknya rombongan pria macho dan maskulin itu, sebelumnya pernah melakukan aksi yang dinilai atraktif di supermalnya. Hingga sang petugas merasa muak dan bosan berurusan dengan mereka.
“Dan ini dari calon putramu, hei Rahwana! Haaa… ugh, Mayumi?!”
“Jangan lakukan itu kepada ayah calon bayiku, Garsini-san, please ampunilah dia…” Mayumi telah mencegah pukulan telak di wajah si playboy picisan itu. Hingga wajah gantengnya terhindar dari kehancuran fatal.
Garsini terpaksa menghentikan serangannya, napasnya memburu dan tersengal-sengal. Ia menatap wajah sahabat Nippon-nya dengan tatapan tak mengerti. Namun, ia mematuhinya saat Mayumi mengisyaratkan untuk meninggalkan tempat itu.
Mayumi cepat-cepat menyeret lengan sahabatnya, melewati kerumunan orang-orang. Sementara erang kesakitan Jay Bachan segera menyibukkan Anjeli dan rekan-rekannya. Cristal sendiri tampak shock dan hanya terperangah, tak beranjak dari tempatnya berdiri. Apa yang dilakukan si penyihir Melayu itu?
Beberapa orang di pelataran parkir yang telah terhipnotis dan bergabung, serentak riuh memberikan aplus kepada Garsini.
“Begitulah seharusnya menjadi seorang gadis!”
“Tadi itu jurus taekwondo, ya?
“Pantasnya stuntgirl dari Hongkong…”
“Bagaimana kalau Yakuza yang lagi menyamar…”
“Pssst… diamlah! Dia melihat ke arahmu!”
Digelandang oleh Mayumi keluar supermal, diam-diam Garsini menyesali tindakannya dalam hati. Kenapa angkara itu masih juga sulit terelakkan, ya? Ia kembali teringat insiden yang menghebohkan di kampus UI dengan kelompok kiri, Donald. Itu pun terjadi di saat bulan suci bulan Ramadhan setahun yang silam.
“Sudahlah, kamu tak usah merasa bersalah,” hibur Mayumi salah paham, mengira Garsini menyesali telah melukai Jay Bachan.
Kalau kuasa aku ingin, ugh… Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang selalu khilaf ini. Mayumi kelihatannya sudah cukup puas berhasil mempermalukan Jay Bachan di depan orang banyak. Hanya sampai di situ saja, tak perlu lebih.
“Sungguh, kamu sedang mengandung anaknya, Mayumi?” Garsini menanyainya serius, ketika mereka telah berada di atas taksi. Rumah Mayumi dan asrama masih satu arah.
Mayumi mengangguk dengan wajah memerah. Tapi Garsini merasa tak keliru, bisa melihat kemerlip bintang di sepasang mata indah itu. Mayumi pun memberi tahu perihal sikap ibunya menerima kenyataan ini.
“Syukurlah, kalau Okusan sudah tahu semuanya,” Garsini menghela napas lega. “Jadi, sekarang kalian tinggal serumah lagi kan?”
“Okusan yang pindah ke tempatku. Oya, aku belum cerita kepadamu tentang Bosku yang baru. Kamu harus tahu, aku sudah pindah kerja ke tempat lebih baik dan aman,” suaranya terdengar sarat semangat baru.
“Kamu lenyap dari peredaran dalam sebulan terakhir,” protes Garsini.
“Begitulah,” Mayumi tertawa riang. “Kami sibuk pindah dan mengecat ulang tempat tinggal… Bosku yang baru adalah pemilik ryokan di ujung jalan sana. Itu lho yang pernah ditinggali oleh sepupumu dulu…”
“Ya, aku ingat itu. Coba ceritakan, bagaimana reaksi kakakmu?”
“Kakakku,” desis Mayumi seketika muram kembali. “Apa kamu tidak pernah baca pemberitaan di koran-koran, tentang kakakku…”
“Hmm, mereka bilang Akira-san kini menjadi gembong Yakuza. Pernah juga kubaca berita tentang sepak terjang mereka di bawah pimpinan kakakmu. Membuat keributan di istana seorang pejabat penting Jepang? Ugh, itu pasti hanya gosip murahan saja, ya kan?”
“Sayangnya itu benar. Kakakku sudah berhenti dari kuliahnya. Dia kemudian bergabung dengan Yakuza, entahlah… Konon, dia melakukan itu hanya untuk menarik perhatian ayah kami…”
“Oh, jadi Menteri itu ayah kalian?” Garsini tertegun-tegun.
“Ya… Dan berkat pengaruhnya juga akhirnya kakakku dibebaskan begitu saja. Kasusnya dipetieskan… Kamu tahu, dia menyuruh kawanannya untuk menghabisi Jay!”
Percakapan sekitar Akira-san dengan Yakuzanya terputus. Taksi telah sampai di ryokan Etsuko. Garsini meluangkan waktu untuk mampir. Wanita sebaya ibunya itu masih saja santun, ramah dan hangat menyambut kedatangannya.
“Wah, sutekina fuku desu ne!” sambut Etsuko-san.
“Anata wa kirei desu ne!” tambah Mayuko-san. Betapa sering Garsini mendengar dua kalimat di atas. Wah, bajunya bagus ya. Kamu cantik ya… Bahkan tak jarang diucapkan oleh nenek-nenek yang baru pertama kali dijumpainya di gerbong keiosen.
Masyarakat Jepang senang sekali memuji orang, keluhnya suatu saat kepada Mayumi. Ya, tapi itu belum tentu dari lubuk hatinya terdlam. Hanya basabasi saja. Jadi, kamu jangan kegeeran kalau lagi dipuji…
Namun, Garsini merasakan aura kehangatan dan ketulusan memancar dari kedua wanita ini. Keduanya segera sibuk menyiapkan makanan pembuka. Segalanya disediakan demi menyenangkan hati sang tamu. Hingga Garsini tak sampai hati untuk menolak. Akhirnya ia buka di ryokan yang sedang sepi itu.
“Bagaimana kabarmu sekarang, Nak?” tanya Mayuko sambil menemaninya makan di samping Etsuko. Garsini terharu sekali akan kehangatan dan kasih sayang yang ditawarkan kedua wanita itu kepada dirinya. Untuk beberapa saat ia merasa mendapat limpahan pemanjaan.
“Alhamdulillah… baik-baik saja.”
“Hei, apa itu?” tanya kedua wanita itu serempak, menatapnya ingin tahu.
Mayumi yang menjawabkannya.”Thank’s God, puji syukur kepada Tuhan… Itu namanya hamdalah, bacaannya orang Islam.”
Garsini terbengong mendengar kepasihan sahabatnya menerangkan kalimat spontan tadi. Etsuko dan Mayuko sesaat berpandangan, tapi kemudian memutuskan untuk mengindahkan hal itu.
Garsini sangat sibuk mengejar prestasi gemilangnya, hingga nyaris tak memiliki waktu untuk urusan pribadi. Bahkan Ucok sampai marah-marah melalui emailnya, karena kakaknya tak sempat membalas surat-surat dari keluarganya.
“Apalagi sekarang dia menjadi asisten pribadi Profesor Charles del Pierro. Huu, pasti dia semakin sibuk, Bu!” Mayumi mengadu kepada ibunya.
“Saya hanya membantunya membuatkan program… menyusun semacam katalog, ensiklopedia mini tentang perbandingan budaya bangsa Asia,” kata Garsini merendah.
“Tapi itulah yang telah membuatnya melesat dari rekan-rekan gakusei lainnya. Dia ini salah satu pengecualian gakusei berasal dari Indonesia yang sangat kreatif, inovatif… pendeknya jeniuslah!” Mayumi habis-habisan memuji.
“Tuluskah?” goda Garsini menatap wajah sahabatnya.
Mayumi maklum dan tertawa geli.”Iya, kali ini aku lagi tulus pahaaam?”
Suasananya menjadi semakin hangat dan riang. Etsuko dan Mayuko sangat senang dan menikmati keriangan anak muda ini. Mereka jarang bisa berkumpul seperti ini. Apalagi sejak putri Etsuko terpaksa masuk ke rehabilitasi mental di luar kota. Kesenyapan dan kesedihan terasa menggayut di pelosok ryokan.
Mayuko-san menatap wajah jelita itu dengan iba. “Kamu jauh lebih kurus dari saat kita terakhir bertemu. Malam ini kamu harus menginap di sini, ya?”
“Iya, Nak!” dukung Etsuko berseri-seri. “Kami akan menyiapkan apa itu... makan pagi sekali?"
“Namanya makan sahur,” lagi-lagi Mayumi yang menjelaskan. Hingga Garsini baru menyadari, betapa cukup banyak pengetahuan Mayumi mengenai Islam. Adakah hidayah-Nya mulai mengelus kalbu Mayumi?
Sayang sekali, Garsini dengan sangat menyesal terpaksa menolaknya. Ia sudah janji untuk itikaf bersama Ayyesha dan komunitas muslimnya di Sendai.
“Kamu harus sering-sering mampir ke sini, ya?” pinta Mayuko.
“Ya, biar kami bisa menjamu kamu sepuasnya!” janji Etsuko.
Kedua ibu itu melepas Garsini dengan wajah berseri-seri, penuh harapan baru dan pencerahan agaknya. Mereka pengecualian, pikir Garsini. Tak sekadar basa-basi melainkan keluar dari hati yang ikhlas. Ini membuatnya sukacita. Ternyata ia telah berhasil memikat dua orang ibu. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari keluarga. Dan penemuan itu membuatnya bertambah tegar dalam melangkah hari-harinya di Negeri Sakura.
***
Bab 12

Malam tahun baru yang diharapkan para gadis di asrama itu akan bertabur cinta dan kasih. Haekal duduk dengan rikuh di ruang tamu di bawah tatapan kagum makhluk bernama gadis yang berseliweran. Mereka entah sengaja atau tidak, pamer kemolekan di sekitarnya. Bak para supermodel bergaya di atas catwalk. Sehingga membuat Haekal semakin rikuh dan jengah sendiri.
Beberapa kali Mayumi memergoki pemuda itu bangkit, kemudian jalan mondar-mandir dengan gelisah. Karena tak dipedulikan, akhirnya para makhluk molek itu jemu juga, raib entah ke mana. Sebagian telah pergi dijemput pasangannya, atau memperoleh kencan dadakan.
Namun, masih ada seorang gadis yang tampaknya amat tertarik kepada pemuda itu. Cristal ekstra keras bergaya dan beberapa saat secara serius melakukan atraksi pribadinya, menggoda Haekal.
Baru kali inilah Mayumi punya kesempatan mengamati pemuda Indonesia itu dari jarak dekat. Haekal tampaknya bersikap acuh tak acuh, sama sekali tak mempedulikan kerling genit, senyum menantang dari bibir menyala milik Cristal. Ia menundukkan kepalanya, tepekur menatap ubin di kakinya, mungkin juga ujung sepatunya yang masih dinodai percikan salju.
Ah, ke mana Garsini? Kenapa dia begitu lama membiarkannya sendirian di sarang macan betina ini? Masihkah dia belum bisa memaafkannya?
Mayumi terus mengamati Haekal dari tempatnya duduk di sofa sudut ruang tamu lantai bawah. Tak terlalu pendiam, tapi tampaknya suka merenung dan menyendiri. Tampangnya itu, very-very cool!
Hmm… pantasnya perawakan atletis dan tampang keren begini, aktorlah, gumamnya membatin. Inilah untuk ketiga kalinya memergoki Haekal tengah menanti Garsini dengan segala kesabaran dan kesetiaan nan mengagumkan. Namun, ia tak pernah berani mendekatinya apalagi menyapanya.
Ia telah punya komitmen tinggi dengan Garsini akan hal ini. Meskipun Garsini hanya tertawa kecil mendengar tekadnya itu. Kan menurut Islam, kita harus memelihara kehormatan. Harus menutup hijab antara wanita dan pria. Ah, tapi kamu kan bukan orang Islam. Iya, tapi mana tahu kan suatu saat nanti…
Lagi-lagi Garsini hanya tertawa kecil. Mayumi cemberut dibuatnya. Dari mana perubahan pemikiran itu muncul, Garsini membatin. Adakah itu terimbas dari perubahan total yang terjadi pada diri Jay Bachan?
Sesungguhnya dari Jay Bachan, Mayumi serasa telah mengenal begitu baik makhluk alim ini. Jay Bachan yang telah berubah total berkat kedekatannya dengan Haekal, sangat mengaguminya. Hampir tak henti-hentinya Jay menceritakan kebaikan Haekal. Bermula dari insiden pengeroyokan temanteman kakak Mayumi, mereka yang mengaku anggota Yakuza.
Sejak saat itu Jay sangat menghormati Haekal dan ingin selalu berdekatan. Meskipun kemudian rekan-rekannya mengucilkannya, Jay tak peduli. Ada semacam magnit, daya tarik yang amat kuat melalui tali ukhuwah Islam yang diulurkan Haekal kepadanya.
Ada beberapa kali Haekal memintanya mendampinginya untuk menemui gadis itu. Baik di kampus maupun di asramanya. Dari situlah Jay mengetahui “kelainan” hubungan kedua anak muda itu. Garsini tak pernah mau jalan bareng, bila hanya berduaan. Begitu pula bila bercakap-cakap singkat, keduanya memilih tempat yang terbuka dari pandangan umum. Jay tak pernah melihat wajah ganteng itu kesal atau kecewa, bila Garsini menolak kedatangannya.
Haekal hanya akan tersenyum bijak, melepas Garsini kembali ke kamarnya di lantai dua. Sedang ia sendiri akan pulang ke asramanya, menempuh hujan badai, salju tebal. Jay bersungut-sungut di belakangnya, tak paham akan bentuk hubungan kedua manusia berlainan jenis itu.
***
Suatu hari Jay Bachan memergoki mereka lagi berbantahan keras di kampusnya. Diakhiri dengan kepergian Haekal, wajah yang merah padam dan terluka. Sedang Garsini berlari-lari sambil membawa isak tangisnya yang terdengar menyayat di telinga Jay Bachan.
Jay mengira hubungan mereka takkan bisa dipertahankan lagi. Ada masalah, something wrong di antara mereka, pikirnya. Padahal, saat itu sosok Haekal sudah sangat mempengaruhi perubahan yang terjadi atas dirinya. Bahkan Jay Bachan hampir mengidolakannya sebagai sosok orang suci, bagaikan Dewa laiknya.
“Jangan, jangan pernah pandang aku seperti itu,” tegur Haekal keras.”Aku hanya seorang manusia biasa, manusia yang banyak kelemahan, banyak melakukan kekhilafan… Kamu sudah lihat buktinya beberapa menit yang lalu. Aku sudah menyakiti gadis suci itu, menyakiti hatinya secara telak!”
Jay Bachan menggelengkan kepala, kebingungan. Mereka mampir di caffee-house dekat kampus. Hujan badai menghambat perjalanan mereka untuk sementara waktu. Musim dingin terasa menggigit di akhir bulan Nopember.
“Kopi saja rasanya takkan mampu mengusir hawa dingin ini. Boleh aku pesan minuman beralkohol?” tanya Jay meminta pendapat Haekal.
“Karena kamu bukan seorang Muslim, silakan saja, terserah kamu.”
“Ooh, jadi kalau aku Muslim, tak boleh minum minuman beralkohol, ya?”
Haekal mengangguk dan ia tak mempedulikan tatapan keheranan orangorang sekitarnya. Karena ia sama sekali tak memesan apa-apa. Ia sedang berpuasa. Jay amat mengagumi kekuatan hati orang Islam melalui sosok Haekal, bershaum selama satu bulan tanpa meninggalkan aktivitas kesehariannya.
Haekal baru tugas jaga malam, paginya sengaja mampir ke kampus Garsini. Seharusnya gadis itu sangat senang dan berbahagia memiliki kekasih sesetia Haekal, pikir Jay. Kenapa malah tadi seperti mengusir-usirnya?
“Puasaku sudah batal karena sempat marah-marah tadi,” keluh Haekal. Inilah untuk pertama kalinya Jay melihatnya begitu kisruh-misuh.
“Aku tidak paham dengan kelakuan kalian,” protes Jay. “Bukankah kalian pasangan kekasih yang saling mengasihi? Tapi kenapa kalian tak pernah bisa jalan bareng berduaan, memadu kasih seperti lazimnya pasangan kasmaran lainnya?”
Haekal menghela napas berat. Gelisah duduk di antara para pelanggan kafe, ia menyilakan Jay untuk memesan minuman dan penganan. Meskipun ia merasa puasanya sudah batal, tapi tak punya niat untuk makan dan minum di siang hari.
Jay akhirnya memutuskan untuk mengikuti jejak Haekal, tak memesan apa-apa. Walaupun harus dipelototi pemilik kafe, ia lebih suka mengeluarkan beberapa puluh yen sebagai kompensasi tempat mereka berteduh.
“Kami memang berniat untuk menjadi suami-istri, suatu hari nanti,” ungkap Haekal kemudian.
“Aku sudah menduganya!” tukas Jay tak sabar.”Tapi kenapa kalian begitu asing kelihatannya? Maksudku, aku tak pernah melihat kalian kencan apalagi bermesraan?”
Wajah Haekal merona. Ia menjelaskan secara singkat tentang makna mahram dan non mahram, tentang halal dan haram, tentang khalwat, hijab… Sehingga Jay mengangguk-angguk paham.
“Dalam agama Hindu pun ada banyak aturan dan disiplin, tapi aku sudah lama tak mempedulikannya. Mungkin sejak mereka membuangku ke luar negeri. Mula-mula ke Amerika, Inggris dan sekarang aku terdampar di Negeri Sakura… tanpa masa depan!”
“Jangan pesimis begitu, aku kan sudah berulang kali mengingatkanmu,” tegur Haekal tak enak.”Masa depan itu tetap ada dan terletak di tanganmu sendiri. Semuanya tergantung bagaimana kamu memperlakukannya… Hei, katamu tempo hari utusan keluargamu sudah datang untuk menjemputmu?”
Jay mengangguk. Pamannya, Vijay untuk ke sekian kalinya diutus oleh keluarga besarnya di New Delhi. Paman Vijay mengingatkannya agar segera merubah gaya hidupnya yang amburadul. Ayahnya konon sudah tak sabar lagi menanti perubahannya.
“Katanya, kapan kamu akan merasa siap untuk mengambil alih kekuasaannya? Dia merasa sudah semakin tua dan lelah. Kedua kakakmu tak bisa diandalkan lagi, karena mereka lebih suka dengan karier politiknya. Ingatlah, Jay, perusahaan kita semakin melebar ke pelosok dunia, tak sabar lagi menantikan Sang Pangeran untuk mengembangkannya…”
Jay hanya terdiam seribu basa. Harapan itu terlalu tinggi, terlalu berat diletakkan ayahnya ke atas bahu-bahunya yang ringkih. Lemah dan ringkih karena kepengecutan dirinya untuk tampil sebagai pemenang. Trauma masa silam itu sangat dalam memasung jiwanya. Bayang-bayang kedua kakak lelakinya yang sukses sebagai politikus, rasanya terlalu beban untuk disaingi.
Jay terkucilkan, lebih suka hidup di mancanegara sebagaimana dulu orang tuanya mengkondisikannya demikian. Jay pun kembara ke mana saja dia suka. Tualang ke sana ke mari, bahkan dari satu pelukan wanita ke pelukan wanita lainnya. Menghamburkan setiap rupee yang ditranfer keluarganya, hidup foya-foya dan hura-hura sebagai pelarian.
Namun, pelarian itu ternyata nol belaka! Bahkan memberinya dampak yang sangat menjijikkan, dosa tak terampunkan. Beberapa minggu setelah insiden di supermal yang memberinya kabar mengejutkan, kehamilan Mayumi, Jay jatuh sakit. Dokter kemudian memvonis dirinya dengan suatu penyakit memalukan; gonorhea!
Kali ini paman Vijay baru pulang setelah memberi ultimatum,”Kalau dalam tempo dua bulan kamu masih begini saja, jangan harapkan lagi sokongan fasilitas dan kemudahan dari keluarga besarmu di India!”
Itu berarti, dia akan hidup sengsara di negeri orang untuk selamalamanya. Nehiiii!
“Baik, Paman Vijay, lantas apa saranmu?” seru Jay ketika melepas keberangkatan pamannya di bandaran Narita.
“Berubahlah secara total, Jay Bachan! Carilah seorang gadis untuk mendampingi hidupmu, mengarahkan jalanmu… Paham kamu, Jay, paham?” mata Paman Vijay berkaca-kaca.
“Siapapun gadis itu, ya Paman?”
“Siapapun dia asalkan bisa membuatmu menjadi orang lagi, Jay Bachan!”
Sekarang aku telah menemukan gadis itu, jerit Jay bachan. Bahkan dia sudah mengandung putraku, tapi bagaimana kalau… Anak itu terlahir cacat? Mayumi dengan bijak dan pasrah tetap menyemangatinya, setelah Jay mengungkapkan kondisinya secara jujur. Tak ada yang disembunyikan lagi.
“Kita lihat saja kenyataannya nanti, Jay. Bukankah kita harus selalu memiliki keyakinan itu, kepercayaan akan takdir-Nya?” Inilah saatnya Jay merasa dirinya telah mengalami perubahan total. Siapapun pemicunya, apakah itu berkat kedekatannya dengan Haekal atau kehamilan Mayumi… Tak usah diperdebatkan lagi, sebab yang jelas ini akan sangat menyenangkan.
“Peganglah keyakinan itu, Jay. Kamu kuat, kamu akan sanggup melewati masa-masa kritis hidupmu. Selain ada Mayumi, ada keturunanmu, harapan keluarga besarmu… Nah, apalagi yang kamu harapkan? Semuanya itu menjadi karunia dalam sisa hidupmu kelak,” semangat Haekal seperti biasa menggebugebu, mengalahkan kisruh-misuh di wajahnya dan persoalan pribadinya.
“Aku ingin minta sesuatu darimu, Aa Haekal,” cetus Jay Bachan sebelum meninggalkan kafe itu.
“Apa itu?” Haekal tengadah, menatap paras pemuda India yang menatapnya dengan mimik serius itu.
“Ajaklah aku… maksudku kami berdua, aku dan Mayumi untuk memeluk agamamu Islam.”
Haekal melengak, sesaat kemudian ia tersenyum bijak. “Itu tak sesederhana perkiraanmu, Jay. Mayumi sendiri harus meyakininya, jangan sampai merasa terpaksa… Pertimbangkanlah kembali matang-matang!”
Tapi Jay telah merasa mantap agaknya. “Baiklah, kalau begitu dimulai dari diriku dulu, ya Ustaz?” katanya. “Bagaimana caranya aku bisa memeluk Islam?”
Menghabiskan hari itu, mereka menuju Wisma Nusantara. Haekal memperkenalkan Jay kepada taklimnya, dan mengungkapkan niatnya. Mereka sangat hangat dan menyambut gembira keinginan Jay.
Maka, Jay pun dibimbing melafalkan dua kalimah syahadat oleh Cak Wahid, seorang guru agama yang sedang bertugas sebagai staf pengajar di sekolah internasional.
Haekal kemudian melimpahinya dengan sejumlah buku tuntunan Islam. Jay pun mempelajarinya dengan sangat serius dan istiqomah. Ia sungguh ingin menjadi sosok yang baru, manusia baru dalam perubahan total, dalam kepasrahan seorang Muslim.
***
“Tolong, katakan terus teranglah, Garsini-san. Kita kan bersahabat, sudah seperti saudara malah… Apa sebenarnya yang kalian pertengkarkan?” tanya Mayumi beberapa hari yang lalu.
“Hanya salah paham saja,” elak Garsini, tapi jauh di lubuk hatinya ia meragukan; adakah itu sekadar salah paham belaka? Ataukah lebih dari sekadar itu? Benih-benih perbedaan di antara mereka?
Garsini masih juga menyembunyikan masalah yang terjadi antara dirinya dengan pemuda itu. Bahwa ia sudah banyak memberi kesempatan, tetapi Haekal selalu mengulangi kesalahan yang sama. Mencemburui, mencurigai… habis-habisan!
Sungguh tak masuk akal. Kenapa sikapnya jadi berubah begitu mengesalkan, ya? Itu mengingatkan Garsini akan sikap ayahnya. Ia masih trauma dengan masa lalunya, kekerasan yang kerap terjadi dalam rumah tangga orang tuanya. Semua diakibatkan oleh ketakpercayaan Papa terhadap cinta Mama.
Aduuuh… demi Allah! Aku tak ingin hal yang sama terjadi dalam keluargaku kelak!
“Nah, kalau begitu maafkanlah dia, temuilah dia sana!” Garsini bersikeras tak mau menemuinya. Sehingga terpaksa Mayumi ke bawah. Melalui Jay yang selalu jalan bareng dengan Haekal dalam beberapa pekan itu, ia menyarankan mereka agar sebaiknya pulang saja.
Pertengkaran itu sungguh melukai hati Garsini yang murni dan mungil.
“Betulkah si De Broer itu sepupumu? Dan kalian berduaan saja bepergian ke Hisroshima?” cecar Haekal, ketika Garsini menceritakan semuanya secara terus-terang. Tak ada yang dirahasiakan.
Aduuh, kenapa Aa Haekal menyangsikan kejujuranku, pekik Garsini sakit hati sekali kala itu. Apalagi ketika sampai beberapa waktu Haekal secara terusmenerus mencecarnya, berbagai pertanyaan, melalui telepon dan mail-mail.
Seribu luka pun turut merajam sukma Garsini!
“Bagaimana tidak ngambek, sikapmu itu terlalu dingin kepadanya. Tak seperti seorang kekasih… Lama-lama dia akan cari pacar baru, Garsini!” tegur Mayumi pada malam lebaran yang lalu, menyesalkan sikap sahabat Indonesunya yang dinilai aneh.
Haekal tak berhasil mengajak Garsini pergi ke KBRI, meskipun sudah susah payah mengajak serta Jay Bachan. Garsini memilih tinggal di kamarnya dengan dalih untuk melakukan tafakur, itikaf dan bertakbir sendirian. Sebab ia pun tak bisa ikut bersama kajian Ayyesha, terlalu riskan untuk menempuh badai salju menuju Sendai. Apalagi seorang diri.
Ketika itu Mayumi amat surprise dan mulai membuka hati untuk memaafkan Jay Bachan. Haekal telah berhasil melakukan pendekatan, bahkan sanggup mempengaruhi pikiran Jay Bachan. Luar biasa!
“Bagaimana kalau dia sudah dimanfaatkan oleh Aa Haekal, ayo?”
“Apapun itu… aku tak peduli! Bagiku yang penting, Jay sudah berubah dan itu sangat menakjubkan!”
“Bagaimana kalau perubahannya hanya sementara? Hanya untuk membuatmu kembali ke dalam pelukannya? Setelah kalian menikah dia akan…”
“Itulah yang paling kuinginkan, menikah! Setelah itu aku sungguh tak ingin apa-apa lagi!” Garsini geleng-geleng kepala. Ia tak bisa membayangkan seandainya Mayumi kembali dikecewakan. Bagaimana kalau dia sampai harakiri, duuuh…!
“Jawablah dengan jujur, apa betul kalian pasangan kekasih?” Mayumi kembali mendesaknya soal status Haekal bagi gadis itu. Garsini hanya akan tersenyum lembut. Membuat Mayumi geleng kepala.
”Kami tidak pacaran, Mayumi-san. Dia ingin menjadikanku istrinya, tapi tidak sekarang, suatu hari nanti. Jadi, kami harus memelihara hubungan suci ini, Jangan sampai terkontaminasi oleh hasrat, nafsu atau nikmat sesaat belaka… Aku percaya, dia takkan macam-macam, insya Allah!”
Gadis satu ini memang luar biasa! Islam, itukah berkahnya iman dalam Islam? Semakin kagum Mayumi terhadap Garsini, semakin tinggi pula rasa ingin tahu dan penasarannya akan agama yang dipeluk gadis itu. Agama yang telah sangat memperngaruhi jalan hidup Jay Bachan.
***
Ketika untuk ke sekian kalinya Cristal yang mengenakan gaun seronok, melenggang-lenggok secara atraktif di sekitar ruang tamu itu, Mayumi merasa tak tahan lagi untuk menegurnya. Ia pun bangkit dari sofa, tempatnya duduk berdiam diri dalam lima belas menit terakhir, menunggu kedatangan Jay Bachan yang telah janji menjemputnya di asrama malam itu.
“Jaga sikapmu, Cristal, please,” bisiknya mendesir di telinga gadis Swedia yang pernah melecehkannya, bersombong-ria mengklaim sebagai penakluk semua penghuni apartemen Hindustan di Shinjuku itu.
Cristal menjengek sambil mencibir sinis, terang-terangan menghina Mayumi. “Apa urusanmu di tempat terhormat ini, he perempuan murah?” dengusnya tajam menikam, langsung mengenai ulu hati Mayumi.
Mayumi tidak tampak marah. Bibirnya malah melepas sesungging senyum, dalam satu keyakinan janji orang terkasih, seperti kemarin didengarnya melalui telepon. Jay Bachan entah untuk ke berapa kalinya mengungkapkan, kesediaannya bertanggung jawab sebab telah menyadari semua dosa-dosanya. Ia bertekad menebusnya dalam wujud satu ikatan pernikahan resmi. Bahkan ia rela melakukan apapun demi mewujudkan niat baiknya itu.
Sejak insiden di supermal itu, Jay Bachan mengalami perubahan total. Mayumi takkan pernah menanyakan detailnya perihal perubahan itu. Ia sangat surprise dan sungguh berbahagia menerima kenyataan seindah ini. Bukan mimpi, sungguh kenyataan. Jay telah berkali-kali mendatangi tempat tinggalnya. Menemui ibunya dan menyampaikan penyesalan sekaligus keinginan baiknya, mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap Mayumi.
Ampuni aku, berilah kesempatan kepadaku untuk menjadi ayah yang baik bagi bayi kita kelak. Kamu mau menjadi istriku bukan?
Hati Mayumi kini dilumuri kehangatan cinta, kelembutan janji yang terpancar melalui mata Jay Bachan… Dia telah berubah total, aku percaya kini!
“Sudah tuli, ya? Apa tidak malu masih keluyuran dengan perut buncitmu itu? Sudah berapa bulan, lima-enam…?”
“Aku memenuhi janjiku kepada sahabatku, Garsini,” ujar Mayumi datar tanpa mempedulikan semburan hinaannya. “Kami akan pergi ke KBRI untuk…”
Tidak juga, bantahnya cepat dalam hati. Garsini sudah sejak kemarin menyatakan keberatannya pergi malam ini. Kecuali jika ada sesuatu yang luar biasa, katanya tegas.
“Ahaaaa? Apa kupingku tak salah dengar nih?” ejek Cristal sambil mendengungkan tawa yang terasa kejam menikam di telinga Mayumi.”Kamu sudah semakin parah jadi pemimpi ulung, ya? Kamu pikir, Jay akan datang ke sini? Bareng kalian untuk malam tahun baru… hemm?”
Mayumi tak bereaksi lagi, memilih kembali ke sofanya di sudut ruang tamu. Dalam beberapa bukan terakhir, setelah secara berkala berdiskusi panjang-lebar mengenai keyakinan, kepercayaan diri dengan Garsini…
Mayumi ingin menjadi seorang yang istiqomah terhadap Tuhan sahabat baiknya itu. Allah… Allah Sang Pengasih! Apakah itu hidayah, tanyanya suatu saat kepada Garsini. Hidayah itu sesuatu nikmat, berkah yang menghinggapi dan bersemayam secara kokoh di kalbu seorang manusia. Maaf, aku juga bukan guru agama, bukan pakarnya, tetapi itulah yang pernah kupelajari, kata Garsini.
Betapa aku menginginkan hidayah itu menghinggapi dan bersemayam dengan kokoh di kalbuku ini!
Sementara Haekal baru kembali dari teras dan aksi mondar-mandirnya. Begitu dilihatnya pemuda itu kembali masuk, Cristal terpaksa melepaskan kesempatan untuk melukai hati Mayumi. Cepat-cepat ia stel habis gaya dengan segala percaya dirinya, menghampiri Haekal.
Kali ini Cristal sengaja menghadangnya, berdiri menantang di depan hidungnya. Tentu saja berikut gaun seronok, berleher rendah dan berbelah panjang di kedua pinggir pahanya.
Mayumi mengamati semua gerak-gerik kedua makhluk itu dari sudutnya, beberapa meter dari mereka. Entah apa yang dikatakan oleh Haekal kepada Cristal. Pasti sesuatu yang sangat mengguncang jiwa Cristal. Dampaknya kentara sekali dari mimik dan gerak-gerik gadis Swedia itu. Sebuah tragedikah?
Namun, Cristal masih juga berlagak pilon, berlenggok menghampiri sudut Mayumi.
“Ugh, jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan Jay,” cetus Cristal begitu berdiri di depan hidung gadis Jepun itu. Pacar si Garsini itu pasti sudah sinting! Mana mungkin Jay sudi menikahi gadis murahan ini, desisnya sebal.
Mayumi merasa jemu dan muak meladeni keangkuhannya. Ia memutuskan untuk bungkam seribu basa. Seketika ekor matanya menangkap dua sosok baru muncul di ambang pintu. Mayumi bangkit kembali dan perlahan mengamati orang-orang itu.
My God, itulah mereka, persis seperti janji Jay tempo hari. Dia tak pernah ingkar janji lagi, pekiknya hampir histeris. Jay berdua Paman Vijay, sangat apik dengan tuksedonya, tapi Jay dengan kemeja… Muslimnya!
***
Bab 13

Haekal pun bergegas menyongsong kedua orang yang sejak tadi dinantikannya dengan harap-harap cemas. Agaknya Jay berhasil meyakinkan pamannya, bahkan mendatangkannya dari India untuk merestui keputusan penting dalam hidupnya.
“Assalamualaikum…” sapa Jay mendahului.
“Wa alaikumussalam…” sahut Haekal tertawa senang, dijabatnya tangan Paman Vijay. Kemudian ia memeluk Jay erat-erat.”Kamu sudah mantap, ya?”
Jay mengangguk tegas. “Tentu saja, insya Allah, malam ini aku ingin memperistri Mayumi. Menikahinya secara Islam seperti yang telah kujanjikan kepadamu tempo hari itu. Paman Vijay bisa memahami keputusanku, tanyakan sendiri kepadanya…”
Mayumi yang diam-diam menguping percakapan mereka menghela napas dalam-dalam. Adakah ini sepotong mimpi dari seluruh impian dan harapan yang ingin disampirkannya ke bahu Jay Bachan? Cristal mencoba berusaha memahami apa yang tengah terjadi.
“Hei, apa betul kalian akan menikah malam ini di…?” Mayumi tak menggubrisnya, sebab Jay telah menghampirinya dengan wajah bersinar-sinar. Paman Vijay dan Haekal mengikutinya dari belakang.
“Kamu mau menjadi istriku malam ini, ya kan Mayumi-san?”
Mayumi tegak berdiri dengan perut lima bulannya, kali ini mulai bisa mengembangkan seulas senyum lembutnya. Setelah melewati malam-malam yang terasa sangat menakutkan dan sarat kebimbangan. Hari-hari yang meresahkan di bawah sorot mata hinaan, menanggung aib tak terampunkan. Seandainya tanpa dukungan ibunya dan majikannya, Etsuko-san…
Mungkin ia pun sudah melakukan harakiri!
”Tentu saja, tapi… aku ingin mengikuti jejakmu dulu. Bisakah?” Suaranya sama sekali tidak gugup, kepercayaan dirinya sudah kembali dan sangat kokoh!
“Maksudmu…?”
“Bimbinglah aku ke dalam keyakinanmu, agama barumu yang telah membuat dirimu sangat berubah, banyak diberkati Tuhan…” kata-katanya terdengar amat indah di telinga Jay dan Haekal.
Kemudian katanya pula kepada Haekal yang masih terperangah. “Haekalsan, apakah aku bisa melakukannya?”
“Insya Allah bisa, nanti akan diatur sesuai keinginanmu,” janji Haekal.
Paman Vijay giliran menyampaikan restunya secara resmi. “Kami sudah menerima keputusan Jay. Semuanya sangat sukacita. Mereka ingin segera melihatmu, Nona Mayumi… Minggu depan bisakah kita pulang ke New Delhi?”
Jay menengahi “Jangan terlalu memaksakan kehendak, Paman Vijay, please… Biarlah Mayumi rembukan dulu dengan keluarganya.”
Agaknya hal itu memang sudah dipertimbangkan masak-masak oleh Mayumi. Bahkan restu ibunya telah diperoleh jauh-jauh hari. Termasuk restu Akira yang sempat mendekam di balik terali besi, belakangan segera dikeluarkan oleh ayah kandungnya yang tak mau karier politiknya lebih hancur.
Konon, Sang Menteri telah berjanji untuk selalu menjamin keuangan Akira dan adiknya sejak saat ini. Asalkan Akira mau melepaskan diri dari Yakuza, meskipun menurut Mayumi hal itu sama saja seperti menganyam awan alias muskil. Artinya, kalau bukan ayah mereka yang ingkar janji, maka Akira yang tak sudi diatur-atur.
***
Cristal bagai kambing congek, tak tahan lagi dengan segala sukacita dan kasih sayang yang melumuri wajah Mayumi. Ia berlari kecil kembali ke kamarnya. Namun, di koridor lantai dua ia berpapasan dengan tiga wanita yang mengenakan kimono Jepang. Cristal mendengar percakapan mereka yang menurut perasaannya tak menggubris keberadaannya.
“Sungguh, kamu cantik sekali dengan kimono dan kerudungmu itu. Iya kan, serasi sekali, Etsuko?”
“Haik… Anata wa kirei desune!” sahut Etsuko sambil tertawa riang dan menjawil pipi porselin itu. “Ini pujian tulus, Miss Indonesu…”
Wajah Garsini memerah, apalagi ketika Mayumi menambahkan. “Kapan kalian meresmikan hubungan… dengan dokter Haekal itu?!”
Garsini tak menjawab malah cepat mengalihkan percakapan. “Percayalah, ini akan menjadi kejutan menyenangkan buat Mayumi…”
Betapa ia telah berjuang meyakinkan kedua wanita itu untuk merestui pernikahan putrinya dengan Jay Bachan. Ia juga telah berusaha keras menahan Mayumi, agar tidak mengetahui keberadaan kedua wanita yang mengasihinya itu di kamarnya.
“Etsuko, tolong cubit aku! Apa aku bermimpi? Bayangkan, sebentar lagi aku akan dipanggil Ibu Mertua…?!” seru ibu Mayumi.
“Niiih, rasakan cubitanku!” gemas Etsuko mencubit tangan sahabatnya.
“Aduuuh…!” pekik Mayuko. Kedua wanita Jepang itu terus jua bersendagurau. Sedang Garsini menatap prihatin ke arah Cristal yang nyaris menabraknya. Tapi Cristal cepat-cepat berlari menghindarinya. Kasihan juga dia, apakah koleksi pacar yang selalu dibanggakannya itu sudah habis? Tak sepotong pun tersisa yang sudi mengajaknya kencan malam ini? Ataukah mereka sudah mengetahui bagaimana gaya hidup liar gadis itu?
“Ada apa dengan si pirang itu?” Mayuko ingin tahu.
“Kelihatannya dia tak dapat ajakan kencan malam tahun baru ini,” Etsuko asal tebak.
“Kasihan sekali. Coba sebelumnya dia datang ke ryokanmu, Etsuko. Kita kan bisa mencarikannya pasangan?” komentar Mayuko.
“Memangnya ryokanku tempat apa?” sergah Etsuko.
“Bukan begitu, maafkan… jangan tersinggung dulu. Aku hanya ingin membantunya saja,” nada Mayuko terdengar tulus hingga sahabatnya turut merasa simpati.
Seandainya Mayuko tahu, bagaimana Cristal memperlakukan putrinya dengan segala sindiran tajam dan penghinaannya, pikir Garsini. Sudahlah, semuanya akan berakhir dalam kebahagiaan, sebentar lagi.
“Kamu ini selalu memikirkan orang lain. Lebih baik pikirkan kebahagiaan dirimu sendiri,” tegur Etsuko selang kemudian. “Bagaimana kalau hubunganmu dengan Matsua-san juga segera diresmikan seperti mereka? Bukankah pacaran itu dosa, ya Miss Indonesu…?”
***
Dan pertanyaan itu diulang kali ini oleh Mayuko kepada Garsini, ketika mereka telah selesai menyaksikan akad nikah pasangan berbahagia di Islamic Centre. Beberapa saat sebelumnya mereka pun menyaksikan mempelai wanita mengucapkan dua kalimah syahadat. Air mata haru menitik membasahi pipi Mayuko, tangannya digenggam erat oleh Etsuko.
Garsini tak segera menyahut. Kedua mempelai baru saja diantarkan menaiki limousin milik keluarga besar Paman Vijay. Mereka akan langsung menuju bandara Narita, naik pesawat terakhir ke Paris untuk berbulan madu. Semuanya telah disiapkan oleh Paman Vijay dan istrinya yang asli Pakistan, seorang muslimah yang lembut dan anggun. Dalam tempo relatif singkat, Mayumi sudah tampak sangat akrab dan bisa bermanja-manja kepadanya.
Haekal berdiri tertegun-tegun di sebelah Cak Wahid, keduanya melambailambaikan tangan ke arah pengantin baru. Entah apa yang sedang dipikirkannya, pikir Garsini. Haekal pernah menawarkan pernikahan itu kepadanya, tapi ia menganggapnya sebagai gurauan belaka. Sebab bila pernikahan itu dilaksanakan saat ini, rasanya itu hal yang tak mungkin!
Bagaimana kalau itu serius? Ugh, seketika Garsini merasakan hatinya menggigil. Ia merasa takut sekali, bila dirinya tak mampu menolak tawaran itu. Bukankah tawaran menikah dari seorang pria yang baik adalah suatu kesempatan emas, yang bila kita menolaknya Allah akan melaknat?
Tapi bagaimana dengan masa depannya, kuliahnya, beasiswanya tentu akan dicabut… Kepalanya mendadak pening!
“Ada apa denganmu, Nak?” tanya Mayuko menatapnya cemas, tangan Garsini terasa gemetar dalam genggamannya. “Kamu sakit? Kata Mayumi, kamu pernah dua kali mendadak jatuh sakit…?”
“Jangan menakutinya,” kata Etsuko. “Itu penyakit biasa, rindu rumah yang lazim dialami oleh para gakusei asing. Lagi pula, kalaupun dia punya kelainan pasti dokter Haekal cepat mengobatinya… Aha! Kukira, kalian sebentar lagi juga akan meresmikan pertunangan barangkali?”
“Tidak, Etsuko… Tidak akan ada pertunangan sebab hal itu tak lazim dalam Islam, keyakinan mereka. Begitu kan, Sayang?” bantah Mayuko.
“Kalau untuk menikah, bukankah usia Garsini masih delapan belas? Terlalu muda, Lagi pula dia tak sama dengan Mayumi… Maaf, maksudku kasusnya berbeda!”
“Aku paham,” Mayuko tak tersinggung. “Antara Garsini dengan putriku memang sangat berbeda watak. Tapi sekarang ada yang mengikat keduanya yaitu simpul kasih, eeh, apa namanya? Ehem, ukhuwah Islamiyah, begitu kan, Garsini-san?” Ibu Mayumi ini, kadang resmi-resmian, kadang begitu hangat kekeluargaan. Garsini terdiam dalam kebingungan.
Tiba-tiba kedua ibu itu beradu argumen, mempercakapkan masa depan gadis yang sudah mereka anggap sebagai putri sendiri. Terutama tentang pernikahannya, baik-buruknya bila tidak atau akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Begitu heboh, seakan-akan tengah membincangkan nasib seseorang yang sama sekali tak memiliki hak bicara dan privasi lagi…
“Hei, mau ke mana, Sayang? Aaah, kita sudah membuatnya tersinggung nih, Etsuko!” sungut Mayuko menyesalinya.
“Tapi kamu yang memulai!” Etsuko tak mau disalahkan. Kedua wanita itu terpana memandangi bayangan Garsini yang secepat kilat menjauhi mereka.
Gadis itu tampak menyeberang jalan kemudian menyusuri jembatan layang yang sudah ramai oleh orang-orang. Mereka hendak merayakan malam tahun baru dan Garsini baru menyadari hal itu kembali. Suatu kebiasaan Barat yang tak pernah digubrisnya seumur hidupnya.
Bayangan Cak Wahid telah lenyap dalam sebuah taksi. Haekal baru bisa menghampiri kedua wanita yang masih kebingungan mengawasi tingkah Garsini.
“Naaah, kebetulan sekali kamu datang!” sambut Mayuko girang. “Cepat, katakan kepada kami, Haekal-san…”
“Ya, apakah kalian punya rencana menikah dalam waktu dekat ini? Kalau menurutku, kalian belum siap, maksudku usia Garsini masih terlalu muda…”
“Tidak apa-apa, dokter! Jangan hiraukan dia! Garsini dengan putriku itu sebaya, hanya beda beberapa bulan. Kurasa Garsini sama saja sudah siap bila kamu ajak menikah…?”
Haekal geleng-geleng kepala melihat perdebatan yang seolah takkan usai dalam waktu singkat itu. Sementara matanya menangkap sosok dalam kimono Jepang tengah berusaha keras membebaskan diri dari kehiruk-pikukan massa.
“Sumimasen ga23… Saya permisi dulu, kelihatannya Garsini butuh pertolongan,” ujar Haekal bak bisa memaklumi kesulitan gadis itu dari kejauhan.
Seperti mendapat mainan baru, Mayuko dan Etsuko seketika menyemangatinya, bertepuk tangan-ria sambil mengikik geli.
“Kamu haruuuus, haruuus mampu mendapatkannya, Haekal-saaan!”
“Ayooo, ayooo, jangan pernah menyeraaah!”
Pada kenyataannya, Haekal tak berani menawarkan pernikahan itu secara serius saat itu. Sehingga Garsini bisa menarik napas lega dan tanpa beban lagi. Ia pun mau memaafkan segala kehilafan, kecemburuan membuta dan kecurigaan tak beralasan Haekal. Tawaran itu baru diulurkan kepadanya tiga tahun kemudian, secara sungguh-sungguh bahkan terdengar seperti mendesak dan menyudutkannya.
***
Semester demi semester terus berpacu dalam jadwal perkuliahan kian padat dan tugas-tugas yang semakin ketat. Algoritma dan Pemrograman, Analisa Algoritma, Struktur Data, Logika Matematika, Praktikum… Rekayasa Perangkat Lunak, Artificial Intelligence, Database System, Organisasi Komputer, semuanya berujung pada teknologi inovatif…
Semuanya berseliweran dari menit ke menit, hari demi hari, minggu demi minggu. Musim semi, musim panas, musim gugur, musim dingin dan begitu selanjutnya silih berganti. Akhirnya empat tahun pun berlalu sudah, bersamaan dengan secarik ijazah dan gelar sarjana teknik informatika dalam genggamannya.
23 Maafkan saya, maaf…
Ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya, Garsini menyadari hal itu. Rasa bangga akan keberhasilan yang telah diraihnya, ternyata tak memberinya kepuasan seperti yang diperkirakannya dulu. Ia merasa kini dirinya dalam suatu persimpangan jalan.
Siang itu, musim semi yang lembut dan Garsini baru menuruni tangga menuju ruang tamu. Ia akan melakukan semacam menapak tilas untuk terakhir kalinya sebelum memutuskan sikap. Adakah ia akan menerima tawaran beasiswa yang diupayakan Profesor del Pierro di Universitas Sorbone, Perancis? Ataukan kembali ke Indonesia, menerima khitbah Haekal yang ditawarkan kepadanya tadi malam?
Asramanya tampak telah lengang ditinggalkan para penghuni. Kali ini ia seorang diri. Haliza telah mendahuluinya pulang ke Malaysia beberapa pekan yang lalu. Sayang sekali, hubungannya dengan Rashid tak berlangsung seperti harapannya.
Haliza sempat frustasi mengetahui Rashid akhirnya memilih menyerah, menikah dengan wanita pilihan keluarganya. Namun, seiring dengan berlalunya waktu, gadis Muslimah itu pun mampu menjalani hari-harinya dengan istiqomah. Sekarang Haliza telah menjadi seorang dokter, sebuah klinik kecil telah menantinya di Selangor. Konon, ia bertekad mengabdikan ilmunya demi kesejahteraan umat dan rakyat jelata di lingkungannya.
“Suatu saat, bila ada pria yang baik dan saleh meminangku, barulah aku akan berubah pikiran, menjadi seorang istri dan ibu. Tapi kalau tak ada juga, mungkin aku akan kembali ke bangku kuliah, ambil spesialisasi bedah jantung di Amerika,” tekad Haliza sebelum berpisah.
Garsini teringat lagi akan keberduaan mereka di musim semi sekitar empat tahun yang silam. Rasanya seperti saat ini, di langit tampak awan putih, langit bening dan bersih. Di matanya mirip kapas-kapas yang berarak lembut. Bunga-bunga Sakura berguguran berserak di pekarangan, sebagian masih segar, bahkan ada yang belum kuncup sama sekali.
Nuansanya tentu saja sudah sangat berbeda. Dulu ia masih tergagapgagap dalam kecanggihan dan fasilitas super modern yang dimiliki Negeri Sakura. Kini ia merasa sudah sangat terbiasa, mungkin pula telah menyatu dalam derap kecanggihan dan teknologi super modern bangsa Jepang.
Berbagai penghargaan yang telah diperolehnya dalam usia yang sangat belia, kadang melambungkan dirinya ke awang-awang… Seakan-akan tak ada satu pun yang tak mampu diraihnya!
Garsini berhasil sebagai mahasiswa cemerlang, sukses pula dalam beberapa klub elite masyarakat cendekia dunia yang dimasukinya. Namanya populer di berbagai kalangan dan lapisan masyarakat Jepang. Di kalangan almamaternya, Garsini banyak disebut-sebut sebagai cendekia muda brilian. Hingga digelari Einsten-girl oleh para senior, disegani kakak kelas dan dikagumi adik kelas.
Ia juga sukses menjalin komunikasi yang sangat luwes di kalangan dosen dan staf pengajar. Hingga ia memperoleh berbagai limpahan kemudahan, pengaguman dan respek tinggi dari para guru besarnya. Bermula dari rekomendasi Profesor Charles del Pierro, yang telah memberinya pekerjaan paruh waktu dengan imbalan sangat menggiurkan.
Adalah berkat program inovatifnya yang sesungguhnya teknik dasarnya diwariskan dari mendiang profesor Nakajima. Ia berhasil mengembangkannya, hingga menjadi “ensiklopedi perbandingan budaya bangsa Asia” karya Garsini Siregar.
Garsini memperoleh ribuan yen dari penjualan VCD ensiklopedia uniknya itu. Hingga ia bisa mengirimkan berbagai bingkisan untuk kedua adiknya dan ibunya di Depok. Garsini tak berani lagi mengirimkan sesuatu untuk ayahnya. Oleh-olehnya sama sekali tak mendapat perhatian dari lelaki itu ketika ia pulang dua tahun yang lalu. Ucok tak berhasil meyakinkannya, sesungguhnya Papa sangat menyukai bingkisannya berupa eksiklopedia itu… hanya dengan caranya sendiri, persis seperti dulu!
Aneh sekali punya ayah seperti Papa, pikir Garsini. Untuk menyayangi, memperlihatkan perasaan suka saja kok mesti dengan caranya sendiri, sesuatu yang justru tak dipahami dan disukai oleh orang yang disayanginya.
***
Profesor Yamanaka, dosen pembimbing yang mengantarkan garsini meraih predikat summa cum laude, rupanya telah menduga maksud kedatangannya untuk mengucapkan sayonara. Ia menerima gadis itu dengan hangat di ruang kerjanya.
Suasana kampus pun lengang, karena sebagian besar mahasiswa dan dosen sudah mengambil kesempatan untuk menikmati liburannya tiga hari yang lalu. Garsini tak pernah memahami gaya hidup wanita cantik ini.
Yamanaka acapkali mengeluh kepadanya, bahwa ia selalu merasa kekurangan waktu untuk bekerja. Kalau boleh sehari itu lebih dari 24 jam, katanya. Ia termasuk orang Jepang yang work-cholik.
“Baiklah, aku akan mentraktirmu, jangan tolak lagi ya!” akhirnya ia mengalah, mengikuti saran Garsini untuk sedikit bersantai. Ia mengunci ruang kerjanya dengan sikap yang merasa sayang sekali untuk meninggalkannya.
Garsini geleng-geleng kepala. Apa yang dikejar oleh semua orang Jepang, hingga mereka begitu terperangkap oleh kecanduannya bekerja, melakukan sesuatu?
Mereka naik sedan bagus yang dikendarai oleh sang Profesor. Garsini duduk di sebelahnya dengan perasaan aneh. Empat tahun yang silam, ia pernah melintasi jalan ini dengan taksi bersama Mayumi. Kala itu pun mereka melewati jalan-jalan di kampus yang senyap. Ya, di mana-mana lengang dan senyap!
“Apalagi yang kamu pikirkan, Garsini-san?” tanya sang Profesor melirik Garsini yang terdiam, sementara sepasang matanya menerawang ke luar jendela kaca di sebelahnya.
“Ah…” Garsini menghela napas dalam-dalam.
“Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, bukan? Gelar sarjana, tawaran kerja sambil melanjutkan program S2 dari Universitas Sorbone… Atau kamu memilih menerima pinangan dokter Haekal dan pulang ke Indonesia?"
“Ah, jangan mendesak, Prof,” elak Garsini. Matanya cepat mencari-cari sesuatu yang bisa disetel di tape-deck, agar mengusir rasa sepi dan lengang yang terasa aneh merayapi sisi-sisi kalbunya.
“Mencari kaset dan VCD, ya? Jangan harap, tak ada apa-apa di sini…” Yamanaka tertawa kecil, seolah bisa menebak pikiran gadis itu.
“Oya?” Mata Garsini cepat menyusuri semua kekayaan di hadapannya. “Begitu lengkapnya! Apa Anda selalu membawa serta peralatan kerja ke manamana? Lihatlah, apa ini? Ada mail-boks, laptop, fax, pesawat televisi mungil… Kenapa nggak sekalian saja mengangkut kulkas, microwave ke sini?”
Profesor Yamanaka tergelak melihat Garsini langsung merengut.
“Masih ada radio, nah… ini siaran lokal.”
Garsini menoleh dan tersenyum kembali. “Arigato gozaimasu… Ternyata Anda cukup perhatian, Prof.”
“Sejak saat ini jangan panggil aku demikian,” tegurnya.
“Lho? Tapi saya harus panggil apa?”
“Entahlah, mungkin Ibu, Kakak, Bibi, asal jangan yang berbau hirarki akademislah.”
“Baiklah, Ibu Yamanaka…”
“Hei, bukankah ini lagu favoritmu?” Sedan melaju tenang keluar dari kawasan kampus. Tak ada yang berbicara lagi. Garsini menyimak lagu pop dari penyanyi Mayumi Itsuwa, Amayadori. Sesungguhnya itu bukan lagu favoritnya, bahkan ia sama sekali tak pernah menyimaknya dengan seksama. Hingga ia tak pernah mengetahui apa makna liriknya. Sebab ia pun tak pernah punya waktu untuk memahami hal-hal sepele seperti itu.
Jadi, apa saja yang menurutmu tidak sepele? Lagu itu kan bahasa, kesenian, budaya, menyangkut kulturat, adat kebiasaan suatu bangsa… Ups!
“Nama penyanyinya sama dengan nama sahabatmu yang diboyong ke Hindustan itu, ya kan?” usik Yamanaka.
Itu rupanya yang membuatnya menyimpulkan demikian. Hanya karena beberapa kali Garsini dipergoki Yamanaka sedang menyetel lagu-lagu Mayumi Itsuwa, ketika mereka sedang berada di laboratorium. Saat Yamanaka iseng mempertanyakannya, Garsini sambil lalu menjawab bahwa nama penyanyinya sama dengan sahabatnya.
Agaknya Yamanaka merasa terpikat, ia terus memancingnya tentang Mayumi. Tanpa sadar Garsini pun menceritakan sekilas perihal love-story sahabatnya.
“Bagaimana kabarnya dia sekarang?”
“Oh, ya…” Garsini tertawa kecil mengingat pertemuan terakhir mereka seminggu yang lalu. Mereka sedang berada di Jepang. Mayumi mampir ke asramanya membawa serta dua jagoan ciliknya yang ganteng-ganteng dan sehat. Wajahnya begitu berseri-seri dan ia tengah mengandung buah cinta kasihnya dengan Jay.
“Setelah ini, aku masih ingin melahirkan enam anak lagi!” katanya tanpa tedemng aling-aling membuat Garsini terlongong.
“Bagaimana dengan penyakit…?” tanyanya hati-hati.
“Tidak ada!” Mayumi tertawa geli. “Penyakitnya ternyata tidak berat,” Mutiara kehidupan bertemperasan dari sepasang matanya.
“Jadi, mereka bisa hidup berbahagia,” komentar Yamanaka ketika mereka menikmati makan siang di sebuah rumah makan mewah di kawasan Ginza.
Mereka berpisah sambil tertawa riang seolah sepakat, suatu saat pasti akan bertemu kembali. Yamanaka menawarinya kesempatan untuk menjadi asistennya, berjanji merekomendasikannya untuk mendapatkan beasiswa lagi.
***
Bab 14

Jelas sekali, wanita itu sangat menyayangimu, Garsini-san!
Garsini takkan melupakan kebaikan hati Profesor Yamanaka. Betapa ia sering membangga-banggakan dirinya di depan para mahasiswa. Hingga acapkali Garsini merasa risih dibuatnya. Meskipun belakangan kedekatannya dengan sang Profesor malah menimbulkan kabar burung tak mengenakkan. Ada beberapa orang yang merasa iri, kemudian menyebarkan gosip murahan.
“Tentu saja mereka dekat, sebab mereka pasangan lesbian!” tuding mereka telak. Tapi Garsini sudah kebal dengan hantaman gosip. Bahkan sejak ia semester satu di Universitas Indonesia dulu, gosip murahan seperti itu telah sering menghantam dirinya.
Keluwesannya pun telah mengantarkan Garsini untuk menjadi anggota, bahkan kemudian mendapat kesempatan mengetuai beberapa komunitas sosial, budaya dan spiritual.
Garsini melanjutkan upaya menapak tilasnya. Masih dalam kebimbangan.
“Kamu ini sosok istimewa, memiliki perpaduan yang sangat langka,” puji seniornya, Annisa di klub elite bentukan Profesor Charles del Pierro.
“Ah…” Garsini mulai lelah dan jemu dengan kebimbangan yang membelenggu dirinya.
“Apa sih kiatmu hingga kamu bisa bergaul dengan baik di berbagai kalangan masyarakat Jepang? Aku tahu, kamu juga memiliki komunitas kajian Islam di Sendai. Bahkan kudengar belakangan ini kamu dikandidatkan untuk menggantikan Ayyesha?” cecar Annisa suatu kali, penasaran sekali.
Itu ada benarnya, Ayyesha dinilai lebih banyak melakukan manuvermanuver politisnya daripada syiar dakwahnya. Sangat tidak menguntungkan keberadaan komunitas mereka. Apalagi sejak peristiwa runtuhnya gedung WTC di New York, Islam diidentikkan dengan teroris.
Sepak terjangnya yang gagah berani, gerakan unjuk rasanya yang menggebu-gebu, menghujat sejumlah kebijaksanaan Amerika yang dinilai sangat merugikan perjuangan bangsa Palestina, terlalu mendukung Israel dengan segala arogansi adidayanya… Sungguh, sering membuat bulu kuduk Garsini meremang hebat bahna pengagumannya!
Ayyesha hampir tiap saat memprovokasi massa dan jamaahnya agar turun ke jalan, berdemo-ria. Hal itu tak urung membuat pemerintah Jepang merasa gerah. Karena mendapat tekanan dari pihak Amerika, akhirnya
pemerintah Jepang yang selalu membanggakan kenetralannya, terpaksa
menindak gerakan bawah tanah itu.
***

Pada malam takbir yang lalu, lebaran keempat di Negeri Sakura bagi Garsini, dalam tayangan siaran langsung di layar kaca; tampaklah Ayyesha sedang meneriakkan yel-yel anti Amerika di Okinawa, dekat pangkalan militer Amerika. Di antara massa itu, terlihat sosok imut-imut berjilbab hitam… Kagume!
Air mata Garsini tumpah ruah menyaksikan bagaimana para petugas dengan tak berperasaan, menyeret Sang Ketua yang gagah berani itu dan terus jua meneriakkan yel-yel anti Amerikanya… Melemparkan sosok imut-imut yang tampak ringkih dan pucat pasi itu ke atas truk!
“Damn’it!” jerit geram Haliza terlonjak dari tataminya, duduk di samping Garsini ikut menonton siaran langsung. “Mereka memperlakukan rekan-rekanmu itu tak ubahnya seperti para kriminal saja. Sungguh keji, biadaaab, dajaaal!”
“Aduuh, sumpah serapahmu itu, Haliza,” keluh Garsini pedih dan tersentak kaget. Seingatnya, itulah untuk pertama kalinya ia mendengar Haliza bersumpah serapah. Haliza yang baru tersadar pun segera mengucap istigfar berulang kali.
“Tidak, itu bukan salahmu. Jangan terlalu terpengaruh, Garsini, ingatlah selalu akan takdir-Nya,” hibur Haliza tersendat-sendat menahan tangis kepedihannya sendiri. Beberapa lama keduanya menangis sambil berpelukan erat. Hanya itulah yang mampu mereka lakukan sepanjang malam takbiran.
Hingga beberapa waktu lamanya Garsini hampir tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dirinyalah yang telah menjadi pemicu pengenalan Kagume dengan iman Islamnya dan makna ukhuwah Islamiyah. Dia pulalah yang tahun silam didatangi oleh Kagume, agar mendampinginya saat mengucapkan dua kalimah syahadat di Islamic Centre.
Ketika Garsini merasa terlalu sibuk dengan urusannya, terpaksa dengan menyesal tak bisa selalu mendampingi Kagume… tahu-tahu remaja itu telah bergabung dengan komunitas Ayyesha di Sendai!
“Biarkan aku di sini,” ujar Kagume baru terdengar tegas.
Wajahnya yang belia tampak dilumuri pendar-pendar kehidupan, sesuatu yang tak mungkin dimiliki oleh remaja awam. Apa yang telah dijanjikan oleh Ayyesha kepadanya, pikir Garsini. Nikmat Ilahiyah dan sorgakah? Sosok bingung, ragu-ragu dan manja yang dikenalnya di kota kecil Hiroshima tiga tahun silam, telah sirna entah ke mana.
“Aku mau ikut berjihad bersama rekan-rekan demi kemerdekaan bangsa Palestina,” kata Kagume yang mengaku kini sangat mengidolakan Ayyesha.
“Tapi Kagume, di sini akan sangat riskan bagi remaja belia seperti dirimu…” Garsini sungguh tak berani mengatakan “berbahaya”.
Di bawah tatapan mata rasa ingin tahu para akhwat jamaah Ayesha, mana mungkin ia berani menentang kebijaksanaan Sang Ketua Ayyesha? Kagume pasti tak paham hal itu. Yang Kagume inginkan hanyalah menjadi seorang Muslimah yang istiqomah.
Betapa sederhana cita-cita Kagume, tapi pada kenyataannya tak ada yang sesederhana seperti harapan dan keinginannya. Garsini merasa sangat tak berdaya dan semakin menyesali dirinya, tatkala ia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengeluarkan Ayyesha, Kagume dan beberapa jamaah lainnya dari balik terali besi.
Lagi pula, memangnya siapa dirinya? Hanya seorang mahasiswa asing di Negeri Sakura. Sungguh, ia tak memiliki wewenang apa-apa. Ia hanya bisa menangis dan berdoa panjang di atas hamparan sajadahnya.
Bahkan ketika rekan-rekan di komunitas Sendai mendaulatnya untuk gantikan posisi Ayyesha sementara waktu, ia memutuskan untuk menolaknya.
“Tidak, maafkan… itu bukan wewenangku. Hanya pantas untuk seorang Ayyesha,” dalihnya menahan pedih di bawah tatapan kecewa dan harapan sirna atas dirinya.
Sejak itulah, Garsini menjaga jarak dengan komunitas Sendai. Rasanya sangat menyakitkan menyadari ketakberdayaan dirinya, kebimbangan dan kepengecutan… Pecundang, julukannya yang paling pas saat itu!
Sebuah julukan yang selama hidupnya selalu ingin dihindarinya.
***
Beberapa pekan kemudian, dari pemberitaan koran-koran lokal, Garsini mengetahui pembebasan mereka. Dikabarkan setelah melalui nego-nego yang alot, menurunkan para diplomat dari sejumlah negara, barulah mereka bisa dibebaskan. Ada syarat yang mesti ditanda-tangani hitam di atas putih. Bahwa mereka tidak akan melakukan hal serupa, ditambah harus melapor sampai waktu tertentu… tak boleh bepergian ke luar kota, apalagi mancanegara!
Ah, itukah pengaruh negara adidaya terhadap dunia internasional?
Sejak menjauhi komunitas Sendai, Garsini kemudian akrab dengan Annisa. Meskipun agak menyesalinya, mengapa Annisa baru terbuka terhadap dirinya belakangan itu.
Ada yang berubah pada diri Annisa. Ia mulai memperlihatkan secara terang-terangan tentang identitas dirinya. Aneh sekali, pikir Garsini. Begitu berhati-hati Annisa tentang jatidiri kemuslimahannya selama ini. Betapa kaget Garsini mengetahui bagaimana Annisa sesungguhnya. Ternyata Annisa pernah mengenyam pendidikan pesantren.
Baik di ujung, bukankah namanya khusnul khotimah? Mungkin itulah yang tepat bagi Annisa. Sejak kedekatannya dengan Garsini, perubahan itu secara bertahap terus diperlihatkan Annisa. Hijrahnya justru dilakukan pada saat banyak orang ketakutan oleh hal berbau Islam. Apapun itu, Garsini merasa sangat beruntung bisa memiliki sahabat seunik Annisa. Dari kedekatan singkat itu pun Garsini bisa menarik banyak pelajaran. Annisa mengajarinya tilawah yang benar, memperbaiki bacaan Al-Qurannya, memperkuat keimanan dan ketakwaannya.
Saat inilah Garsini baru menyadari satu hal. Agaknya hanya sosialisasi, kehebatan berorganisasi belaka yang diperolehnya dari komunitas Ayyesha. Lantas, bagaimana kabarnya Kagume? Terakhir mereka bertemu, kelihatannya Kagume baik-baik saja. Tetap nyaman dan merasa cocok sekali setelah bergabung dengan Islamic Centre. Kagume bahkan punya kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya, mendapat dana pendidikan dari Arab Saudi.
“Hei… Kamu belum jawab pertanyaanku, Ukhti,” tegur Annisa. Garsini malah jadi bingung untuk menjawabnya secara serius.
Maka, ia memutuskan untuk menjawab ringan tanpa nada bangga berlebihan, “Ah, itu kan hanya karena namaku yang terdengar pas di telinga orang Jepang. Garusiniiii, hihihi…”
Annisa menjentik bangir hidungnya dan tertawa gemas. “Dasar… tukang ngocol kamu!”
Perpisahan itu di balkon klub diskusi bentukan Profesor Charles del Pierro yang mungkin sudah terlupakan oleh pemakarsanya. Buktinya, guru besar itu sudah lama tak menjenguknya apalagi mencari tahu, apakah kuicuran dananya sampai dengan selamat untuk melanjutkan proyeknya ini? Ia telah menyerahkan pengembangannya kepada para murid kepercayaannya, seperti Annisa.
Bila Annisa telah selesai urusannya di sini, lantas siapa pula yang bakal melanjutkannya? Tuan Congkak Andrew, Bu Lantang Akiko, Nona Cerewet Mandu, Miss Vietnam Lien Ang yang selalu tertawa keras itu… Aduh, Garsini merasa sayang sekali kalau penggantinya kelak bukan orang Asia!
Ah, aah, kenapa mesti kupikirkan, itu bukan masalahku, jerit Garsini kesal dengan pemikirannya sendiri. Annisa pasti sudah menyiapkan kaderisasi yang baik. Meskipun harapannya tak bisa terkabulkan melalui dirinya.
“Jangan lupa balas setiap mailku, ya Dik,” pinta Annisa serius.
“Insya Allah, Mbak.”
“Aku ingin tahu bagaimana perkembangan politik negeri kita dalam lima tahun terakhir. Kemungkinan besar aku masih akan tingal di sini dalam limaenam tahun mendatang,” cetusnya terdengar datar.
Kali ini Garsini setengah memekik kaget. “Masya Allah, selama itukah?!”
Garsini menatap keheranan wajah ayu di hadapannya. Berapa usianya sekarang? Annisa merahasiakannya, tapi Garsini menaksirnya sudah kepala tiga. Sampai kapankah dia ingin menghabiskan usianya di negeri orang? Dan untuk apa semuanya itu dilakukannya?
Di awal pertemuan mereka, Garsini tahu Annisa penganut feminisme. Biasanya ia tak peduli dengan penampilannya, celana jeans alakadarnya, tanpa polesan wajah sedikit pun. Namun, belakanagan Annisa mengenakan kulot dengan blazer cantik dan sedikit riasan wajah, ditambah… kerudung gaul!
“Jangan pandangi Mbak begitu, Dik,” Annisa melengos. “Aku tahu apa yang ingin kamu tanyakan sama Mbak…”
“Nah, kalau begitu jawablah, Mbak!” desak Garsini. Inilah kesempatan terakhir mereka untuk saling terbuka.
“Sudahlah, jangan desak Mbak terus,” elaknya seperti biasa.
“Kenapa Mbak memutuskan untuk bertahan selama lima-enam tahun lagi di sini? Apa Mbak nggak kangen keluarga di Solo?” cecar Garsini tak peduli.
Garsini telah mendengar cerita masa silamnya. Annisa terlahir sebagai anak penengah dari sembilan bersaudara. Ibunya garwo ampil, seorang bangsawan trah Keraton Ngayogyakarta. Adakah konflik, intrik atau konspirasi seperti dalam keluarga kerajaan di film-film Mandarin yang pernah ditontonnya?
Kini siapa yang pernah mengira anak yang tersisihkan, sering dilecehkan bahkan oleh saudara-saudaranya seayah itu, mendapat kedudukan terhormat di Universitas Tokyo? Belum lama Annisa mendapat kontrak kerja sebagai guru besar tetap, membawahi suatu tim untuk mengembangkan program-program kemanusiaan di fakultasnya.
“Romo dan Ibu sudah meninggal, kakang-kakangmasku tak ada lagi di sana. Empat adik perempuan sudah melangkahiku, tapi bukan itu masalahnya,” katanya agak tersendat.
Garsini tak keliru, ia menangkap kepedihan dan luka di bening mata gadis ayu itu. Sedetik ia menyesal telah memaksanya untuk menyingkap luka lama, mungkin trauma masa lalu… entahlah!
Digenggamnya jari-jemari Annisa. “Sudah, Mbak, jangan dipikirkan lagi. Lupakan pertanyaanku… dan maafkan kelancanganku, ya Mbak?”
Annisa menghapus air mata yang menggantung di sudut-sudut matanya.
“Baiklah… Semoga sukses di negerimu yang selalu kamu banggakan dan kami cintai itu, ya Dik?”
“Yah, semoga saja ada lowongan pekerjaan untukku di sana…”
“Pokoknya selalu berjuang, okey?” kata Annisa menyemangati.
“Kudoakan juga Mbak sukses sebagai guru besar di sini… tapi jangan terlalu lama melanglang buananya, ya Mbak?” Betapa banyak yang ingin disampaikannya, tapi tenggorokannya mendadak tersekat.
Saat memeluknya hampir loncat air mata Garsini. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana sosok Annisa pada lima-enam tahun mendatang. Apakah masih tetap melajang, hidup kesepian di negeri orang, aduuuh… Tunjukkanlah jalan lurus untuk gadis ini, Ya Robb, jeritnya dalam hati.
Setiap perpisahan selalu menaburkan keharuan mendalam di dadanya. Beberapa saat keduanya masih saling berpelukan erat. Sampai kemudian Garsini merenggangkan dirinya, cepat-cepat menjauhi gadis Solo itu. Ia takut dirinya tak sanggup melepaskan lagi rangkulan hangat di bahu-bahunya.
Akhirnya, sosok tinggi ramping, stelan apik dan kerudung gaul itu membalikkan tubuhnya. Kemudian kakinya melangkah tegas-tegas menyusuri koridor, hingga lenyap di ujung gang menuju gedung lain. Sebuah bangunan baru yang kelak akan menggantikan gedung tua, tempatnya kelak berkiprah dalam bidangnya.
Berapa banyak lagikah perenungan, filosofi dan buah pemikiran para cendekia dunia yang bakal ditemuinya nun di sana? Mbak Annisa, kenapa dia baru menyadarinya sekarang? Mbak Annisa adalah Kartini masa kini, harapan bangsanya yang sedang carut-marut, diguncang amuk prahara. Sayang sekali, Kartini itu dibelenggu keraguan untuk pulang ke negerinya.
Beberapa saat lamanya Garsini masih memandangi gedung tua di sudut kampusnya itu. Betapapun, di tempat inilah dirinya pernah mengenal berbagai gagasan, ide, pemikiran dan perenungan dari belasan, puluhan kepala antarbangsa. Di sinilah proses pendewasaan intelektualnya berkembang leluasa, disimbahi makna demokrasi yang dijunjung tinggi.
Di sini ia bisa mendengar, menyimak, kalau perlu mendebatnya habishabisan untuk kemudian menyodorkan, bahkan memaksakan buah pemikiran dan gagasannya sendiri. Klub elit paramuda cendekia antarbangsa ini sungguh mengasyikkan. Senantiasa riuh oleh diskusi-diskusi dan debat-debat seru.
Kadang Garsini merasa heran, betapa kokohnya gedung tua ini hingga tak goyah setapak pun oleh suara-suara lantang, teriakan kesal, pekik geram, gebrakan kepalan tangan dan tinju di meja dari para angotanya… Bahkan oleh guncangan gempa, entah tak terbilang lagi.
***
Bermula dari saran Profesor del Pierro yang menilainya sangat berpotensi dalam bidang studi perbandingan budaya antarbangsa. Itu terjadi sepulangnya berlibur musim semi semester dua, manakala Profesor Charles harus berkeliling Jepang. Ia telah menerima tawaran kerja paruh waktu, membuatkan program ensiklopedia ala Garsini Siregar.
“Datanglah ke klub. Kamu akan mendapatkan banyak pengetahuan di sana. Itu akan sangat bermanfaat untukmu, kaitannya dengan materi untuk program yang ingin kamu ciptakan. Nah, ini kartu anggota kehormatan untukmu,” kata Profesor del Pierro.
“Tapi Prof, saya tak kenal siapa pun di sana…”
“Kamu juga tak kenal aku waktu malam-malam datang ke sini,” sindirnya sambil tertawa gelak, membuat paras Garsini memerah dadu.
Selama menjadi asistennya, mereka tak pernah berada dalam satu ruangan berduaan, selalu ada beberapa asisten lainnya. Hubungannya dengan pria paro baya warganegara Perancis itu hanyalah sebatas bawahan dengan atasan. Garsini merasa nyaman-nyaman saja, terutama karena sikap Profesor sangat kebapakan dan bijak.
Ada beberapa kali Profesor membawa serta Marie Jane, istrinya yang perancang busana terkenal. Marie Jane, seorang wanita cantik, bergaya hidup sebagaimana galibnya kaum selebritis. Namun, ia bisa bersikap ramah dan tulus terhadap Garsini. Pernah suami-istri itu membawa serta Charlotte, putri bungsu mereka yang sebaya dengan Garsini.
Sayang sekali, Garsini tak bisa menemaninya ajakan wisatanya ketika itu, karena kesibukannya dengan tugas-tugas yang harus dikerjakan selama liburan.
“Oh, jadi ini Garsini Siregar yang terkenal itu?” kata gadis itu bersikap dingin, memandang wajah Garsini sekilas. “Mooom, tanyakan kepadanya busana apa yang dikenakannya itu?” cetusnya pula sambil lalu. Garsini merasakan tubhnya sesaat bagai mengejang. Sungguhkah gadis seapatis dan sesinis itu terlahir dari sepasang suami-istri yang baik hati?
“Maafkan dia, ya Nak,” Marie Jane menghibur Garsini dan menyesali sikap putrinya yang cepat lenyap di balik pintu suite-room. “Maklumlah, dia anak bungsu. Mungkin juga dia merasa iri kepadamu. Karena ayahnya sering membicarakanmu, memuji-muji kamu,” bisiknya pula di telinga Garsini.
“Itulah akibatnya kalau kita terlalu memanjakannya,” tukas Profesor yang telah siap bepergian, menghadiri pagelaran adibusana istri tercinta. “Betul, kamu tidak bisa ikut kami malam ini, Garsini?” tanyanya pula menatap sekilas kepada gadis itu.
“Maafkan, Prof, menyesal sekali. Banyak tugas yang harus saya kerjakan,” kata Garsini menyesal.
“Ya, sudahlah, lain kali kalau istriku mengadakan pagelaran busana di Tokyo, tak ada alasan! Kamu harus melihatnya, iya kan, Sayang?” katanya pula sambil menggandeng mesra istrinya. Garsini jengah dan menunduk tersipu-sipu.
“Ya, kamu harus melihat pagelaran karyaku, Nak,” Marie Jane terdengar memohon dengan tulus, hingga Garsini merasa trenyuh.
Namun, sampai lebih dari selusin kali Marie Jane mengadakan pagelaran karya-karyanya dalam tiga tahun terakhir di pelosok Jepang, Garsini tak pernah punya kesempatan melihatnya. Selalu ada seribu dalih yang pada akhirnya Garsini menyimpulkan; dirinya tak pernah merasa nyaman dengan gaya hidup hura-hura yang disemburatkan oleh aura Marie Jane.
“Jadi harus nekad saja, ya Prof?” Garsini akhirnya mengangap ayah dari dua orang anak yang telah dewasa itu sebagai sesepuhnya. Mengingatkannya kepada Profesor Kosasih, ayah Gilang, seniornya di Universitas Indonesia dulu.
“Ya, begitulah kira-kira… Kamu ini gadis yang sangat mandiri dan dikaruniai Tuhanmu banyak talenta, Garsini. Itu anugerah terindah yang tak mungkin diberikan kepada semua orang,” ujarnya segera berpetatah-petitih.
***
Di balkon inilah tiga tahun yang silam, Garsini berpapasan dengan Annisa yang membawa tumpukan buku tebal-tebal di tangannya. Annisa mengenakan celana jeans belel, kaos lengan pendek dan sleyer yang disampirkan seenaknya di bahunya. Sebuah penampilan yang cukup nyentrik, mengingatkannya akan penampilan dirinya semasa di SMU.
“Saya sudah dengar dari Profesor Charles. Mari, silakan ikuti saya,” sambutnya ramah dan hangat. “Profesor sangat memuji talentamu, Dik!”
“Ah, Profesor memang suka begitu kan? Nama Mbak Annisa juga sering disebut-sebut,” balas Garsini memujinya tulus.
“Terima kasih,” sahutnya pendek. Mereka menyusuri koridor untuk mencapai ruangan yang juga suka disebut sebagai “markas para turunan Aristoteles”.
Tatapan Annisa agak keheranan melihat penampilannya yang serba tertutup. Ini musim panas, bagaimana mungkin anak ini bisa tahan dalam busana Muslimahnya itu, pikirnya. Apalagi kala mengetahui Garsini adalah mahasiswa teknik informatika.
“Waah, kamu masih sangat belia… belum dua puluh umurmu, ya?” komentarnya saat membaca curiculum vitae yang diserahkan Garsini.
“Baru delapan belas,” Garsini menegaskan.
“Luar biasa!” decak Annisa memandanginya, kini bukan hanya terheranheran melainkan juga sorot pengaguman dan penghormatan. “Pantaslah Profesor memujimu, Dik,” gumamnya geleng-geleng kepala.
Awalnya pandangan rekan-rekannya atas keberadaan Garsini tak ubahnya sebagai “gangguan teknis” belaka. Namun, kemudian mereka harus mengakui kelebihan yang dimiliki si anak bawang ini. Garsini dengan latar belakang ilmu eksak, teknik informatika ternyata sangat banyak membantu kelancaran operasional program-program mereka.
“Ssst, tapi harus diakui, dia cantik dan unik sekali kan?” kata Akiko.
“Apa dia tidak kepanasan dengan busananya yang aneh itu, ya?” cetus Josephine.
“Yeah… cantik wajahnya, tapi kita tidak tahu bagaimana isi batok kepalanya,” komentar Andrew tajam dan tanpa tedeng aling-aling.
Anehnya, segera disambut derai tawa selusin kepala yang saat itu hadir. Kecuali Annisa yang memperlihatkan ketaksetujuannya dalam diam.
“Kenapa Profesor kita merekomendasikanmu, Nona…?” tanya gadis Vietnam, Lien Ang.
“Tentu saja Profesor del Pierro merekomendasikan adik ini dengan alasan kuat. Nah, silakan kalian saling berkenalan,” Annisa cepat menengahi komentarkomentar sumbang yang begitu deras berseliweran dari mulut-mulut usil itu.
“Kamu pasti membelanya!” cetus Andrew di telinga Garsini terdengar sinis dan arogan sekali. “Karena kalian sebangsa dan setanah air, Indonesia… Nah, Miss Garsini, apa sekarang di negerimu sudah ada komputer? Sebab ketika sekitar tiga tahun yang lalu Miss Annisa datang ke sini, di sana komputer belum ada?”
“Kamu salah menafsirkan, Andrew,” bantah Annisa berwibawa dan tenang sekali. “Yang kukatakan kepadamu ketika itu, komputer belum dikenal secara luas oleh masyarakat Indonesia…”
“Itu benar!” tanggap Lien Ang sambil tertawa keras, hingga Garsini terbengong. Apa sih yang membuatnya tertawa macam gadis binal begitu? ***

Penutup

Ternyata yang nikmat itu adalah saat-saat menjalani proses pembelajaran, meraih kesuksesan yang masih dalam angan-angan, pikir Garsini. Manakala angan-angan itu telah mewujud dalam suatu kenyataan, nikmatnya sudah hambar dan bisa dikatakan itu bukan suatu kenikmatan lagi.
Demikian hasil perenungan Garsini seusai melakukan upaya menapak tilas dalam kebimbangan hatinya. Ia turun dari taksi tepat di depan asrama dan dilihatnya tiga orang yang tak asing lagi tengah menantinya. Agak jauh dari mereka tampak sebuah limousine dengan seorang sopir berpakaian necis. Dan sebuah taksi, tentu saja itu taksi Mitzui-san!
Jay Bachan dan Mayumi kali ini tanpa kedua jagoan ciliknya. Mereka hanya mampir sebentar sebelum kembali ke India petang itu. Kedua anak yang sempat amat menggemaskan Garsini, ditinggal di hotel bersama istri Paman Vijay yang sangat mengasihi mereka.
“Kalian sudah lama menunggu di sini?” Garsini menyalami suami-istri itu, kemudian menerima salam selamat dari Pak Mitzui. Sopir taksi langganannya yang paling loyal dalam tiga tahun terakhir mengaku baru mengetahui hal itu sekarang. Mereka telah lama tak saling berjumpa.
“Mereka mengatakan bahwa kamu sudah tak punya urusan lagi di sini,” Mitzui-san terdengar seperti menegur. Garsini mengiyakannya dengan terspipu.
“Kami kebetulan saja bertemu di sini,” jelas Mayumi.
“Kami mau pamitan kepadamu,” Jay Bachan sukses sebagai pebisnis, baru meresmikan kantor cabang perusahaannya di beberapa kota besar Jepang. “Mayumi katanya masih ingin bicara serius denganmu… Maaf, ya Pak Mitzui, biasalah urusan perempuan,” katanya pula sambil meminta dengan santun pengertian lelaki tua itu.
“Oh, tidak apa-apa, saya juga tidak akan lama. Hanya ingin mengucapkan selamat tinggal saja kepadanya…” Ditatapnya wajah Garsini dengan hangat kebapakan. “Seperti yang pernah kukatakan kepadamu beberapa waktu lalu.
Sejak mereka mengoperasi mataku… Yeah, kurasa memang sudah waktunya aku pensiun, ya kan Tuan Jay?” Ada kepiluan dalam kepasrahan yang mengapung di antara kalimat-kalimat pendeknya.
“Pak Mitzui berencana ke mana?” Hati Garsini seketika dirayapi rasa dingin, teringat percakapan terakhir mereka. Mitzui-san, Nakajima-san dan Matsua-san… Entah berapa banyak lagi lansia tak beruntung yang pernah dikenalnya selama mukim di Jepang. Mereka yang harus mengisi sisa-sisa harinya tanpa keluarga, kesepian, kehilangan rasa percaya diri, tanpa semangat, apatis… Kecuali Mayuko menjadi istri Matsua, sementara Etsuko tampak sudah merasa bahagia menjadi bagian keluarga sahabatnya itu.
Mitzui mencoba berusaha keras menyembunyikan kepiluan. Tapi Garsini bisa merasakannya dalam senyum kebapakannya yang tulus. Uluran persahabatan, rangkaian nasihat, kata-kata bijak yang pernah dipompakan ke telinganya… Manakala dirinya dalam kelelahan, kejemuan, ketakpastian, kerinduan terhadap keluarga.
Mitzui menghindari tatapan iba dari ketiga anak muda itu, membalikkan tubuhnya yang masih tampak kuat dan mulai melangkah menjauhi mereka. “Jangan pandangi aku dengan tatapan iba begitu. Kelak, kalian akan merasakannya sendiri… Ugh, sudahlah, aku benci dikasihani,” ia bersungutsungut tak jelas.
“Tidak mungkin!” Garsini tersentak menyadari masa depan lelaki tua itu. Ia berseru dengan pilu, air matanya mulai berloncatan. “Pak Mitzui, Bapak jangan berpikir untuk menjadi penghuni panti jompo itu… Pak, tunggu sebentar! Jangan pernah menyerah, Paaak!”
Garsini mencoba mengejarnya, tapi lelaki tua itu seolah-olah tak mendengarnya teriakannya. Ia terus jua melangkah tergesa-gesa menuju taksinya. Garsini sekilas melihat seorang anak muda di belakang taksi itu. Oh, dialah rupanya pengganti Pak Mitzui!
Mayumi menahan upayanya untuk mengejar lelaki tua itu. “Biarkan dia dengan urusannya, Garsini… Lagi pula, jangan pernah coba mengasihaninya.
Dia akan menganggapmu sebagai anak muda yang sombong, tak tahu sopan santun… sudahlah, kendalikan dirimu!”
***
Garsini memahami betul makna teguran Mayumi. Ia pun menyadari ketakberdayaannya, akhirnya hanya bisa tertegun-tegun memandangi taksi yang mulai bergerak meninggalkan tempat itu. Sekilas terngiang kembali percakapan terakhir mereka. Pak Mitzui mengeluhkan perihal dampak operasi matanya dan rencana masa depannya.
Beberapa bulan sebelumnya Garsini membagi sebagian rezekinya dengan Pak Tua itu. Meskipun ia harus susah payah membujuknya agar mau menerimanya.
“Anggaplah ini sebagai ongkos taksi yang sering Bapak gratiskan kepada saya dan rekan-rekan, ya Pak?” Akhirnya dia setuju, tersipu-sipu menerimanya tapi tanpa kehilangan harga dirinya yang tinggi.
“Apa kamu kerasan tinggal di Jepang?” tanya Mitzui tiba-tiba sambil menoleh ke jok belakang.
“Hm… bagaimana ya…” Garsini tengah sibuk dengan sidang yang akan dihadapinya, kelelahan dan kejemuan malah melahirkan ketakpastian. Sesungguhnya ia merasa kerasan tinggal di Jepang, tapi ia juga sangat merindukan keluarganya, tanah airnya.
Kira-kira masa depan apa yang menantinya di Indonesia?
Dalam gonjang-ganjing politik, carut-marut perekonomian dan keparahan stabilitas keamanan… Bom-bom yang semakin sering berledakan di manamana… Adakah secuil saja kesempatan untuk dirinya, sebuah prospek masa depan? Ooooh… Bahkan rekan-rekannya banyak yang merasa malu menjadi orang Indonesia!
“Hujan emas di negeri orang masih lebih baik hujan peluru di negeri sendiri… Ah, itu peribahasa yang sudah ketinggalan zaman!” Tasya acapkali mencemooh rasa kebangsaan Garsini, yang dianggapnya terlalu meledak-ledak.
Garsini sesungguhnya hanya tak suka ada orang yang melecehkan bangsanya, negerinya tercinta. Ia tak pernah setuju dengan mereka yang bukan saja merasa malu menjadi anak Indonesia, melainkan juga menjelek-jelekkannya dan ikut gencar menyudutkan Indonesia. Meskipun ia tak suka juga dengan sistem pemerintahan Indonesia, tapi itu adalah hal lain.
“Ugh, mentang-mentang cucu seorang pejuang empat lima!” ejek Tasya, entah dari mana dia mengetahui silsilah keluarganya. “Kalau sudah kembali ke Indonesia dan kamu menemukan banyak kesengsaraan, pengkhianatan… Baru rasa kamu!”
Garsini tak menggubris provokasinya. Di penghujung kebersamaan mereka, Tasya semakin gencar melakukan propagandanya. Rekan-rekan di klub pun tak pernah menggubrisnya.
“Komunisme, bahkan di belahan dunia mana pun sudah tak laku!” sergah Josephine, penganut Katolik teguh.
“Indonesia itu bukan hanya Bung Karno, Bung Hatta, Suharto, Habibie, Gus Dur, Megawati atau Amien Rais!” ucapnya menggebu-gebu. “Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke, seluruh lapisan masyarakat… Meskipun berbeda-beda suku bangsa, keyakinan, mereka senantiasa berjuang keras… Untuk hidup rukun dan damai…”
“Nyatanya tidak bisa juga kan? Kekacauan terjadi di mana-mana!” cecar Tasya geram dan benci sekali. “Itu karena sistem yang salah sejak awal telah dijalankan oleh para pemimpin Indonesia…”
Aduuuh, dia lebih suka menerima tekanan dari si Congkak Andrew atau lainnya ketimbang dari rekan senegaranya. Namun begitulah, Tasya paling sering melakukannya. Tasya yang selalu menyatakan sangat malu terlahir sebagai anak Indonesia.
“Kalian jangan menilai bangsaku dari sikap dan ucapan satu orang Indonesia saja. Karena itu sama sekali tidak fair! Apalagi itu hanya perkataan seorang artis… siapa namanya itu?” ia agak tergagap mesti dusta, sebab sangat malu dan jengkel bangsanya memiliki artis seperti itu.
“Kalau nggak salah Nafa Urbach,” sahut Tasya yang latah masuk klub awalnya hanya karena iri terhadap kecemerlangan Garsini. Belakangan entah dari mana ia tergerak untuk mempropagandakan paham komunisme. Ia sering dijadikan bulan-bulanan. Dianggap sebagai “tong kosong nyaring bunyinya”.
“Kalau nggak salah? Artinya ini baru kabar burung?” Garsini sengit.
“Tidak juga, ada beritanya di harian lokal, sorry aku tak membawa korannya… Ketika dia disodori pertanyaan, maukah kamu menjadi Britney Spears. Dia spontan menjawab, maaaau!” Josephine menengahi debat mereka.
Lien Ang menambahkan, “Padahal, saat pertanyaan serupa diajukan kepada Siti Nurhaliza di tempat yang sama, hanya selang sehari…” gadis Vietnam itu seperti sengaja mendadak mengapungkan ujung kalimatnya.
“Apa jawaban penyanyi Malaysia itu?” Garsini jadi ingin tahu. Benaknya seketika membayangkan dua penampilan artis yang bak bumi dan langit. Nafa Urbach dengan penampilan seronok, pusar diumbar murah ke mana-mana, meniru-niru Britney Spears. Sedangkan Siti Nurhaliza dengan segala kehalusan dan keanggunan wanita Timur, bersendandung jauh lebih merdu dan berkharismatik. Aura keindahan wanita Melayu menyebar dari sosoknya.
“Siti Nurhaliza mengatakan dengan jernih dan penuh percaya diri; tidak mau, aku hanya ingin menjadi diriku sendiri… Kira-kira begitulah!” berkata Mandu, gadis Hindustan yang belakangan suka mengenakan atribut kehindustanannya. Mungkin dia tergetar juga oleh rasa percaya diri yang tinggi dari artis Malaysia yang memang patut diacungi jempol itu.
Tiba-tiba Garsini tersentak dari lamunannya oleh teguran keras Pak Mitzui, “Jangan terjebak dalam arus teknologi tinggi Jepang, Nak…”
“Kenapa, Pak?” Garsini tergagap.
“Ketahuilah, di sini sudah tak ada hati lagi. Sementara kutahu kamu memiliki nurani, sepotong hati yang murni, Nona. Nah, sebelum kamu kehilangan hatimu, pulanglah secepatnya begitu urusanmu di sini selesai!” nasihatnya diulang untuk beberapa kali, hingga Garsini tergetar.
Apakah ia pun mulai kehilangan sedikit nurani, karena belakangan mulai suka dusta kecil-kecilan? Kenapa ia tak berani terus terang, pernah melihat penampilan Nafa Urbach di layarkaca Indonesia dulu? Kok berlagak pilon?
***
Mayumi masih menanti keputusannya. Ia dan Jay tahu bahwa Haekal sudah datang meminta Garsini sebagai istrinya. Beberapa waktu sebelumnya Haekal menemui keduanya di hotel dan mengungkapkan niatnya itu. Semalam Haekal pun menelepon mereka dan mengabarkan tentang ketakpastian Garsini. Suaranya terdengar lelah dan putus asa.
Pemuda itu mengaku kepada Jay bahwa mereka sempat bertengkar dan dirinya merasa tak berdaya untuk terus mendesak Garsini. Kemungkinan besar ia akan pulang ke Indonesia seorang diri petang nanti. Padahal seluruh harapan keluarga besarnya disampirkan ke bahunya, agar menarik pulang Garsini, sekaligus memperistrinya.
“Mengapa kamu tak pernah bisa memaafkannya secara tulus, Garsini? Hanya karena dia pernah mencurigaimu?” cecar Mayumi kecewa. “Bukankah kamu pernah mengajariku tentang kekuatan dari memaafkan, menyambung silaturakhim, ukhuwah Islamiyah…?”
“Bukan hanya curiga!” tukas Garsini miris. “Dia pernah menanyakan apakah diriku masih suci? Hanya karena aku dinilainya telah bersikap agak bebas dalam pergaulan… Dia jelas sekali selalu menyangsikan diriku, setiap kali kuberi kesempatan dan memaafkannya, dia menyiakannya, melanggarnya. Sungguh mengecewakan sekaligus menakutkan.” Garsini mulai berurai air mata.
Mayumi bisa memahami perasaannya. Garsini mempunyai ketakutan dan trauma masa kanak-kanak yang parah akibat kekasaran ayahnya yang pencuriga berat. Garsini tak ingin mendapatkan suami yang mirip ayahnya. Ia tak sudi mengalami penderitaan ibunya di masa lalu, bahkan mungkin masih dialaminya hingga kini.
“Bukankah kita harus selalu berprasangka baik terhadap Allah, Garsini?” Mayumi hati-hati mengingatkannya. “Istiqomah terhadap Allah, itu sering kau yakinkan kepadaku dulu. Hingga aku terpengaruh dan sangat terpikat untuk lebih mengetahui keislaman… Oh, maaf, ini memang tentang hidayah-Nya, tapi jelas sekali kamulah pemicunya.”
Garsini merasa sangat trenyuh mendengar pengakuannya yang tulus. Dipandanginya wajah Mayumi yang sarat kebahagiaan. Penampilannya yang anggun dalam busana Pakistan. Tentu Mayumi telah mendapat polesan lebih bermakna dan sarat ibrah tentang indahnya Islam dari istri Paman Vijay, Bibi Haznah.
“Biar bagaimana pun dokter Haekal itu seorang pria yang baik,” lanjut Mayumi. “Dia telah mengkhitbahmu tadi malam. Apa kamu tak takut akan laknat-Nya bila menolak khitbah dokter Haekal?”
Garsini terdiam. Ia tidak menyatakan penolakan, hanya tak bisa memberi kepastian seketika itu juga. Sehingga Haekal meninggalkan tiket pulang begitu saja di atas meja, berlalu dalam kekecewaan dan ketakberdayaan. Lelaki itu, usianya hampir tiga puluh, pikir Garsini. Seharusnya telah matang dalam segala hal, baik dalam sikap perilaku maupun perkataan dan tindakannya. Haekal telah melewati proses pendewasaan itu sejak mereka pertama kali berkenalan…
Namun, mengapa rasanya, setidaknya demikian menurut anggapan Garsini; dirinya berhasil menyamai tingkat pendewasaan itu secara utuh. Di sisi lain Haekal justru mandek, tak mengembangkan tingkat pendewasaannya ke tingkat lebih tinggi? Terbukti dari sikap, perkataan dan tindakannya yang kerap tak bijak dan kekanak-kanakan… melamarnya tiba-tiba, memaksanya pergi berduaan dengan dalih sebagai refreshing, menanyakan kesucian dirinya, mencurigainya, menyangsikan kejujurannya…
“Apakah aku harus selalu memahaminya seumur hidupku kelak? Selalu memberinya kesempatan tiap saat dari waktu ke waktu? Berbakti dan mengabdi kepadanya, melahirkan anak-anaknya dalam ketakpastian…?” Air mata Garsini kini berderaian hebat. Ia tak bisa membayangkan, kehidupan pahit ibunya harus dijalaninya pula kelak dengan pria yang pernah dikhianati kekasihnya itu.
“Cobalah kamu berdiri di posisinya,” Mayumi melirik arloji indah yang membelit pergelangan tangannya. Jay Bachan sudah mengisyaratkan bahwa sudah tiba saatnya mereka meninggalkan tempat itu.
“Sudahlah, jangan pikirkan lagi diriku,” Garsini memahaminya. “Jangan khawatirkan aku, Mayumi, pergilah… Nanti akan kuberi tahu keputusanku melalui telepon.”
Mayumi pun tak punya pilihan lain. Dirangkulnya Garsini dan dipeluknya erat-erat. “Apapun keputusanmu, aku akan mendukungmu, tetapi selalulah bersandar kepada-Nya… ehm, shalat lail, istikharah, ya Sayang?”
“Insya Allah,” kata Garsini dan semalam pun ia telah melakukannya.
Tatkala limousine itu telah bergerak meninggalkan pekarangan, Garsini merasakan kesenyapan yang menyakitkan. Bunga-bunga sakura berguguran di hadapannya pertanda musim semi akan segera berakhir. Ia mendongakkan kepalanya ke langit, memandangi lanskap Negeri Sakura. Awan-awan putih berarak, di matanya masih terlukis sebagai arakan kapas yang lembut, senantiasa menjanjikan sejuta harapan…
Tapi di sini urusanku memang telah selesai!
“Aku telah mengemasi barang… Hmm, masih ada waktu menuju Bandara Narita,” gumamnya sendiri sambil membalikkan tubuhnya. Di bibirnya tiba-tiba tersungging seulas senyum, merasa telah berhasil mengecoh Mayumi. Tentu saja, ia tak ingin merepotkan suami-istri itu, bahkan sekadar untuk menumpang limousine mereka.
Sejurus kemudian tampak gadis itu telah siap berangkat dengan koper alakadarnya. Ia telah menentukan pilihan, kembali ke Tanah Air dengan pesawat sama yang ditumpangi Haekal. Persis seperti empat tahun silam mereka pernah melakukannya.
Depok, Syawal 1423 Hijriyah
SELESAI

2008 November 15 17:42

Blogger ramdan berkata...

1001 Burung Kertas
Reo dan July adalah sepasang kekasih yang serasi walaupun keduanya berasal dari
keluarga yang jauh berbeda latar belakangnya. Keluarga July berasal dari keluarga
kaya raya dan serba berkecukupan, sedangkan keluarga Reo hanyalah keluarga seorang
petani miskin yang menggantungkan kehidupannya pada tanah sewaan.
Dalam kehidupan mereka berdua, Reo sangat mencintai July. Reo telah melipat 1000
buah burung kertas untuk July dan July kemudian menggantungkan burung-burung
kertas tersebut pada kamarnya. Dalam tiap burung kertas tersebut Reo telah
menuliskan harapannya kepada July. Banyak sekali harapan yang telah Reo ungkapkan
kepada July. “Semoga kita selalu saling mengasihi satu sama lain”,”Semoga Tuhan
melindungi July dari bahaya”,”Semoga kita mendapatkan kehidupan yang
bahagia”,dsb. Semua harapan itu telah disimbolkan dalam burung kertas yang
diberikan kepada July.
Suatu hari Reo melipat burung kertasnya yang ke 1001. Burung itu dilipat dengan
kertas transparan sehingga kelihatan sangat berbeda dengan burung-burung kertas
yang lain. Ketika memberikan burung kertas ini, Reo berkata kepada July: “ July, ini
burung kertasku yang ke 1001. Dalam burung kertas ini aku mengharapkan adanya
kejujuran dan keterbukaan antara aku dan kamu. Aku akan segera melamarmu dan
kita akan segera menikah. Semoga kita dapat mencintai sampai kita menjadi kakek
nenek dan sampai Tuhan memanggil kita berdua ! “
Saat mendengar Reo berkata demikian, menangislah July. Ia berkata kepada Reo : “
Reo, senang sekali aku mendengar semua itu, tetapi aku sekarang telah memutuskan
untuk tidak menikah denganmu karena aku butuh uang dan kekayaan seperti kata
orang tuaku!” Saat mendengar itu Reo pun bak disambar geledek. Ia kemudian mulai
marah kepada July. Ia mengatai July matre, orang tak berperasaan, kejam, dan
sebagainya. Akhirnya Reo meninggalkan July menangis seorang diri.
Reo mulai terbakar semangatnya. Ia pun bertekad dalam dirinya bahwa ia harus sukses
dan hidup berhasil. Sikap July dijadikannya cambuk untuk maju dan maju. Dalam
Sebulan usaha Reo menunjukkan hasilnya. Ia diangkat menjadi kepala cabang di mana
ia bekerja dan dalam setahun ia telah diangkat menjadi manajer sebuah perusahaan
yang bonafide dan tak lama kemudian ia mempunyai 50% saham dari perusahaan itu.
Sekarang tak seorangpun tak kenal Reo, ia adalah bintang kesuksesan.
Suatu hari Reo pun berkelilingkotadengan mobil barunya. Tiba-tiba dilihatnya sepasang
suami-istri tua tengah berjalan di dalam derasnya hujan. Suami istri itu kelihatan lusuh
dan tidak terawat. Reo pun penasaran dan mendekati suami istri itu dengan mobilnya
dan ia mendapati bahwa suami istri itu adalah orang tua July. Reo mulai berpikir untuk
memberi pelajaran kepada kedua orang itu, tetapi hati nuraninya melarangnya sangat
kuat. Reo membatalkan niatnya dan ia membuntuti kemana perginya orang tua July.
Reo sangat terkejut ketika didapati orang tua July memasuki sebuah makam yang
dipenuhi dengan burung kertas. Ia pun semakin terkejut ketika ia mendapati foto July
dalam makam itu. Reo pun bergegas turun dari mobilnya dan berlari ke arah makam
July untuk menemui orang tua July.
Orang tua July pun berkata kepada Reo :”Reo, sekarang kami jatuh miskin. Harta kami
habis untuk biaya pengobatan July yang terkena kanker rahim ganas. July menitipkan
sebuahsuratkepada kami untuk diberikan kepadamu jika kami bertemu denganmu.”
Orang tua July menyerahkan sepucuksuratkumal kepada Reo.
Reo membacasuratitu. “Reo, maafkan aku. Aku terpaksa membohongimu. Aku terkena
kanker rahim ganas yang tak mungkin disembuhkan. Aku tak mungkin mengatakan hal
ini saat itu, karena jika itu aku lakukan, aku akan membuatmu jatuh dalam kehidupan
sentimentil yang penuh keputusasaan yang akan membawa hidupmu pada kehancuran.
Aku tahu semua tabiatmu Reo, karena itu aku lakukan ini. Aku mencintaimu
Reo................................
July “ Setelah membacasuratitu, menangislah Reo. Ia telah berprasangka terhadap
July begitu kejamnya. Ia pun mulai merasakan betapa hati July teriris-iris ketika ia
mencemoohnya, mengatainya matre, kejam dan tak berperasaan. Ia merasakan betapa
July kesepian seorang diri dalam kesakitannya hingga maut menjemputnya, betapa
July mengharapkan kehadirannya di saat-saat penuh penderitaan itu. Tetapi ia lebih
memilih untuk menganggap July sebagai orang matre tak berperasan.July telah
berkorban untuknya agar ia tidak jatuh dalam keputusasaan dan kehancuran.
Cinta bukanlah sebuah pelukan atau ciuman tetapi cinta adalah pengorbanan untuk
orang yang sangat berarti bagi kita
Diceritakan ulang oleh

Air Mendidih
Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan
mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana
menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya
setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.
Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan
menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh
wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di
panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata. Si anak membungkam
dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.
Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di
mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan

menuangkan kopi di mangkuk lainnya.
Lalu ia bertanya kepada anaknya, "Apa yang kau lihat, nak?" "Wortel, telur, dan kopi"
jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel
itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu
memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia
mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk
mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, "Apa arti semua ini, Ayah?" Ayahnya menerangkan bahwa
ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing
menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus,
wortel menjadi lembut dan lunak.
Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa
cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.
Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air,
bubuk kopi merubah air tersebut. "Kamu termasuk yang mana?," tanya ayahnya.
"Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu
wortel, telur atau kopi?"
Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi
dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan
kehilangan kekuatanmu.
Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang
dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan
menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit
dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?
Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang
menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat
Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu
seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi
semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.
Belajar Mencintai Dari Cicak
Ketika sedang merenovasi sebuah rumah, seseorang mencoba merontokan tembok.
Rumah di Jepang biasanya memiliki ruang kosong diantara tembok yang terbuat dari
kayu. Ketika tembok mulai rontok, dia menemukan seekor cicak terperangkap diantara
ruang kosong itu karena kakinya melekat pada sebuahsurat. Dia merasa kasihan
sekaligus penasaran. Lalu ketika dia mengeceksuratitu, ternyatasurattersebut telah
ada disitu 10 tahun lalu ketika rumah itu pertama kali dibangun.
Apa yang terjadi? Bagaimana cicak itu dapat bertahan dengan kondisi terperangkap
selama 10 tahun??? Dalam keadaan gelap selama 10 tahun, tanpa bergerak sedikitpun,
itu adalah sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akan.
Orang itu lalu berpikir, bagaimana cicak itu dapat bertahan hidup selama 10 tahun
tanpa berpindah dari tempatnya sejak kakinya melekat padasuratitu!
Orang itu lalu menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan cicak itu, apa yang
dilakukan dan apa yang dimakannya hingga dapat bertahan. kemudian, tidak tahu
darimana datangnya, seekor cicak lain muncul dengan makanan di
mulutnya....AHHHH!
Orang itu merasa terharu melihat hal itu. Ternyata ada seekor cicak lain yang selalu
memperhatikan cicak yang terperangkap itu selama 10 tahun.
Sungguh ini sebuah cinta...cinta yang indah. Cinta dapat terjadi bahkan pada hewan
yang kecil seperti dua ekor cicak itu. apa yang dapat dilakukan oleh cinta? tentu saja
sebuah keajaiban.
Bayangkan, cicak itu tidak pernah menyerah dan tidak pernah berhenti
memperhatikan pasangannya selama 10 tahun. bayangkan bagaimana hewan yang kecil
itu dapat memiliki karunia yang begitu menganggumkan.
Saya tersentuh ketika mendengar cerita ini. Lalu saya mulai berpikir tentang
hubungan yang terjalin antara keluarga, teman, kekasih, saudara lelaki, saudara
perempuan..... Seiring dengan berkembangnya teknologi, akses kita untuk
mendapatkan informasi berkembang sangat cepat. Tapi tak peduli sejauh apa jarak
diantara kita, berusahalah semampumu untuk tetap dekat dengan orang-orang yang
kita kasihi. JANGAN PERNAH MENGABAIKAN ORANG YANG ANDA KASIHI!!!
.


Bintang Laut
Ketika fajar menyingsing, seorang lelaki tua berjalan-jalan di pinggir pantai sambil
menikmati angin laut yang segar menerpa bibir pantai. Di kejauhan dilihatnya seorang
anak sedang memungut bintang laut dan melemparkannya kembali ke dalam air.
Setelah mendekati anak itu, lelaki tua itu bertanya heran;
'Mengapa engkau mengumpulkan dan melemparkan kembali bintang laut itu ke dalam
air?'. Tanyanya.
'Karena bila dibiarkan hingga matahari pagi datang menyengat, bintang laut yang
terdampar itu akan segera mati kekeringan.' Jawab si kecil itu.
'Tapi pantai ini luas dan bermil-mil panjangnya.' Kata lelaki tua itu sambil
menunjukkan jarinya yang mulai keriput ke arah pantai pasir yang luas itu. 'Lagi pula
ada jutaan bintang laut yang terdampar. Aku ragu apakah usahamu itu sungguh
mempunyai arti yang besar.' Lanjutnya penuh ragu.
Anak itu lama memandang bintang laut yang ada di tangannya tanpa berkata
sepatahpun. Lalu dengan perlahan ia melemparkannya ke dalam laut agar selamat dan
hidup.
'Saya yakin usahaku sungguh memiliki arti yang besar sekurang-kurangnya bagi yang
satu ini.' Kata si kecil itu.
Kita sering mendambakan untuk melakukan sesuatu yang besar, namun sering kali kita
lupa bahwa yang besar itu sering dimulai dengan sesuatu yang kecil.

Kisah Biola dan Segala Sesuatu Yang Tak Dapat Diubah
Niccolo Paganini, seorang pemain biola yang terkenal di abad 19, memainkan konser
untuk para pemujanya yang memenuhi ruangan. Dia bermain biola dengan diiringi
orkestra penuh.
Tiba-tiba salah satu senar biolanya putus. Keringat dingin mulai membasahi dahinya
tapi dia meneruskan memainkan lagunya. Kejadian yang sangat mengejutkan senar
biolanya yang lain pun putus satu persatu hanya meninggalkan satu senar, tetapi dia
tetap main. Ketika para penonton melihat dia hanya memiliki satu senar dan tetap
bermain,mereka berdiri dan berteriak, "Hebat, hebat."
Setelah tepuk tangan riuh memujanya, Paganini menyuruh mereka untuk duduk.
Mereka menyadari tidak mungkin dia dapat bermain dengan satu senar. Paganini
memberi hormat pada para penonton dan memberi isyarat pada dirigen orkestra untuk
meneruskan bagian akhir dari lagunya itu. Dengan mata berbinar dia berteriak,
"Peganini dengan satu senar." Dia menaruh biolanya di dagunya dan memulai
memainkan bagian akhir dari lagunya tersebut dengan indahnya. Penonton sangat
terkejut dan kagum pada kejadian ini.
MAKNA: Hidup kita dipenuhi oleh persoalan, kekuatiran, kekecewaan dan semua hal
yang tidak baik. Secara jujur, kita seringkali mencurahkan terlalu banyak waktu
mengkonsentrasikan pada senar kita yang putus dan segala sesuatu yang kita tidak
dapat ubah.
Apakah anda masih memikirkan senar-senar Anda yang putus dalam hidup Anda?
Apakah senar terakhir nadanya tidak indah lagi? Jika demikian, saya ingin
menganjurkan jangan melihat ke belakang, majulah terus, mainkan senar satu-satunya
itu. Mungkinkanlah itu dengan indahnya. Tuhan akan menolong Anda.

Garam & Telaga
Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang
anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka
yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang
bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam,
dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam
gelas, lalu diaduknya perlahan.
"Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..", ujar Pak tua itu.
"Pahit. Pahit sekali", jawab sang tamu, sambil meludah kesamping. Pak Tua itu, sedikit
tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam
hutan dekat tempat tinggalnya.
Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga
yang tenang itu. Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam
telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta
riak air, mengusik ketenangan telaga itu.
"Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu,
Pak Tua berkata lagi, "Bagaimana rasanya?".
"Segar.", sahut tamunya.
"Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?", tanya Pak Tua lagi.
"Tidak", jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu
mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. "Anak muda,
dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak
kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. "Tapi,
kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu
semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan
kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah
dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan
itu." Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. "Hatimu, adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu
meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan."
Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si
orang bijak itu, kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain,
yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa
Hadiah Cinta Seorang Ibu
"Bisa saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh
kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut
yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter
yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi
itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga!
Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi
seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak
aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke Rumah dan
membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang menangis. Ia tahu hidup anak
lelakinya penuh dengan kekecewaan dan tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak berkata,
"Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."
Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai
teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya dibidang musik dan
menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan,"Bukankah nantinya
kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?"
Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu
bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuknya.
"Saya percaya saya bisa memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus
ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya," kata dokter.
Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan
telinga dan mendonorkannya pada mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya,
"Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya
padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi.
Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata sang ayah.
Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah. Bakat musiknya
yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari
sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang
diplomat. Ia menemui ayahnya, "Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah
bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar
namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya."
Ayahnya menjawab, "Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang
yang telah memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan,
"Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia
ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia.
Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah
dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal.
Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah ibu yang terbujur
kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah .... bahwa sang ibu tidak memiliki
telinga. "Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan
rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah
kehilangan sedikit kecantikannya bukan?"
Kecantikan yang sejati tidak terletak pada penampilan tubuh namun didalam hati.
Harta karun yang hakiki tidak terletak pada apa yang bisa terlihat, namun pada apa
yang tidak dapat terlihat. Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah
dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak
diketahui.
Hadiah yang Lebih Berharga
Parapenumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda berpenampilan
menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki tangga. Dia membayar
sopir bus lalu, dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan menyusuri lorong sampai
menemukan kursi yang tadi dikatakan kosong oleh si sopir. Kemudian ia duduk,
meletakkan tasnya dipangkuannya dan menyandarkan tongkatnya pada tungkainya.
Setahun sudah lewat sejak Susan, tiga puluh empat, menjadi buta. Gara-gara salah
diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan terlempar kedunia yang gelap gulita,
penuh amarah, frustasi, dan rasa kasihan pada diri sendiri.
Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib
mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, merasa tak berdaya, dan
menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya.
"Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku ?" dia bertanya-tanya, hatinya mengeras
karena marah. Tetapi, betapa pun seringnya ia menangis atau menggerutu atau
berdoa, dia mengerti kenyataan yang menyakitkan itu --penglihatannya takkan pernah
pulih lagi.
http://www.processtext.com/abclit.html

Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu
seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya
frustasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark seorang perwira
Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus.
Ketika istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat bagaimana Susan
tenggelam dalam keputus asaan. Mark bertekat untuk membantunya menemukan
kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi mandiri
lagi.
Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk menghadapi berbagai situasi
darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran yang paling sulit yang pernah
dihadapinya.
Akhirnya, Susan merasa siap bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia akan bisa sampai ke
kantornya? Dulu Susan biasa naik bus, tetapi sekarang terlalu takut untuk pergi
kekotasendirian. Mark menawarkan untuk mengantarkannya setiap hari, meskipun
tempat kerja mereka terletak di pinggirkotayang berseberangan.
Mula-mula, kesepakatan itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena bisa
melindungi istrinya yang buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling
sederhana sekalipun.
Tetapi, Mark segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru --membuat mereka
terburu-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi, Mark menyimpulkan
dalam hati. Tetapi, baru berpikir untuk menyampaikan rencana itu kepada Susan telah
membuatnya merasa tidak enak. Susan masih sangat rapuh, masih sangat marah.
Bagaimana reaksinya nanti? Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar
gagasan untuk naik bus lagi. "Aku buta !" tukasnya dengan pahit. "Bagaimana aku bisa
tahu kemana aku pergi? Aku merasa kau akan meninggalkanku" Mark sedih mendengar
kata-kata itu, tetapi ia tahu apa yang harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi
dan sore, ia akan naik bus bersama Susan, selama masih diperlukan,sampai Susan hafal
dan bisa pergi sendiri.
Dan itulah yang terjadi. Selama dua minggu penuh Mark, menggunakan seragam
militer lengkap, mengawal Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari. Dia mengajari
Susan bagaimana menggantungkan diri pada indranya yang lain, terutama
pendengarannya, untuk menemukan dimana ia berada dan bagaimana beradaptasi
http://www.processtext.com/abclit.html

dengan lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan berkawan dengan
sopir-sopir bus dan menyisakan satu kursi kosong untuknya.
Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu menyenangkan
ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan tasnya yang penuh
berkas di lorong bus. Setiap pagi mereka berangkat bersama-sama, setelah itu Mark
akan naik taksi ke kantornya.
Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan daripada yang pertama,Mark
yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa dikawal. Mark
percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnya sebelum wanita itu
kehilangan penglihatannya; wanita yang tidak pernah takut menghadapi tantangan
apapun dan tidak akan pernah menyerah.
Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu seorang
diri.
Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang pernah menjadi
kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya berkaca-kaca, penuh air
mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta Mark. Dia mengucapkan selamat
berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi ke arah yang berlawanan.
Senin, Selasa, Rabu, Kamis...Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum pernah
Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil ! Dia mampu berangkat kerja tanpa dikawal.
Pada hari Jum'at pagi,seperti biasa Susan naik bus ke tempat kerja. Ketika dia
membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata : "Wah,aku iri padamu".
Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara kepadanya atau tidak. Lagipula, siapa yang
bisa iri pada seorang wanita buta yang sepanjang tahun lalu berusaha menemukan
keberanian untuk menjalani hidup?
Dengan penasaran, dia berkata kepada sopir itu, "Kenapa kau bilang kau iri
kepadaku?" Sopir itu menjawab, "Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti
itu"
Susan tidak mengerti apa maksud sopir itu. Sekali lagi dia bertanya, "Apa maksudmu ?"
Kau tahu, minggu kemarin, setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam militer
berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia memastikan
bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus sampai kau
masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi hormat ala militer,
lalu pergi. Kau wanita yang beruntung",kata sopir itu.
http://www.processtext.com/abclit.html

Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik tidak dapat
melihat Mark, dia selalu bisa memastikan kehadirannya. Dia beruntung, sangat
beruntung, karena Mark memberikannya hadiah yang jauh lebih berharga daripada
penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan matanya untuk menyakinkan diri
--hadiah cinta yang bisa menjadi penerang dimanapun ada kegelapan.

Meja Kayu
Suatu ketika, ada seorang kakek yang harus tinggal dengan anaknya. Selain itu,
tinggal pula menantu, dan anak mereka yang berusia 6 tahun. Tangan orangtua ini
begitu rapuh, dan sering bergerak tak menentu. Penglihatannya buram, dan cara
berjalannya pun ringkih.
Keluarga itu biasa makan bersama diruang makan. Namun, sang orangtua yang pikun
ini sering mengacaukan segalanya. Tangannya yang bergetar dan mata yang rabun,
membuatnya susah untuk menyantap makanan. Sendok dan garpu kerap jatuh ke
bawah. Saat si kakek meraih gelas, segera saja susu itu tumpah membasahi taplak.
Anak dan menantunya pun menjadi gusar. Mereka merasa direpotkan dengan semua
ini. "Kita harus lakukan sesuatu," ujar sang suami. "Aku sudah bosan membereskan
semuanya untuk pak tua ini." Lalu, kedua suami-istri ini pun membuatkan sebuah meja
kecil di sudut ruangan.
Disana, sang kakek akan duduk untuk makan sendirian, saat semuanya menyantap
makanan. Karena sering memecahkan piring, keduanya juga memberikan mangkuk
kayu untuk si kakek. Sering, saat keluarga itu sibuk dengan makan malam mereka,
terdengar isak sedih dari sudut ruangan.Adaairmata yang tampak mengalir dari gurat
keriput si kakek. Namun, kata yang keluar dari suami-istri ini selalu omelan agar ia tak
menjatuhkan makanan lagi.
Anak mereka yang berusia 6 tahun memandangi semua dalam diam. Suatu malam,
sebelum tidur, sang ayah memperhatikan anaknya yang sedang memainkan mainan
kayu. Dengan lembut ditanyalah anak itu. "Kamu sedang membuat apa?". Anaknya
menjawab, "Aku sedang membuat meja kayu buat ayah dan ibu untuk makan saatku
besar nanti. Nanti, akan kuletakkan di sudut itu, dekat tempat kakek biasa makan."
Anak itu tersenyum dan melanjutkan pekerjaannya. Jawaban itu membuat kedua
orangtuanya begitu sedih dan terpukul. Mereka tak mampu berkata-kata lagi. Lalu,
airmatapun mulai bergulir dari kedua pipi mereka. Walau tak ada kata-kata yang
terucap, kedua orangtua ini mengerti, ada sesuatu yang harus diperbaiki.
Malam itu, mereka menuntun tangan si kakek untuk kembali makan bersama di meja
makan. Tak ada lagi omelan yang keluar saat ada piring yang jatuh, makanan yang
tumpah atau taplak yang ternoda. Kini, mereka bisa makan bersama lagi di meja
utama.
http://www.processtext.com/abclit.html

Author Unknown
Teman, anak-anak adalah persepsi dari kita. Mata mereka akan selalu mengamati,
telinga mereka akan selalu menyimak, dan pikiran mereka akan selalu mencerna
setiap hal yang kita lakukan. Mereka adalah peniru. Jika mereka melihat kita
memperlakukan orang lain dengan sopan, hal itu pula yang akan dilakukan oleh
mereka saat dewasa kelak. Orangtua yang bijak, akan selalu menyadari, setiap
"bangunan jiwa" yang disusun, adalah pondasi yang kekal buat masa depan anak-anak.
Mari, susunlah bangunan itu dengan bijak. Untuk anak-anak kita, untuk masa depan
kita, untuk semuanya. Sebab, untuk mereka lah kita akan selalu belajar, bahwa
berbuat baik pada orang lain, adalah sama halnya dengan tabungan masa depan.
Terima kasih telah membaca
Hope you are well and please do take care.
Memperbaiki Boneka
Liping, gadis kecil disuruh ibunya ke toko 7 Evelen dekat rumahnya untuk membeli
sesuatu, dengan pesanan untuk segera kembali ke rumah setelah membeli barang yang
dimaksud. Namun sejam...dua jam kini telah berlalu. Liping belum juga kembali dan
hal ini membuat ibunya penasaran dan cemas.
"Ke mana saja engkau pergi?" Tanya ibunya dengan teriakan keras ketika Liping
akhirnya muncul di depan pintu. "Mami...maafkan Liping. Aku tahu kalau aku
terlambat pulang." Kata Liping penuh penyesalan. "Tapi...tadi boneka Lingling, teman
Liping, rusak. Aku harus membantunya memperbaiki boneka itu." Lanjut Liping
menjelaskan.
"Engkau membantu Lingling memperbaiki bonekanya? Bagaimana caranya engkau
memperbaikinya?" Lanjut ibunya dengan penuh rasa heran. "Jujur bu...,saya tak
mampu perbaiki bonekanya...saya hanya duduk di samping Lingling dan menangis
bersamanya." Lanjut Liping.
-. Tertawalah bersama mereka yang tertawa dan menangislah bersama mereka yang
menangis.
-. Sahabat adalah ia yang senantiasa berada di sampingku, bahkan juga di saat ketika
dunia seakan mati.

Mengasah kapak

Disuatu waktu, adalah seorang pemotong kayu yang sangat kuat. Dia melamar sebuah
pekerjaan ke seorang pedagang kayu, dan dia mendapatkannya. Gaji dan kondisi kerja
yang diterimanya sangat bagus. Karenanya sang pemotong kayu memutuskan untuk
bekerja sebaik mungkin.
Sang majikan memberinya sebuah kapak dan menunjukkan area kerjanya. Hari
pertama sang pemotong kayu berhasil merobohkan 18 batang pohon. Sang majikan
sangat terkesan dan berkata, "Selamat, kerjakanlah seperti itu!" Sangat termotivasi
oleh pujian majikannya, keesokan harinya sang pemotong kayu bekerja lebih keras
lagi, tetapi dia hanya berhasil merobohkan 15 batang pohon. Hari ketiga dia bekerja
lebih keras lagi, tetapi hanya berhasil merobohkan 10 batang pohon.
Hari-hari berikutnya pohon yang berhasil dirobohkannya makin sedikit. "Aku mungkin
telah kehilangan kekuatanku", pikir pemotong kayu itu. Dia menemui majikannya dan
meminta maaf, sambil mengatakan tidak mengerti apa yang terjadi. "Kapan saat
terakhir anda mengasah kapak?" sang majikan bertanya. "Mengasah? Saya tidak punya
waktu untuk mengasah kapak. Saya sangat sibuk mengapak pohon."
Catatan:
Kehidupan kita sama seperti itu. Seringkali kita sangat sibuk sehingga tidak lagi
mempunyai waktu untuk mengasah kapak. "Pada istilah sekarang, setiap orang lebih
sibuk dari sebelumnya, tetapi lebih tidak berbahagia dari sebelumnya.
Mengapa? Mungkinkah kita telah lupa bagaimana caranya untuk tetap tajam? Tidaklah
salah dengan aktivitas dan kerja keras. Tetapi tidaklah seharusnya kita sedemikian
sibuknya sehingga mengabaikan hal2 yang sebenarnya sangat penting dalam hidup,
seperti kehidupan pribadi, menyediakan waktu untuk membaca, dlsb. Kita semua
membutuhkan waktu untuk relaks, untuk berpikir dan merenung, untuk belajar dan
bertumbuh. Bila kita tidak mempunyai waktu untuk mengasah kapak, kita akan tumpul
dan kehilangan efektifitas. Jadi mulailah dari sekarang, memikirkan cara bekerja lebih
efektif dan menambahkan banyak nilai kedalamnya.
Disadur secara bebas dari: Sharpen The Axe
Menundukkan Kepala
Seorang petinggi pemerintah. Demi meningkatkan pamor pribadinya ia datang
mengunjungi seorang guru yang terkenal di daerah itu. Namun malangnya. Ketika ia
hendak masuk ke pondok sang guru, kepalanya terbentur menabrak palang pintu yang
memang begitu rendah. Kepalanya mengucurkan butir darah dan ia nampak amat
kesakitan sambil berteriak-teriak.
Sang guru setelah memperhatikan petinggi pemerintah tersebut, lalu berseru;
“Nampaknya engkau amat kesakitan! Saya pikir ini merupakan hadiah terbesar yang
kamu peroleh hari ini. Proficiat!!”

“Apa katamu?? Hadiah terbesar? Tidakkah engkau lihat bahwa darah sedang mengucur
turun dari dahiku?” Ujar sang petinggi pemerintah tersebut dengan nada suara yang
membumbung tinggi.
“Benar!!!” Jawab sang Guru. “Ketika engkau telah mencapai puncak bukit, engkau
harus berusah untuk turun lagi ke kaki gunung tersebut.” Kata sang guru sambil
memandang tamu agungnya. Dan....engkau harus belajar menundukan kepala agar
agar dahimu tidak tersobek oleh palang pintu lagi.
-.) Yang meninggikan dirinya, ia akan direndahkan. Sebaliknya, yang merendahkan
dirinya ia akan ditinggikan.
Tarsis Sigho -Taipei
Email:tarsis@svdchina.org
Mimi: Sang Tikus
Adaseekor tikus kecil bernama Mimi. Suatu hari ketika pergi ke sekolah, teman-teman
kelasnya berteriak mengganggu dan mengolok-oloknya dengan berkata: ‘Hei tikus
gembrot.’ Tentu saja Mimi mencucurkan air mata kesedihan karena ia tak tahan
menerima perlakuan tak bersahabat dari teman-temanya itu. Namun ia tak pernah
membalas dendam. Ia cuman membalas olokan tersebut dengan senyuman khasnya.
Setelah lewat beberapa waktu, keajaiban terjadi. Teman-temannya berhenti
mengoloknya. Dengan rasa agak malu Mimi bertanya mengapa mereka tidak lagi
mengoloknya.
Mereka menjawab: 'Kami menemukan bahwa engaku adalah orang yang ramah dan
tetap bermurah hati walaupun diperolok oleh orang lain.
Pada hal teman kelas kita yang lain sudah naik pitam dan marah-marah ketika kami
mengolok mereka dengan olokan yang sama.'
Teman-temannya itu dengan nada penyesalan serta dengan agak cemas bertanya:
'Bolehkah kita tetap menjadi teman yang baik?'
Sambil melonjat gembira Mimi menjawab: 'Tentu saja!!!'
Sejak itu Mimi bersama teman-teman yang suka mengoloknya itu menjadi teman yang
sangat akrab.
-.) Jangan pernah menilai orang lain dengan bertolak dari penampakan lahiriahnya.
-.) Bila anda dihina janganlah anda membalasnya dengan hinaan, karena besi bila
bertemu besi akan mendatangkan api.

Minum Teh
Sekelompok orang tua yang beradab yang hidup sebelum revolusi budaya di Cina.
Mereka membentuk sebuah kelompok di mana mereka akan ada bersama-sama saling
tukar-menukar kebijaksanaan tua yang diturun-temurunkan sejakKongfucius,MoTze
dan Chuang Tze. Di samping itu mereka akan bersama-sama menikmati minuman teh.
Secara bergilir mereka berperan menjadi tuan rumah dan masing-masingnya berusaha
menghidangkan teh terbaik atau termahal untuk menyenangkan tamu-tamunya, serta
untuk mendapatkan pujian dari mereka.
Suatu saat mereka berkumpul bersama di rumah dari seorang yang paling dihormati
dalam kelompok tersebut. Ia menghidangkan tehnya dengan cara serta ritus istimewa.
Ia mengukur daun teh dengan menggunakan senduk yang terbuat dari emas. Tamu-
tamu yang hadir tak ada yang berkata-kata karena mereka tahu kalau teh yang
dihidangkan itu adalah teh yang termahal yang belum pernah dihidangkan sebelumnya.
Semua merasa puas setelah mencicipi teh istimewa yang disuguhkan itu.
Sambil memperhatikan para tamunya yang sedang menikmati minuman istimewa itu,
sang tuan rumah berkata; “Teh istimewa yang kamu minum ini sesungguhnya dibeli di
pasar malam yang dijual oleh para petani sederhana. Ia sama dengan yang diminum
oleh para petani kecil. Hendaknya kita belajar bahwa segala sesuatu yang baik tidak
tergantung pada mahalnya harga dari barang tersebut, tetapi tergantung pada berapa
besar penghargaan dan apresiasi yang kita berikan terhadap barang tersebut.”
Tarsis Sigho -Taipei
Email:tarsis@svdchina.org
Mungkin Ya, Mungkin Tidak
Pada jaman dahulu, ada sebuah desa di mana tinggal seorang tua yang sangat
bijaksana. Penduduk desa percaya bahwa orang tua itu selalu dapat menjawab
pertanyaan mereka atau memecahkan persoalan mereka. Suatu hari, seorang petani di
desa itu datang menemui orang tua yang bijak ini dan berkata dengan putus asa, “Pak
.
Tua yang bijaksana, tolonglah saya. Saya sedang mendapat musibah. Kerbau saya mati
dan saya tak punya binatang lain yang dapat membajak sawah! Bukankah ini musibah
paling buruk yang menimpa saya?” Orang tua yang bijak tersebut menjawab, “Mungkin
ya, mungkin tidak.” Petani itu bergegas kembali ke desa dan menceritakan kepada
tetangga-tetangganya bahwa orang tua yang bijak itu kini sudah menjadi gila. Tentu
saja inilah musibah terburuk yang dialaminya. Mengapa orang tua itu tidak melihatnya?
Namun, keesokan harinya tiba-tiba muncul seekor kuda yang masih muda dan kuat di
dekat tanah milik petani itu. Karena tak punya kerbau lagi untuk membajak sawahnya,
petani itu berpikir untuk menangkap kuda itu sebagai ganti kerbaunya. Dan akhirnya
ditangkapnyalah kuda itu. Betapa gembiranya si petani. Membajak sawah tak pernah
semudah ini rasanya. Ia datang kembali ke orang tua yang bijak itu dan meminta maaf,
“Pak Tua yang bijaksana, Anda memang benar. Kehilangan kerbau bukanlah musibah
yang paling buruk yang menimpa diri saya. Inilah rahmat terselubung bagi saya! Saya
tak akan pernah bisa memiliki kuda baru seandainya kerbau saya tidak hilang. Anda
pasti setuju bahwa inilah hal terbaik yang pernah saya dapatkan.” Orang tua itu
menjawabnya sekali lagi, “Mungkin ya, mungkin tidak.” Lagi-lagi begini, pikir si
petani. Pastilah orang tua yang bijak itu sudah benar-benar gila sekarang.!
Tetapi sekali lagi si petani tidak mengetahui apa yang terjadi. Beberapa hari
kemudian anak laki-laki si petani jatuh dari kuda yag sedang dinaikinya. Kakinya patah
dan tak bisa lagi membantu ayahnya bertani. Tidak, pikir si petani. Sekarang kami
akan mati kelaparan. Sekali lagi si petani datang menemui orang tua yang bijak itu.
Kali ini ia berkata, “Bagaimana Anda bisa tahu bahwa mendapatkan kuda bukanlah
sesuatu yang baik bagi saya? Lagi-lagi anda benar. Anak saya terluka dan tak bisa lagi
membantu saya bertani. Kali ini saya benar-benar yakin bahwa inilah hal terburuk yang
pernah menimpa saya. Sekarang pasti Anda setuju.” Tetapi seperti yang terjadi
sebelumnya, orang tua yang bijak itu dengan tenang menatap si petani dan dengan
suaranya yang sejuk berkata sekali lagi, “Mungkin ya, mungkin tidak.” Marah karena
merasa orang tua yang bijak tersebut menjad! i begitu bodoh, si petani langsung
pulang ke desanya
Keesokan harinya, datanglah tentara yang bertugas mengumpulkan semua pemuda
yang bertubuh sehat untuk dijadikan prajurit dalam perang yang baru saja meletus.
Anak laki-laki si petani adalah satu-satunya pemuda di desa itu yang tidak
diikutsertakan. Ia tetap hidup, sementara pemuda lainnya kemungkinan besar akan
mati dalam peperangan.
(dikutip dari buku “Don’t Sweat the Small Stuff”-Richard Carlson, Ph.D. )
.
Musuh Dalam Mimpi
Adaseorang lelaki. Suatu malam ia bermimpi buruk. Dalam mimpinya ia melihat
seorang serdadu bertopi putih, bersepatu putih. Di pinggangnya terselip sebilah
pedang yang bersarung hitam. Ketika kedua mata mereka berpapasan, serdadu
tersebut dengan serta-merta mengeluarkan kata-kata cacian, kata-kata jahat yang
sungguh pedas yang ditujukan padanya. Serdadu tersebut juga secara kejam meludahi
wajahnya. Sungguh suatu penghinaan yang teramat besar. Selama hidupnya belum
pernah ia dihina seperti ini.
Ketika bangun pagi, dipenuhi dengan perasaan yang kurang enak ia menceritakan kisah
hina yang menimpa dirinya dalam mimpi semalam. 'Sejak kecil hingga kini saya belum
pernah dihina oleh orang lain. Tapi malam tadi, saya bukan saja dihina, bahkan
wajahkupun diludahi. Aku sungguh tidak bisa terima diperlakukan secara demikian.
Aku harus menemukan orang ini dan memberikan imbalan yang setimpal.' Kata lelaki
itu penuh rasa benci sambil menggertakan giginya.
Sejak itu, setiap hari setelah bangun tidur ia akan berdiri di persimpangan jalan yang
ramai dilewati orang, dengan harapan suatu saat bisa menemukan musuh yang
dilihatnya dalam mimpi itu. Seminggu, sebulan, setahun kini berlalu. Orang yang dicari
itu tak pernah menunjukkan batang hidungnya. Lelaki tersebut telah menghabiskan
separuh dari waktu hidupnya hanya demi sesuatu yang tidak nyata. Ia meracuni
hatinya sendiri dengan rasa benci hasil ciptaannya sendiri.
-Sering kita menciptakan musuh yang tidak real, dan memupuk kebencian dalam hati
yang pada baliknya merupakan racun yang menghancurkan diri sendiri.
-Apakah andapun memupuki kebencian dalam hati anda?
-Ketahuilah: Ketika anda membenci, anda sendirilah yang menjadi korban kebencian
anda.
Secangkir Kopi
Setiap hari setelah bangun tidur dan sebelum memulai kegiatan sehari, aku pasti
menyiapkan secangkir kopi. Secangkir kopi yang kental dan pahit. Ketika
kerongkonganku dibangkitkan oleh pahitnya kopi kental, isi kepalakupun seakan
terlonjat bangun. Tanpa kopi hidupku serasa mati.

Ketika minum kopi aku berpikir; 'Hidupku pun kadang butuh secangkir kopi. 'Ia butuh
pengalaman pahit. Ia harus melewati kegetiran hidup, agar aku bisa
mempertimbangkannya secara lebih matang dan mendalam, agar aku bisa mengambil
langkah baru dan memberi nilai baru. Hanya dengan itu aku bisa menjadi lebih gigih
dan kuat.
Karena itu temanku... janganlah mengeluh saat menghadapi berbagai jenis kepahitan.
Jadikanlah itu tepung kopi unggul, yang dimasak oleh pikiran yang matang untuk
menghasilkan secangkir kopi kental. Pahit tapi ahh.... enaknya...
Hemmm....sambil menikmati kopiku, kunikmati pula hidup ini.
Tarsis Sigho -Taipei
Email:tarsis@catholic.org
Segelas Susu
Suatu hari seorang bocah miskin sedang berjualan dari rumah ke rumah demi
membiayai sekolahnya.
Ia merasa lapar dan haus, tapi sayangnya ia hanya mempunyai sedikit sekali uang.
Anak itu memutuskan untuk meminta makanan dari rumah terdekat.
Tetapi, saat seorang gadis muda membukakan pintu, ia kehilangan keberaniannya.
Akhirnya ia hanya meminta segelas air putih untuk menawarkan dahaga.
Gadis muda itu berpikir pastilah anak ini merasa lapar, maka dibawakannyalah segelas
besar susu untuk anak tersebut.
Ia meminumnya perlahan, kemudian bertanya, "Berapa saya berhutang kepada anda ?"
"Kamu tidak berhutang apapun kepada saya," jawabnya. "Ibuku mengajarkan untuk
tidak menerima bayaran untuk perbuatan baik yang kami lakukan."
Anak itu menjawab, "Kalau begitu, saya hanya bisa mengucapkan terima kasih dari
lubuk hati saya yang terdalam."
Saat Howard Kelly -anak kecil yang miskin itu -meninggalkan rumah tersebut, dia
bukan hanya merasa badannya lebih segar, tetapi keyakinannya pada Tuhan dan
sesama manusia menjadi lebih kuat.
Sebelumnya dia sudah merasa putus asa dan hampir menyerah.
Tahun demi tahun berlalu. Suatu hari wanita muda tersebut mengalami sakit parah.
Dokter yang menanganinya merasa bingung dan akhirnya mengirim wanita itu
kekotabesar untuk mendapatkan pertolongan spesialis. Dr. Howard Kelly dipanggil
untuk berkonsultasi.
Ketika ia mendengar namakotatempat asal si pasien, ia segera pergi ke kamar tempat
dimana wanita tersebut dirawat. Ia langsung mengenali dan memutuskan untuk
melakukan hal terbaik yang bisa ia usahakan untuk menolongnya.
Sejak hari itu, ia memberikan perhatian khusus pada kasus ini.
Setelah melewati perjuangan panjang, peperanganpun dapat dimenangkan.
Dr. Kelly dipanggil oleh pihak administrasi untuk menandatangani biaya yang harus
dibayarkan oleh si wanita kepadanya.
Ia melihat kepada kuitansi tersebut, dan kemudian menuliskan sesuatu.
Kuintansi tersebut lalu di kirim ke kamar perawatan si wanita.
Wanita tersebut merasa takut untuk membukanya, karena ia merasa yakin bahwa ia
tidak akan mampu membayarnya.
Akhirnya dengan menguatkan hati, ia melihat ke kuintansi tersebut.
Sebuah tulisan pada kuitansi telah menarik perhatiannya.
Ia membaca tulisan itu : "TELAH DI BAYAR PENUH DENGAN SATU GELAS SUSU."
Tertanda, Dr. Howard Kelly.
Air mata mengalir dari matanya saat hatinya yang bahagia mengucapkan doa dan
pujian :
"Terima kasih Tuhan, kasihMu telah memancar melalui hati dan tangan manusia."
Tukang Kayu
Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan
konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik
perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan
bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat.
Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh
kedamaian bersama istri dan keluarganya. Pemilik perusahaan merasa sedih
kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu
tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya.
Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu.
Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak
sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu. Ia cuma
menggunakan bahan-bahan sekedarnya. Akhirnya selesailah rumah yang diminta.
Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya
dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan. Ketika pemilik perusahaan itu datang
melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang

kayu. "Ini adalah rumahmu, " katanya, "hadiah dari kami."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia
mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu
akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di
sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.
Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang
membangun kehidupan dengan cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala
kadarnya ketimbang mengupayakan yang baik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting
dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik.
Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan
menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara
yang jauh berbeda. Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu.
Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang
papan, mendirikan dinding dan atap. Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-
baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Biarpun
kita hanya hidup satu hari, maka dalam satu hari itu kita pantas untuk hidup penuh
keagungan dan kejayaan. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi.
Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hari
perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk
dalam barisan kemenangan.
(adapted from "The Builder", Unknown, thanks to Cecilia Attal) "Hidup adalah proyek
yang kau kerjakan sendiri".
.

2008 November 15 17:43

Blogger ramdan berkata...

Darah Kebiasaan Wanita
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al 'Utsaimin


Makna Haid Dan Hikmahnya
1. Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

2. Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada di dalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta'ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, di mana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta. Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian pula wanita yang menyusui sedikit haid, terutama pada awal masa penyusuan.

Usia Dan Masa Haid
Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, di mana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan: "Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapapun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu. (Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, Juz 1, hal 486)
Pendapat Ad-Darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau di atas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut .

Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan: "Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya''. Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al Qur'an, Sunnah dan logika.

Dalil pertama:
Firman Allah Ta 'ala.
"Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu suatu kotoran". Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita diwaktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci" (Al-Baqarah :222).
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari-semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada atau tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci(tidakhaid) tidakberlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.

Dalil kedua:
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah:
"Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di ka'bah sebelum kamu suci". Kata Aisyah: "Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci". Dalam Shahih Al Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda kepada Aisyah:
"Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan'im"
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.

Dalil ketiga:
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al Qur'an maupun Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasalam ; padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya.
Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat: jumlah bilangan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku' dan sujudnya; tentang zakat: jenis hartanya, nisabnya, persentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa: waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima' (hubungan suami-isteri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempumaan nikmat yang dikaruniakanAllah kepada kaum Mu'minin.
Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi SAW maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara' menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini - yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah - berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar'i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar'i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya atau ijma' yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan: "Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebutan haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasa pun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah.

Dalil keempat:
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan 'illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua dengan hari pertama, antara hari keempat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapanbelas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat 'illat yang sama. Jika demikian. Bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum di antara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam 'illat? Bukankah hal inibertentangandengan qiyas yang benar? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam 'illat?

Dalil kelima:
Adanya perbedaan dan silang pendapat dikalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukkanbahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al Qur'an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluamya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah.
Dan akan dijelaskan, Insya Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah."
Kata beliau pula: "Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka."
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian,pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu: mudah dan gampang.
Finman Allah Ta 'ala: "Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasalam : "Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidakseorang pun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampaui batas) dan sebarkan kabar gembira. " (Hadits riwayat Al Bukhari).
Dan di antara akhlak Nabi shallallahu alaihi wasalam bahwajika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.

Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, " Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid".
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan darah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al Qur'an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan tejadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi'i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al Ikhtiyarat (hal. 30): "Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini".
Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah:

Talak.
Diharamkan mentalak wanitatidakhamildalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta 'ala:
"... apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..."(Ath-Thalaaq: 1)
Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima' (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.

Iddah.
Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak.

Hal-hal diluar Kebiasaan Haid
Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:
1. Bertambah atau berkurangnya masa haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

2. Maju atau mundur waktu datangnya haid.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir bulan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa seorang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pada pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid.
Pendapat tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya: "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan dengan wanita yang istihadhah saja."

3. Darah berwarna kuning atau keruh.
Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman. Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha: "Kami tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci"
Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci ", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid".
Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah".
Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata: "Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

4. Darah haid keluar secara terputus-putus.
Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :
1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.
2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi` ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau ternasuk dalam hukum haid?
Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.
Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah.
Dikatakan dalam kitab Al-Mughni: "Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari takperlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekalitidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta 'ala berfirman:
"Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. " (Al Hajj : 78 )
Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih."
Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua pendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.

5. Terjadi pengeringan darah.
Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya).
Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.


Hukum-Hukum Haid
Terdapat banyak hukum haid, ada lebih dari dua puluh hukum. Dan kami sebutkan di sini hukum-hukum yang kami anggap banyak diperlukan, antara lain:

1. Shalat.
Diharamkan bagi wanita haid mengerjakan shalat, baik fardhu maupun sunat, dan tidak sah shalatnya. Jugatidak wajib baginya mengerjakan shalat, kecuali jika ia mendapatkan sebagian dari waktunya sebanyak satu rakaat sempuma, baik pada awal atau akhir waktunya.
Contoh pada awal waktu: seorang wanita haid setelah matahari terbenam tetapi ia sempat mendapatkan sebanyak satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah suci, mengqadha' shalat maghrib tersebut karena ia telah mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat sebelum kedatangan haid.
Adapun contoh pada akhir waktu, seorang wanita suci dari haid sebelum matahari terbit dan masih sempat mendapatkan satu rakaat dari waktunya. Maka wajib baginya, setelah bersuci, mengqadha' shalat Subuh tersebut karena ia masih sempat mendapatkan sebagian dari waktunya yang cukup untuk satu rakaat. Namun, jika wanita yang haid mendapatkan sebagian dari waktu shalat yang tidak cukup untuk satu rakaat sempuma; seperti: kedatangan haid - pada contoh pertama - sesaat setelah matahari terbenam, atau suci dari haid - pada contoh kedua - sesaat sebelum matahari terbit, maka shalat tersebut tidak wajib baginya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat, maka dia telah mendapatkan shalat itu.” (Hadits Muttafaq 'alaih).
Pengertiannya, siapa yang mendapatkan kurang dari satu rakaat berarti tidak mendapatkan shalat tersebut.
Jika seorang wanita haid mendapatkan satu rakaat dari waktu Asar, apakah wajib baginya mengerjakan shalat dzuhur bersama Ashar, atau mendapatkan satu rakaat dari waktu Isya' apakah wajib baginya mengerjakan shalat Maghrib bersama Isya'?
Terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama dalam masalah ini. Dan yang benar, bahwa tidak wajib baginya kecuali shalat yang didapatkan sebagian waktunya saja, yaitu shalat Ashar dan Isya'. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Barangsiapa mendapatkan satu rakaat dari shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapatkan shalat Ashar itu ': (Hadits muttafaq 'alaih).
Nabi tidak menyatakan "maka ia telah mendapatkan shalat Zuhur dan Ashar", juga tidak menyebutkan kewajiban shalat Zhuhur baginya. Dan menurut kaidah, seseorang itu pada prinsipnya bebas dari tanggungan. Inilah madzhab Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarh Al-Muhadzdzab. 9 (Syarh Al-Muhadzdzab, Juz 3, hal. 70.)
Adapun membaca dzikir, takbir, tasbih, tahmid dan bismillah ketika hendak makan atau pekerjaan lainnya, membaca hadits, fiqh, do'a dan aminnya, serta mendengarkan Al Qur'an, maka tidak diharamkanbagi wanita haid. Hal ini berdasarkan hadits dalam Shahih Al Bukhari - Muslim dan kitab lainnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pemah bersandar di kamar Aisyah Radhiyallahu 'anha yang ketika itu sedang haid, lain beliau membaca Al Qur'an.
Diriwayatkan pula dalam Shahih At Bukhari - Muslim dari Ummu 'Athiyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid - yakni ke shalat Idul Fitri dan Adha - serta supaya mereka ikut menyaksikan kebaikan dan doa orang-orang yang beriman. Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat.”’
Sedangkan membaca Al Qur'an bagi wanita haid itu sendiri, jika dengan mata atau dalam hati tanpa diucapkan dengan lisan maka tidak apa-apa hukumnya. Misalnya, mushaf atau lembaran Al Qur'an diletakkaan lalu matanya menatap ayat-ayat seraya hatinya membaca. Menurut An-Nawawi dalam kitab Syarh AlMuhadzdzab hal ini boleh, tanpa ada perbedaan pendapat.
Adapun jika wanita haid itu membaca Al Qur'an dengan lisan, maka banyak ulama mengharamkannya dan tidak membolehkannya. Tetapi Al-Bukhari, Ibnu JarirAt-Thabari dan Ibnul Mundzir membolehkannya. Juga boleh membaca ayat Al-Qur'an bagi wanita haid, menurut Malik dan Asy-Syafi'i dalam pendapatnya yang terdahulu, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Bari ",serta menurut Ibrahim An-Nakha'i sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa kumpulan Ibnu Qasim mengatakan: "Pada dasarnya, tidak ada hadits yang melarang wanita haid membaca Al Qur'an.
Sedangkan pemyataan "Wanita haid dan orang junub tidak boleh membaca ayat Al qur 'an " adalah hadits dhaif menurut kesepakatan para ahli hadits. Seandainya wanita haid dilarang membaca Al Qur'an, seperti halnya shalat, padahal pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kaum wanita pun mengalami haid, tentu hal ini termasuk yang dijelaskan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya, diketahui para isteri beliau sebagai ibu-ibu kaum mu'minin, serta disampaikan para sahabat kepada orang-orang. Namun, tidak ada seorangpun yang menyampaikan bahwa ada larangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam masalah ini. Karena itu, tidak boleh dihukumi haram selama diketahui bahwa Nabi tidak melarangnya. Jika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak melarangnya, padahal banyak pula wanita haid pada zaman beliau, berarti hal ini tidak haram hukumnya."
Setelah mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama, seyogyanya kita katakan, lebih utama bagi wanita haid tidak membaca Al Qur'an secara lisan, kecuali jika diperlukan. Misalnya, seorang guru wanita yang perlu mengajarkan membaca Al Qur'an kepada siswi-siswinya, atau seorang siswi yang pada waktu ujian perlu diuji dalam membaca Al Qur'an, dan lain sebagainya.

2. Puasa
Diharamkan bagi wanita haid berpuasa, baik puasa wajib maupun sunat, dan tidak sah puasa yang dilakukannya. Akan tetapi ia berkewajiban mengqadha' puasa yang wajib, berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha:"Ketika kami mengalami haid, diperintahkan kepada kami mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan mengqadha' shalat". (Hadits muttafaq 'alaih).
Jika seorang wanita kedatangan haid ketika sedang berpuasa maka batallah puasanya, sekalipun hal itu terjadi sesaat menjelang maghrib, dan wajib baginya mengqadha' puasa hari itu jika puasa wajib. Namun, jika ia merasakan tanda-tanda akan datangnya haid sebelum maghrib, tetapi baru keluar darah setelah maghrib, maka menurut pendapat yang shahih bahwa puasanya itu sempuma dan tidak batal. Alasannya, darah yang masih berada di dalam rahim belum ada hukumnya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika ditanya tentang wanita yang bermimpi dalam tidur seperti mimpinya orang laki-laki, apakah wajib mandi? Beliau pun menjawab: " Ya, jika wanita itu melihat adanya air mani"
Dalam hadits ini Nabi mengaitkan hukum dengan melihat air mani, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya. Demikian pula masalah haid, tidak berlaku hukum-hukumnya kecuali dengan melihat adanya darah keluar, bukan dengan tanda-tanda akan keluarnya.
Juga jika pada saat terbitnya fajar seorang wanita masih dalam keadaan haid maka tidak sah berpuasa pada hari itu, sekalipun ia suci sesaat setelah fajar. Tetapi jika suci menjelang fajar, maka sah puasanya sekalipun ia baru mandi setelah terbit fajar. Seperti halnya orang dalam keadaan junub, jika berniat puasa ketika masih dalam keadaan junub dan belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, maka sah puasanya. Dasarya, hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, katanya:
"pernah suatu pagi pada bulan Ramadhan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dalam keadaan junub karena jima', bukan karena mimpi, lalu beliau berpuasa". (Hadits muttafaq 'alaih).

3. Tawaf
Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Ka'bah, baik yang wajib maupun sunat, dan tidak sah thawafnya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Aisyah: "Lakukanlah apayang dilakukanjemaah haji, hanya saja jangan melakukan rhavaf di Ka'bah sebelum kamu suci.”
Adapun kewajiban lainnya, seperti sa'i antara Shafa dan Marwah, wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah dan amalan haji serta umrah selain itu, tidak diharamkan. Atas dasar ini, jika seorang wanita melakukan thawaf dalam keadaan suci, kemudian keluar haid langsung setelah thawaf, atau di tengah-tengah melakukan sa'i, maka tidak apa-apa hukumnya.

4. Thawaf Wada'
Jika seorang wanita telah mengejakan seluruh manasik haji dan umrah, lain datang haid sebelum keluar untuk kembali ke negerinya dan haid ini terus berlangsung sampai ia keluar, maka ia boleh berangkat tanpa thawaf wada'. Dasarya, hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma:
"Diperintahkan kepada jemaah haji agar saat-saat terakhir bagi mereka berada di Baitullah (melakukan thawaf wada'), hanya saja hal itu tidak dibebankan kepada wanita haid. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan tidak disunatkan bagi wanita haid ketika hendak bertolak, mendatangi pintu Masjidil Haram dan berdo'a. Karena hal ini tidak ada dasar ajarannya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam , sedangkan seluruh ibadah harus berdasarkan pada ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Bahkan, menurut ajaran (sunnah) Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah sebaliknya. Sebagaimana disebutkan dalam kisah Shafiyah, Radhiyallahu 'anha, ketika dalam keadaan haid setelah thawaf ifadhah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadanya: "Kalau demikian, hendaklah ia berangkat" (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dalam hadits ini, Nabi tidak menyuruhnya mendatangi pintu Masjidil Haram. Andaikata hal itu disyariatkan, tentu Nabi sudah menjelaskannya. Adapun thawaf untuk haji dan umrah tetap wajib bagi wanita haid, dan dilakukan setelah suci.

5. Berdiam dalam Masjid
Diharamkan bagi wanita haid berdiam dalam masjid, bahkan diharamkan pula baginya berdiam dalam tempat shalat Ied. Berdasarkanhadits Ummu Athiyah Radhiallahu bahwa ia mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Agar keluar para gadis, perawan dan wanita haid...Tetapi wanita haid menjauhi tempat shalat." (Hadits Muttafaq 'Alaih).



6. Jima' (senggama)
Diharamkan bagi sang suami melakukan jima'dengan isterinya yang sedang haid, dan diharamkan bagi sang isteri memberi kesempatan kepada suaminya melakukan hal tersebut. Dalilnya, firman Allah Ta 'ala: "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: "Haid itu adalah suatu kotoran': Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktuu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka besuci…." (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud dengan ….. dalam ayat di atas adalah waktu haid atau tempat keluamya yaitu farji (vagina).Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Lakukan apa saja, kecuali nikah (yakni: bersenggama)." (Hadits riwayat Muslim).
Umat Islam juga telah berijma' (sepakat) atas dilarangnya suami melakukan jima ' dengan isterinya yang sedang haid dalam farjinya.
Oleh karena itu, tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian melakukan perbuatan mungkar ini, yang telah dilarang oleh Kitab Allah, sunnah Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam dan ijma' ummat Islam. Maka siapa yang melanggar larangan ini, berarti ia telah memusuhi Allah dan Rasul-Nya serta mengikuti selain jalan orang-orang yang beriman.
An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu' Syarh AlMuhadzdzab mengatakan: "Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang melakukan hal itu telah berbuat dosa besar. Dan menurut para sahabat kami serta yang lainnya, orang yang menghalallkan senggama dengan isteri yang haid hukumnya kafir."
Untuk menyalurkan syahwatnya, suami diperbolehkan melakukan selain jima' (senggama), seperti: berciuman, berpelukan dan bersebadan pada selain daerah farji (vagina).
Namun, sebaiknya, jangan bersebadan pada daerah antara pusat dan lutut kecuali jika sang isteri mengenakan kain penutup. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiallahu 'anha: 74. "Pemah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkain, lalu beliau menggauliku sedang aku dalam keadaan haid." (Hadits muttafaq 'alaih).

7. Talak
Diharamkan bagi seorang suami mentalak isterinya yang sedang haid, berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"Hai Nabi, apabila Kamu menceraikan isteri-terimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ... "(Ath-Thalaq: 1)
Maksudnya, isteri-isteri itu ditalak dalam keadaan dapat menghadapi iddah yang jelas. Berarti, mereka tidak ditalak kecuali dalam keadaan hamil atau suci sebelum digauli.
Sebab, jika seorang isteri ditalak dalam keadaan haid, ia tidak dapat menghadapi iddahnya karena haid yang sedang dialami pada saat jatuhnya talak itu tidak dihitung termasuk iddah.
Sedangkan jika ditalak dalam keadaan suci setelah digauli, berarti iddah yang dihadapinya tidakjelas karena tidak dapat diketahui apakah ia hamil karena digauli tersebut atau tidak. Jika hamil, maka iddahnya dengan kehamilan; danjika tidak, maka iddahnya dengan haid. Karena belum dapat dipastikan jenis iddahnya, maka diharamkan bagi sang suami mentalak isterinya sehingga jelas permasalahan tersebut.

Jadi, mentalak isteri yang sedang haid haram hukumnya. Berdasarkan ayat di atas dan hadits dari Ibnu Umar yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta kitab hadits lainnya, bahwa ia telah menceraikan isterinya dalam keadaan haid, maka Umar (bapaknya) mengadukan hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam . Maka, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun marah dan bersabda: "Suruh ia merujuk isterinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci, lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli. Karena itulah iddah yang diperintahkan Allah dalam mentalak isteri."
Dengan demikian,berdosalah seorang suami andai kata mentalak isterinya yang sedang haid. Ia harus bertaubat kepada Allah dan merujuk isterinya untuk kemudian mentalaknya secara syar'i sesuai dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Yakni, setelah merujuk isterinya hendaklah ia membiarkannya' sampai suci dari haid yang dialaminya ketika ditalak, kemudian haid lagi, setelah itu jika ia menghendaki dapat mempertahankannya atau mentalaknya sebelum digauli.
Dalam hal diharamkannya mentalak isteri yang sedang haid ada tiga masalah yang dikecualikan:
1. Jika talak terjadi sebelum berkumpul dengan isteri atau sebelum menggaulinya (dalam keadaan pengantin baru misalnya, pent.), maka boleh mentalaknya dalam keadaan haid. Sebab, dalam kasus demikian, si isteri tidak terkena iddah, maka talak tersebut pun tidak menyalahi firman :
"….Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddahnya (yang wajar)…" (Ath-Thalaq : 1)
2. Jika haid terjadi dalam keadaan hamil, sebagaimana telah dijelaskan sebabnya pada pasal terdahulu.
3. Jika talak tersebut atas dasar 'iwadh(penggantian), maka boleh bagi suami menceraikan isterinya yang sedang haid.
Misalnya, terjadi percekcokan dan hubungan yang tidak harmonis lagi antara suami-isteri. Lalu si isteri meminta suami agar mentalaknya dan suami memperoleh ganti rugi karenanya, maka hal itu boleh sekalipun isteri dalam keadaan haid. Berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma: " Bahwa isteri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata : "Ya Rasulullah, sungguh aku tidak mencelanya dalam akhlak maupun agamanya, tetapi aku takut akan kekafiran dalam Islam." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : "Maukah kamu mengembalikan kepadanya?" Wanita itu menjawab: "Ya" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda (kepada suaminya): "Terimalah kebun itu, dan ceraikanlah ia" (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Dalam hadits tadi Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya apakah si isteri sedang haid atau suci. Dan karena talak ini dibayar oleh pihak isteri dengan tebusan atas dirinya maka hukumnya boleh dalam keadaan bagaimanapun, jika memang diperlukan Dalam kitab Al-Mughni disebutkan tentang alasan bolehnya khulu' (cerai atas permintaan pihak isteri dengan membayar tebusan) dalam keadaanhaid: "Dilarangnya talak dalam keadaan haid adalah adanya madhmat (bahaya) bagi si isteri dengan menunggu lamanya masa 'iddah. Sedang khulu ' adalah untuk menghilangkan madhmat bagi si isteri disebabkan hubungan yang tidak harmonis dan sudah tidak tahan tinggal bersama suami yang dibenci dan tidak disenanginya. Hal ini tentu lebih besar madharatnya bagi si isteri daripada menunggu lamanya masa 'iddah, maka diperbolehkan menghindari madharat yang lebih besar dengan menjalani sesuatu yang lebih ringan madharatnya.
Karena itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak bertanya kepada wanita yang meminta Khulu' tentang keadaannya."
Dan dibolehkan melakukan akad nikah dengan wanita yang sedang haid, karena hal itu pada dasamya adalah halal, dan tidak ada dalil yang melarangnya. Namun, perlu dipertimbangkan bila suami diperkenankan berkumpul dengan isteri yang sedang dalam keadaan haid. Jika tidak dikhawatirkan akan menggauli isterinya yang sedang haid tidak apa-apa. Sebaliknya, jika dikhawatirkan maka tidak diperkenankan berkumpul dengannya sebelum suci untuk menghindari hal-hal yang dilarang.

8. Iddah talak dihitung dengan haid.
Jika seorang suami menceraikan isteri yang telah digauli atau berkumpul dengannya,maka si isteri harus beriddah selama tiga kali haid secara sempurna apabila termasuk wanita yang masih mengalami haid dan tidak hamil. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'…" (Al-Baqarah : 28).
Tiga kali guru' artinya tiga kali haid. Tetapi jika si isteri dalam keadaan hamil, maka iddahnya ialah sampai melahirkan, baik masa iddahnya itu lama maupun sebentar. Berdasarkan firman Allah:
"….Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq: 4)
Jika si isteri termasuk wanita yang tidak haid, karena masih kecil dan belum mengalami haid, atau sudah menopause, atau karena pernah operasi pada rahimnya, atau sebab-sebab lain sehingga tidak diharapkan dapat haid kembali, maka iddahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya…" (Ath-Thalaq:4)
Jika si isteri termasuk wanita yang masih mengalami haid, tetapi terhenti haidnya karena suatu sebab yang jelas seperti sakit atau menyusui, maka ia tetap dalam iddahnya sekalipun lama masa iddahnya sampai ia kembali mendapati haid dan ber-iddah dengan haid itu. Namun jika sebab itu sudah tidak ada,seperti sudah sembuh dari sakit atau telah selesai dari menyusui sementara haidnya tak kunjung datang, maka iddahnya satu tahun penuh terhitung mulai dari tidak adanya sebab tersebut. Inilah pendapat yang shahih yang sesuai dengan kaidah-kaidah syar'iyah Dengan alasan, jika sebab itu sudah tidak ada sementara haid tak kunjung datang maka wanita tersebut hukumnya seperti wanita yang terhenti haidnya karena sebab yang tidak jelas. Dan jika terhenti haidnya karena sebab yang tidakjelas, maka iddahnya yaitu satu tahun penuh dengan perhitungan: sembilan bulan sebagai sikap hati-hati untuk kemungkinan hamil(karena masa kehamilan pada umumnya 9 bulan) dan tiga bulan untuk iddahnya.
Adapun jika talak terjadi setelah akad nikah sedang sang suami belum mencampuri dan menggauli isterinya, maka dalam hal ini tidak ada iddah sama sekali, baik dengan haid maupun yang lain. Berdasarkan firman Allah :
"Hai orang-orangyang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib iddah yang kamu minta menyempurnakannya.. " (Al-Ahzaab: 49 )

9. Keputusan bebasnya rahim.
Yakni keputusan bahwa rahim bebas dari kandungan. Ini diperlukan selama keputusan bebasnya rahim dianggap perlu, karena hal ini berkaitan dengan beberapa masalah.
Antara lain, apabila seseorang mati dan meninggalkan wanita (isteri) yang kandungannya dapat menjadi ahli waris orang tersebut, padahal si wanita setelah itu bersuami lagi.
Maka suaminya yang barn itu tidak boleh menggaulinya sebelum ia haid atau jelas kehamilannya. Jika telah jelas kehamilannya, maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya mendapatkan hak warisan karena kita putuskan adanya janin tersebut pada saat bapaknya mati.
Namun, jika wanita itu pernah haid (sepeninggal suaminya yang pertama), maka kita hukumi bahwa janin yang dikandungnya tidak mendapatkan hak warisan karena kita putuskan bahwa rahim wanita tersebut bebas dari kehamilan dengan adanya haid.

10. Kewajiban mandi.
Wanita haid jika telah suci wajib mandi dengan membersihkan seluruh badannya. Berdasarkan sabda Nabi kepada Fatimah binti Abu Hubaisy:
"Bila kamu kedatangan haid maka tinggalkan shalat, dan bila telah suci mandilah dan kerjakan shalat." (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Kewajiban minimal dalam mandi yaitu membersihkan seluruh anggota badan sampai bagian kulit yang ada di bawah rambut. `Yang afdhal (lebih utama), adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tatkala ditanya oleh Asma binti Syakl tentang mandi haid, beliau bersabda:
"Hendaklah seseorang diantara kamu mengambil air dan daun bidara lalu berwudhu sempurna, kemudian menguyurkan air diatas kepala dan menggosok-gosoknya dengan kuat sehingga merata keseluruh kepalanya, selanjutnya mengguyurkan air pada anggota badannya. Setelah itu mengambil sehelai kain putih yang ada pengharumnya untuk bersuci dengannya. 'Asma bertanya: "Bagaimana bersuci dengannya?" Nabi menjawab: "Subhanallah." Maka Aisyah pun menerangkan dengan berkata: "Ikutilah bekas-bekas darah." (HR. Muslim )
Tidak wajib melepas gelungan rambut, kecuali jika terikat kuat dan dikhawatirkan air tidak sampai kedasar rambut. Hal ini didasarkan pada hadits yang tersebut dalam Shahih Muslim Mtrslim dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha bahwa ia bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Aku seorang wanita yang menggelung rambutku, haruskah aku melepaskannya untuk mandi janabat?" Menurut riwayat lain "untuk (mandi) haid danJanabat?" Nabi bersabda :"Tidak. Cukup kamu siram kepalamu tiga kali siraman (dengan tanganmu), lalu kamu guyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamupun menjadi suci."
Apabila wanita haid mengalami suci di tengah-tengah waktu shalat, ia harus segera mandi agar dapat melakukan shalat pada waktunya. Jika ia sedang dalam perjalanan dan tidak ada air, atau ada air tetapi takut membahayakan dirinya dengan menggunakan air, atau sakit dan berbahaya baginya air, maka ia boleh bertayammum sebagai ganti dari mandi sampai hal yang menghalanginya itu tidak ada lagi, kemudian mandi.
Ada di antara kaum wanita yang suci di tengah-tengah waktu shalat tetapi menunda mandi ke waktu lain, dalihnya: ''Tidak mungkin dapat mandi sempurna pada waktu sekarang ini." Akan tetapi ini bukan alasan ataupun halangan karena boleh baginya mandi sekedar untuk memenuhi yang wajib dan melaksanakan shalat pada waktunya. Apabila kemudian ada kesempatan lapang, barulah ia dapat mandi dengan sempurna.

Istihadah Dan Hukum-Hukumnya
Makna Istihadah
Istihadhah ialah keluamya darah terus-menerus pada seorang wanita tanpa henti sama sekali atau berhenti sebentar seperti sehari atau dua hari dalam sebulan.
Dalil kondisi pertama, yakni keluamya darah terus-menerus tanpa henti sama sekali, hadits riwayat Al- Bukhari dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Ya Rasulullah, sungguh aku ini tak pemah suci " Dalam riwayat lain• "Aku mengalami istihadhah maka tak pemah suci. "
Dalil kondisi kedua, yakni darah tidak berhenti kecuali sebentar, hadits dari Hamnah binti Jahsy ketika datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata:
"Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami Istihadhah yang deras sekali. " (Hadits riwayat Ahmad,AbuDawud dan At-Tirmidi dengan menyatakan shahih. Disebutkan pula bahwa hadits ini menurut Imam Ahmad shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan.)

Kondisi wanita mustahadhah
Ada tiga kondisi bagi wanita mustahadhah:
1. Sebelum mengalami istihadhah, ia mempunyai haid yang jelas waktunya. Dalam kondisi ini, hendaklah ia berpedoman kepada jadwal haidnya yang telah diketahui sebelumnya. Maka pada masa itu dihitung sebagai haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Adapun selain masa tersebut merupakan istihadhah yang berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari pada setiap awal bulan, tiba-tiba mengalami istihadhah dan darahnya keluar terus-menerus. Maka masa haidnya dihitung enam hari pada setiap awal bulan, sedang selainnya merupakan istihadhah. Berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku mengalami istihadhah maka tidak pernah suci, apakah aku meninggalkan shalat? Nabi menjawab: Tidak, itu adalah darah penyakit. Namun tinggalkan shalat sebanyak hari yang biasanya kamu haid sebelum itu, kemudian mandilah dan lakukan shalat. " (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy: "Diamlah selama masa haid yang biasa menghalangimu, lalu mandilah dan lakukan shalat. " Dengan demikian,wanita mustahadhah yang haidnya sudah jelas waktunya menunggu selama masa haidnya itu. Setelah itu mandi dan shalat, biar pun darah pada saat itu masih keluar.
2. Tidak mempunyai haid yang jelas waktunya sebelum mengalami istihadhah, karena istihadhah tersebut terus-menerus terjadi padanya mulai dari saat pertama kali ia mendapati darah. Dalam kondisi ini, hendaklah ia melakukan tamyiz (pembedaan); seperti jika darahnya berwarna hitam, atau kental,. atau berbau maka yang terjadi adalah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Dan jika tidak demikian, yang terjadi adalah istihadhah dan berlaku baginya hukum-hukum istihadhah.
Misalnya, seorang wanita pada saat pertama kali mendapati darah dan darah itu keluar terus menerus; akan tetapi ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya berwama hitam kemudian setelah itu berwama merah, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan darahnya kental kemudian setelah itu encer, atau ia dapati selama sepuluh hari dalam sebulan berbau darah haid tetapi setelah itu tidak berbau maka haidnya yaitu darah yang berwama hitam (pada kasuspertama), darah kental (pada kasus kedua) dan darah yang berbau (padakasus ketiga). Sedangkan selain hal tersebut, dianggap sebagai darah istihadhah.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: “Darah haid yaitu apabila berwarna hitam yang dapat diketahui. Jika demikian maka tinggalkan shalat. Tetapi jika selainnya maka berwudhulah dan lakukan shalat karena itu darah penyakit.” (Hadits riwayat Abu Dawud, An-Nasa'I dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim).

Hadits ini, meskipun perlu ditinjau lagi dari segi sanad dan matannya, telah diamalkan oleh para ulama' rahimahumullah. Dan hal itu lebih utama daripada dikembalikan kepada kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
3. Tidak mempunyai haid yangjelas waktunya dan tidak bisa dibedakan secara tepat darahnya. Seperti: jika istihadhah yang dialaminya terjadi terus-menerus mulai dari saat pertama kali melihat darah sementara darahnya menurut satu sifat saja atau berubah-ubah dan tidak mungkin dianggap sebagai darah haid. Dalam kondisi ini, hendaklah ia mengambil kebiasaan kaum wanita pada umumnya.
Maka masa haidnya adalah enam atau tujuh hari pada setiap bulan dihitung mulai dari saat pertama kali mendapati darah Sedang selebihnya merupakan istihadhah.
Misalnya, seorang wanita saat pertama kali melihat darah pada tanggal 5 dan darah itu keluar terus-menerus tanpa dapat dibedakan secara tepat mana yang darah haid, baik melalui wama ataupun dengan cara lain. Maka haidnya pada setiap bulan dihitung selama enam atau tujuh hari dimulai dari tanggal tersebut.
Hal ini berdasarkan hadits Hamnah binti Jahsy Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Ya Rasulullah, sungguh aku sedang mengalami istihadah yang deras sekali. Lalu bagaimana pendapatmu tentangnya karena ia telah menghalangiku shalat dan berpuasa? Beliau bersabda: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas dengan melekatkannya pada farji, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: "Darahnya lebih banyak dari itu". Nabipun bersabda: "Ini hanyalah salah satu usikan syetan. Maka hitunglah haidmu 6 atau 7 hari menurut ilmu Allah Ta'ala lalu mandilah sampai kamu merasa telah bersih dan suci, kemudian shalatlah selama 24 atau 3 hari, dan puasalah." (Hadits riwayat Ahmad,Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Menurut Ahmad dan At-Tirmidzi hadits ini shahih, sedang menurut Al-Bukhari hasan).
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : 6 atau 7 hari tersebut bukan untuk memberikan pilihan, tapi agar si wanita berijtihad dengan cara memperhatikan mana yang lebih mendekati kondisinya dari wanita lain yang lebih mirip kondisi fisiknya, lebih dekat usia dan hubungan kekeluargaannya serta memperhatikan mana yang lebih mendekati haid dari keadaan darahnya dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Jika kondisi yang lebih mendekati selama 6 hari, maka dia hitung masa haidnya 6 hari; tetapi jika kondisi yang lebih mendekati selama 7 hari, maka dia hitung masa haidnya 7 hari.

Hal Wanita Yang Mirip Mustahadhah
Kadangkala seorang wanita, karena sesuatu sebab, mengalami pendarahan pada farjinya, seperti karena operasi pada rahim atau sekitarnya. Hal ini ada dua macam:
1. Diketahui bahwa si wanita tidak mungkin haid lagi setelah operasi, seperti operasi pengangkatan atau penutupan rahim yang mengakibatkan darah tidak bisa keluar lagi darinya, maka tidak berlaku baginya hukum-hukum mustahadhah. Namun hukumnya adalah hukum wanita yang mendapati cairan kuning, atau keruh, atau basah setelah masa suci. Karena itu ia tidak boleh meninggallkan shalat atau puasa dan boleh digauli. Tidak wajib baginya mandi karena keluarnya darah,tapi ia harus membersihkan darah tersebut ketika hendak shalat dan supaya melekatkan kain atau semisalnya (seperti pembalut wanita) pada farjiya untuk menahan keluarnya darah, kemudian berwudhu untuk shalat. Janganlah ia berwudhu untuk shalat kecuali telah masuk waktunya,jika shalat itu telah tertentu waktunya seperti shalat lima waktu; jika tidak tertentu waktunya maka ia berwudhu ketika hendak mengerjakannya seperti shalat sunat yang mutlak.
2. Tidak diketahui bahwa siwanita tidak bisa haid setelah operasi, tetapi diperkirakan bisa haid lagi. Maka berlaku baginya hukum mustahadhah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abi Hubaisy: " Itu hanyalah darah penyakit, bukan haid. Jika datang haid, maka tinggalkan shalat."
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam : "Jika datang haid..." menunjukkan bahwa hukum mustahadhah berlaku bagi wanita yang berkemungkinan haid, yang bisa datang atau berhenti.
Adapun wanita yang tidak berkemungkinan haid maka darah yang keluar pada prinsipnya, dihukumi sebagai darah penyakit.

Hukum-Hukum Istihadhah
Dari penjelasan terdahulu, dapat kita mengerti kapan darah itu sebagai darah haid dan kapan sebagai darah istihadhah.
Jika yang terjadi adalah darah haid maka berlaku baginya hukum-hukum haid, sedangkan jika yang terjadi darah istihadhah maka yang berlalku pun hukum-hukum istihadhah.
Hukum-hukum haid yang penting telah dijelaskan di muka. Adapun hukum-hukum istihadhah seperti,halnya hukum-hukum tuhr (keadaan suci). Tidak ada perbedaan antara wanita mustahdhah dan wanita suci, kecuali dalam hal berikut ini:
a. Wanita mustahadhah wajib berwudhu setiap kali hendak shalat. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: " Kemudian berwudhulah kamu setiap kali hendak shalat" (Hadits riwayat Al-Bukhari dalam Bab Membersihkan Darah).
Hal itu memberikan pemahaman bahwa wanita mustahadhah tidak berwudhu untuk shalat yang telah tertentu waktunya kecuali jika telah masuk waktunya.
Sedangkan shalat yang tidak tertentu waktunya, maka ia bervudhu pada saat hendak melakukannya
b. Ketika hendak berwudhu, membersihkan sisa-sisa darah dan melekatkan kain dengan kapas (atau pembalut wanita) pada farjinya untuk mencegah keluarnya darah. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Hamnah: "Aku beritahukan kepadamu (untuk menggunakan) kapas, karena hal itu dapat menyerap darah". Hamnah berkata: 'Darahnya lebih banyak dari itu". Beliau bersabda: "gunakan kain!". Kata Hamnah: "Darahnya masih banyak pula". Nabipun bersabda: "Maka pakailah penahan!"
Kalaupun masih ada darah yang keluar setelah tindakan tersebut, maka tidak apa-apa hukumnya. Karena sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Fatimah binti Abu Hubaisy: "Tinggalkan shalat selama hari-hari haidmu, kemudian mandilah dan berwudhulah untuk setiap kali shalat, lalu shalatlah meskipun darah menetes di atas alas. " (Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
c. Jima' (senggama). Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehannya pada kondisi bila ditinggalkan tidak dikhawatirkan menyebabkan zina. Yang benar adalah boleh secara mutlak Karena ada banyak wanita,mencapai sepuluh atau lebih, mengalami istihadhah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ,sementara Allah dan Rasul-Nya tidak melarang jima' dengan mereka. Firman Allah Ta'ala: ”... hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid ... " (Al-Baqarah: 222)
Ayat ini menunjukkan bahwa di luar keadaan haid, suami tidak wajib menjauhkan diri dari isteri. Kalaupun shalat saja boleh dilakukan wanita mustahadhah, maka jima 'pun tentu lebih boleh Dan tidak benar jima' wanita mustahadhah dikiaskan dengan jima 'wanita haid,karena keduanya tidak sama, bahkan menurut pendapat para ulama yang menyatakan haram. Sebab, mengkiaskan sesuatu dengan hal yang babeda adalah tidak sah.

Nifas Dan Hukum-Hukumnya
1. Makna Nifas
Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."
Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.
Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi , shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.
Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.
Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"

2. Hukum-hukum Nifas
Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:
a. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.
b. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.
Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas.
Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.
c. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.
d. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.
Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.
Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:
"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.
Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.
Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. "(Al-Baqarah: 286).
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." (At-Taghabun : 16)
e. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali. Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".
Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya.
Wallahu a 'lam.

Penggunaan Alat Pencegah atau Perangsang haid, Pencegah Kehamilan Dan Penggugur Kandungan
1. Pencegah Haid
Diperbolehkan bagi wanita menggunakan alat pencegah haid, tapi dengan dua syarat:
a. Tidak dikhawatirkan membahayakan dirinya. Bila dikhawatirkan membahayakan dirinya karena menggunakan alat tersebut, maka hukumnya tidak boleh. Berdasarkan firman Allah Ta 'ala:
"... Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan,...” ( Al-Baqarah : 195).
"… Dan janganlah kamu membunuh dirimu sesungguhnya Allah adalah Maha penyayang kepadamu."(An Nisa': 29).
b. Dengan seizin suami, apabila penggunaan alat tersebut mempunyai kaitan denganya. Contohnya, si isteri dalam keadaan beriddah dari suami yang masih berkewajiban memberi makan kepadanya, menggunakan alat pencegah haid supaya lebih lama masa iddahnya dan bertambah nafkah yang diberikannya. Hukumya, tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat pencegah haid saat itu kecuali dengan izin suami.
Demikian pula jika terbukti bahwa pencegahan haid dapat mencegah kehamilan,maka harus dengan seizin suami.
Meski secara hukum boleh, namun lebih utama tidak menggunakan alat pencegah haid kecuali jika dianggap perlu.
Karena membiarkan sesuatu secara alami akan lebih menjamin terpeliharanya kesehatan dan keselamatan.

2. Perangsang Haid
Diperbolehkan juga penggunaan alat perangsang haid, dengan dua syarat:
a. Tidak menggunakan alat tersebut dengan tujuan menghindarkan diri dari suatu kewajiban. Misalnya, seorangwanita menggunakan alat perangsang haid pada saat menjelang Ramadhan dengan tujuan agar tidak berpuasa, atau tidak shalat, dan tujuan negatif lainnya.

b. Dengan seizin suami karena terjadinya haid akan mengurangi kenikmatan hubungan suami isteri. Maka tidak boleh bagi si isteri menggunakan alat yang dapat menghalangi hak sang suami kecuali dengan restunya. Dan jika si isteri dalam keadaan talak, maka tindakan tersebut akan mempercepat gugurya hak rujuk bagi sang suami jika ia masih boleh rujuk

3. Pencegah Kehamilan
Ada dua macam penggunaan alat pencegah kehamilan:
a. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan untuk selamanya. Ini tidak boleh hukumnya, sebab dapat menghentikan kehamilan yang mengakibatkan berkurangnya j~rmlah ketunaan Dan hal ini bertentangan dengan anjuran Nabi shallallahu alaihi wasalam agar memperbanyakjumlah umat Islam, selain itu bisa saja anak-anaknya yang ada semuanya meninggal dunia sehingga ia pun hidup menjanda seorang diri tanpa anak.
b. Penggunaan alat yang dapat mencegah kehamilan sementara. Contohnya, seorang wanita yang sering hamil dan hal itu terasa berat baginya, sehingga ia ingin mengaturjarak kehamilannya menjadi dua tahunsekali. Maka penggunaan alat ini diperbolehkan dengan syarat: seizin suami, dan alat tersebut tidak membahayakan dirinya Dalilnya,bahwa para sahabat pernah melakukan 'azl terhadap isteri mereka pada zaman Nabi shallallahu alaihi wasalam untuk menghindari kehamilan dan Nabi shallallahu alaihi wasalam tidak melarangnya. 'Azl yaitu tindakan - pada saat bersenggama - dengan menumpahkan sperma diluar farji (vagina) si isteri.

4. Penggugur Kandungan
Adapun penggunaan alat penggugur kandungan, ada dua macam:
a. Penggunaan alat penggugur kandungan yang bertujuan membinasakan janin. Jika janin sudah mendapatkan ruh, maka tindakan ini tak syak lagi adalah haram, karena termasuk membunuh jiwayang dihormati tanpa dasar yang benar. Membunuh jiwa yang dihormati haram hukumnya menurut Al Qur'an, Sunnah dan ijma' kaum Muslimin. Namun, jika janin belum mendapatkan ruh, maka para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian ulama membolehkan, sebagian lagi melarang. Ada pula yang mengatakan boleh sebelum berbentuk darah,artinya sebelum benrmur 40 hari. Ada pula yang membolehkan jika janin belum berbentuk manusia.
Pendapat yang lebih hati-hati adalah tidak boleh melakukan tindakan menggugurkan kandungan, kecuali jika ada kepentingan Misalnya, seorang ibu dalam keadaan sakit dan tidak mampu lagi mempertahankan kehamilannya, dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini, ia boleh menggugurkan kandungannya, kecuali jika janin tersebut diperkirakan telah berbentuk manusia maka tidak boleh. Wallallahu A 'lam.
b. Penggunaan alat penggugur kandungan yang tidak bertujuan membinasakan janin. Misalnya, sebagai upaya mempercepat proses kelahiran pada wanita hamil yang sudah habis masa kehamilannya dan sudah waktunya melahirkan. Maka hal ini boleh hukumnya, dengan syarat: tidak membahayakan bagi si ibu maupun anaknya dan tidak memerlukan operasi. Kalaupun memerlukan operasi, maka dalam masalah ini ada empat hal:
1. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi kecuali dalam keadaan darurat, seperti: sulit bagi si ibu untuk melahirkan sehingga perlu dioperasi. Hal itu demikian, karena tubuh adalah amanat Allah yang dititipkan kepada manusia, maka dia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang mengkhawatirkan kecuali untuk maslahat yang amat besar. Selain itu dikiranya bahwa mungkin tidak berbahaya operasi ini, tapi temyata membawa bahaya.
2. Jika ibu dan bayi yang dikandungnya dalam keadaan meninggal, maka tidak boleh dilakukan operasi untuk mengeluarkan bayinya. Sebab, hal ini tindakan sia-sia.
3. Jika si ibu hidup, sedangkan bayi yang dikandungnya meninggal. Maka boleh dilakukan operasi untuk mengluarkan bayinya, kecuali jika dikhawatirkan membahayakan si ibu. Sebab, menurut pengalaman-Wallallahu a'lam - bayi yang meninggal dalam kandungan hampir tidak dapat dikeluarkan kecuali dengan operasi. Kalapun dibiarkan terus dalam kandungan, dapat mencegah kehamilan si ibu pada masa mendatang dan merepotkannya pula, selain itu si ibu akan tetap hidup tak bersuami jika ia dalamkeadaan menunggu iddah dari suami sebelumnya.
4. Jika si ibu meninggal, sedangkan bayi yang dikandungnya hidup. Dalam kondisi ini,jika bayi yang dikandung diperkirakan tak ada harapan untuk hidup, maka tidak boleh dilakukan operasi. Namun, jika ada harapan untuk hidup, seperti sebagian tubuhnya sudah keluar, maka boleh dilakukan pembedahan terhadap perut ibunya untuk mengeluarkan bayi tersebut. Tetapi,jika sebagian tubuh bayi belum ada yang keluar,maka ada yang berpendapat bahwa tidak boleh melakukan pembedahan terhadap perut ibu untuk mengeluarkan bayi yang dikandungnya,karena hal itu merupakan tindakan penyiksaan.
Yang benar, boleh dilakukan pembedahan terhadap perut si ibu untuk mengeluarkan bayinya jika tidak ada cara lain. Dan pendapat inilah yang menjadi pilihan Ibnu Hubairah. Dikatakan dalam kitab Al Inshaf, "Pendapat ini yang lebih utama".

Apalagi pada zaman sekarang ini,operasi bukanlah merupakan tindakan penyiksaan Karena, setelah perut dibedah, ia dijahit kembali. Dan kehormatan orang yang masih hidup lebih besar daripada orang yang sudah meninggal. Juga menyelamatkan jiwa orang yang terpelihara dari kehancuran adalah wajib hukumnya dan bayi yang dikandung adalah manusia yang terpelihara, maka wajib menyelamatkannya.
Wallahu a'lam.
Perhatian:
Dalam hal diperbolehkannya menggunakan alat penggugur kandungan sebagaimana di atas (untuk mempercepat proses kelahiran), harus ada izin dari pihak pemilik kandungan, yaitu suami.


PENUTUP

Sampai di sinilah apa yang ingin kami tulis dalam judul segala cabang dan bagian masalah serta apa yang terjadi pada wanita dalam permasalahan ini bagai samudera tak bertepi.
Namun, orang yang mengerti tentu dapat mengembalikan cabang dan bagian permasalahan kepada pokok dan kaidah umumnya serta dapat mengkiaskan segala sesuatu dengan yang semisalnya.
Perlu diketahui oleh mufti (pemberi fatwa), bahwa dirinya adalah penghubung antara Allah dan para hamba-Nya dalam menyampaikan ajaran yang dibawa RasuI-Nya dan menjelaskannya kepada mereka. Dia akan ditanya tentang kandungan Al Qur'an dan Sunnah, yang keduanya merupakan sumber hukum yang diperintahkan untuk dipahami dan diamalkan. Setiap yang bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah adalah salah, dan wajib ditolak siapapun orang yang mengucapkannya serta tidak boleh diamalkan, sekalipun orang yang mengatakannya mungkin dimaafkan karena berijtihad dan mendapat pahala atas ijtihadnya, tetapi orang lain yang mengetahui kesalahannya tidak boleh menerima ucapannya.
Seorang mufti wajib memurnikan niatnya, semata-mata karena Allah Ta'ala, selalu memohon ma'unah-Nya dalam segala kondisi yang dihadapi, meminta ke hadirat-Nya ketetapan hati dan petunjuk kepada kebenaran.
Al-Qur'an dan Sunnah wajib menjadi pusat perhatiannya. Dia mengamati dan meneliti keduanya atau menggunakan pendapat para ulama untuk memahami keduanya.
Sering terjadi suatu permasalahan, ketika jawabannya dicari pada pendapat para ulama tak didapati ketenangan atau kepuasan dalam keputusan hukumnya, bahkan mungkin tidak diketemukan jawabannya sama sekali. Akan tetapi setelah kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah tampak baginya hukum permasalahan itu dengan mudah dan gamblang.Hal itu sesuai dengan keikhlasan, keilmuan dan pemahamannya.
Wajib bagi mufti bersikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskan hukum manakala mendapatkan sesuatu yang rumit. Betapa banyak hukum yang diputuskan secara tergesa-gesa, kemudian setelah diteliti ternyata salah. Akhirnya hanya bisa menyesali dan mungkin fatwa yang terlanjur disampaikan tidak bisa diluruskan.
Seorang mufti jika diketahui bersikap hati-hati dan teliti, ucapanmya akan dipercaya dan diperhatikan. Tetapi jika dikenal ceroboh yang seringali membuat kekeliruan, niscaya fatwanya tidak akan dipercaya orang. Maka dengan kecerobohan dan kekeliruannya dia telah menjauhkan dirinya dan orang lain dari ilmu dan kebenaran yang diperolehnya.
Semoga Allah Ta'ala menunjukkan kita dan kaum Muslimin kepada jalan-Nya yang lurus, melimpahkan inayah-Nya dan menjaga kita dengan bimbingan-Nya dari kesalahan.
Sungguh, Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Salawat dan salam semoga tetap dilimpahkan Allah kepada Nabi kita Muhammad, juga kepada keluarga dan para sahabatnya. Puji bagi Allah, dengan nikmat-Nya tercapailah segala kebaikan.
***

kalu ud copy tampilkan juga pengarangnya ya...........he.he.he...